Mohon tunggu...
Firman Hakim
Firman Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan penulis ulung

Khoirunnas anfa’uhum linnas sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain ini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

29 September 2021   07:58 Diperbarui: 24 April 2022   20:58 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkesan aneh pula status alih pegawai KPK harus di adakanya TWK dengan dalih sebagai bukti pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN dan di terbitkanya Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 yang memuat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). 

Hingga akhirnya, pimpinan KPK mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1327 Tahun 2021 tertanggal 15 September 2021 untuk memberhentikan 57 pegawai KPK pada tanggal 30 September 2021 yang menurut penulis terkesan ganjal untuk menyingkirkan pegawai KPK yang dinilai berintegritas karena dinilai tidak lulus TWK (sebelumnya dari 75 menjadi 57 orang).

Persoalan Pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK 

Hemat penulis, jika dilihat dari hukum administrasi negara sebagai argumentasi yang mendasar masih mempertanyakan pula mengenai status alih pegawai KPK menjadi ASN harus melalui serangkaian proses TWK. Karena sependek pengetahuan penulis di dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak diatur mengenai status alih pegawai menjadi ASN dengan harus adanya tahapan TWK karena penulis rasa tidak tepat, dikarenakan bukan rekruitmen calon pegawai baru melainkan hanya mengalihkan status alih pegawai KPK menjadi ASN saja. 

Usut punya usut ternyata pelaksanaan TWK terdapat persoalan yang menjadi fundamental terutama bagi para pegawai KPK, Atas pemeriksaan Ombudsman RI menemukan beberapa penyimpangan dari proses administrasi (maladministrasi) yakni kontrak swakelola KPK dan BKN backdate, BKN tak punya kompetensi (instrumen hukum tidak ada, penguasaan instrument tidak terpenuhi, asesor yang tidak berkualifikasi, dst), pimpinan KPK tidak transparan, dan penyalahgunaan wewenang (pejabat tidak berwenang menandatangani dokumen) atau intinya terdapat tindakan korektif.

Sementara hasil temuan lain mengejutkan yang dilakukan oleh Komnas HAM RI yang menemukan 11 pelanggaran HAM dalam proses pelaksanaan TWK KPK yang diantaranya adanya pelanggaran hak atas keadilan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, hak atas kebebasan berpendapat. Bahkan terdapat permasalahan regulasi dalam penyusunan Perkom merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan diatasnya, khususnya dalam pasal 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, dan salah kira secara absolut (absolut dwaling) dan bentuk ismorfisme koersif (coercive isomorphism).

Dengan adanya temuan pemeriksaan serta rekomendasi dari lembaga negara lainya yaitu Ombudsman RI dan Komnas HAM RI tentunya telah sesuai menjalankan prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan di indonesia karena merupakan sebagai spektrum yang paling terpenting untuk menilai, mengontrol, megawasi satu sama lain antar lembaga negara yang harus diingat. 

Begitu pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya (Vide Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006). 

Oleh karena itu, pelaksanan TWK yang maladministrasi dan adanya pelanggaran HAM tidak bisa kita justifikasi untuk dibiarkan saja penulis rasa proses ini diduga untuk menyingkirkan 57 para pegawai KPK dengan dalih TWK. Maka berdasarkan bunyi pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyatakan "terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman" tapi kenyataanya KPK malah tidak menjalankan dan langsung mengeluarkan SK untuk memecat 57 para pegawai tadi.

Presiden Sebagai Kunci Penyelesaian Persoalan 

Dari lubuk hati yang paling terdalam penulis berharap dan memohon agar presiden jokowi bisa melihat persoalan ini dengan serius serta secara jernih bukan hanya angin lalu belaka atau jangan ada bisikan-bisikan liar yang menganggu beliau karena tentunya hal ini menyangkut untuk menegakan konsep tata kelola pemerintahan yang baik dalam reformasi birokrasi dan mencegah praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun