Saat itu, Fikar berpikir, dirinya kini bukanlah dirinya. Ia merasa seolah terjebak dalam tubuh bocah laki-laki. Dirinya yang sesungguhnya adalah seorang perempuan, seorang penari ular. Ia melihat bayangannya yang lincah dan gemulai. Ia jatuh cinta dengan tarian.
Untuk hari-hari setelahnya, Fikar menari dengan ular di dekat kuil. Ayahnya meniup pungi. Mereka mendapat uang yang sangat banyak. Oleh sebab itu, ayahnya tak keberatan jika Fikar berdandan seperti seorang perempuan dengan kain sari dan gelang di tangan serta kakinya.Â
Akan tetapi, timbul suatu kebencian dari ke empat kakak laki-lakinya.Â
"Kau boleh saja menari, tapi jangan berdandan seperti seorang perempuan! Itu menjijikkan!"
"Kau mencoreng nama baik keluarga!"
Orang-orang pun kerap membicarakan hal itu. Ayahnya dianggap telah melakukan eksploitasi terhadap seorang bocah usia sekolah untuk mencari nafkah. Mereka tak pernah tahu jika menari adalah pilihan Fikar sendiri. Dengan menari, ia jadi dirinya sendiri. Ibunya pula tak kuasa menanggung malu sebab tetangga sering menyindirnya.
 "Kau telah gagal mendidik seorang anak! Kau gagal menjadi seorang ibu!"Â
 Kadang ia kesal karena kain sarinya mendadak tak ada di lemari, juga riasan wajah yang tiba-tiba menghilang.Â
Lelah menjadi bahan perundungan, Fikar memutuskan untuk pergi dari rumahnya yang nyaman. Ia tak membawa apa-apa, kecuali ular kesayangannya sebab ia tak bisa berhenti menari. Menari adalah bagian dari hidupnya.Â
Fikar menari dari kota ke kota, dari stasiun ke stasiun, dari pasar ke pasar, serta pinggiran jalan. Orang-orang asing ramai menonton. Berkat menari, ia bisa membeli kain sari lengkap dengan kosmetik. Ia beli cukup makanan untuk dirinya dan ular-ular dalam keranjang.Â
Dandanannya melebihi seorang perempuan kodrati. Tangan, pinggul, kepala, dan kaki ia gerakkan serupa gelombang selaras dengan gerakan ular di tubuhnya. Bertahun-tahun, ia menari. Ia tak pernah memiliki tempat untuk menetap. Ia tinggal di mana saja, di emper pertokoan, bangunan kosong, atau kolong jembatan.Â