Rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas RI sebagai bukti nyata yang tentunya akan bermuara kepada presiden yang harus laksanakan. Dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya meletakan presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan negara yang artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan (chief of executive), tetapi juga sebagai kepala negara (chief of state).Â
Dalam konsep negara hukum penyelenggaraan negara harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Sebagai penegasan dalam hal ini presiden menurut pasal Pasal 3 ayat (1) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yakni "Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS."Â
Tentunya yang perlu garis bawahi sekalipun dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa di delegasikan atau dilaksanakan oleh tataran jabatan kementerian ataupun institusi lain akan tetapi presiden tidak bisa lepas tangan dan lepas tanggung jawab begitu saja mengenai persoalan ini karena sebagai kunci agar bisa selesai. Dengan demikian perlu kiranya untuk mendesak presiden agar menindak lanjuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dan segera membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK, berikut pertimbangan rasionalisasinya agar presiden lebih mudah dalam memutuskan hal tersebut, yakni :
Pertama, perlu dipertegas kembali pelanggaran maladministrasi dan pelanggaran HAM yang telah di temukan oleh Ombudsman RI dan Komnas HAM yang menjadi rekomendasi tentunya harus dipertimbangkan dengan serius oleh presiden demi mencegah praktek penyelewengan wewenang dan menegakan tata kelola pemerintahan yang baik sesuai reformasi birokrasi yang sebagaimana mestinya. Karena apabila presiden membiarkan praktek-praktek yang telah mencederai tata kelola pemerintahan yang baik sama saja telah melanggar ketentuan aturan yang ada.Â
Maka keadilan administrasi dan keadilan HAM sangatlah penting untuk ditegakan tentunya harus di gubris oleh presiden sebagai pemimpin negara maka harus hadir dalam penyelesaian persoalan tersebut sehingga bisa menjaga sopan santun ketatanegaraan dengan menghargai temuan Ombudsman RI maupun Komnas HAM RI sebagai penyelenggaraan check and balances.
Kedua, beberapa hari yang lalu presiden jokowi pernah berkata "jangan apa-apa ditarik ke presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan". Padahal sebelum pernyataan itu keluar presiden jokowi pernah berkata bahwa "TWK jangan jadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK"Â hingga akhirnya sekarang secara resmi finalnya menjadi 57 pegawai KPK diberhentikan oleh Pimpinan KPK.Â
Presiden jokowi tidak boleh lupa bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, bahwa proses alih status yang merugikan pegawai KPK itu inkonstitusional. Sebab menurut hakim konstitusi dalam putusan ini jelas tidak diperbolehkan merugikan pegawai KPK dalam keadaan apapun. Putusan Mahkamah Agung pun tidak bertentangan dengan temuan pemeriksaan Ombudsman RI dan Komnas HAM karena MA menilai norma sebuah peraturan, dalam hal ini peraturan komisi (perkom) KPK nomor 1 tahun 2020 yang menjadi landasan hukum TWK. Mahkamah Agung menolak uji materi terhadap Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.Â
MA menilai para pegawai KPK yang tak diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom tersebut, melainkan hasil asesmen TWK. Namun, MA menyatakan tindak lanjut hasil asesmen itu menjadi kewenangan pemerintah. Dipertegas kembali karena putusan MA banyak di belokan oleh para pihak bahwa MA itu menilai bukan mengenai proses pelaksanaan TWK nya melainkan mengenai TWKnya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atas atau tidak, jadi tidak ada pertentangan dengan temuan Ombudsman RI maupun Komnas HAM RI.
Ketiga, presiden jokowi perlu mengingat kembali hasil Transparency International Indonesia (TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) indonesia tahun 2020 dengan perolehan skor 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 yang lalu. Sebelumnya indonesia berada di peringkat ke 85 maka jika dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainya, IPK indonesia berada di peringkat lima dibawah singapura (85), brunei darussalam (60), malaysia (51) dan timur leste (40).
Keempat, kita tahu setelah terpilih menjadi presiden untuk periode 2014-2019, janji memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga tertuang dalam Program Nawacita kemudian diingkari dan berubah arah menjadi pelemahan terhadap lembaga anti rasuah ini. Oleh sebab itu jika presiden ingin mendapat kembali trust kepercayaan publik serta mendengar aspirasi masyarakat seharusnya bisa menggagalkan pemberhentian 57 pegawai KPK dan angkat menjadi ASN.
Tentunya penulis rasa ketika momentum tersebut di setujui oleh presiden, maka pastinya akan berdampak baik bagi beliau sebagai presiden yang masih mempunyai rasa perhatian kepada masa depan pemberantasan korupsi namun apabila sebaliknya tentunya akan mendapat rasa kekecewaan bagi masyarakat. Karena penolakan tersebut bukan hanya segilintir masyarakat saja melainkan hampir bisa dikatakan menolak secara besar-besaran bahkan koalisi guru besar yang selalu mengkiritisi mengenai persoalan ini seharusnya menjadi pijakan bagi presiden agar hatinya bisa terketuk untuk menyelamatkan nasib pemberantasan korupsi.