***
“Gadis itu bernama Ida Ayu Pitaloka, usianya masih delapan belas tahun saat meninggal. Ia putri tunggal bangsawan terhormat di sini. Ia meninggal karena kecelakaan ketika mengikuti outbond di Kintamani,” terang Pak Wayan. “Mayat dialah yang berada dalam arak-arakan yang kamu lihat beberapa hari yang lalu saat upacara ngaben. Dan mungkin…dia juga yang sering menampakkan diri padamu akhir-akhir ini,” sambungnya lagi.
“Mengapa harus aku?” batinku.
“Kamu tidah usah takut. Dia tidak akan mencelakaimu. Mungkin dia menyukaimu,” kata-kata di penghujung kalimat Pak Wayan membuatku merasakan desiran halus di pundakku, sejuk.
***
Sejak aku dan sepeda motorku meninggalkan pintu gerbang tempat kos di subuh yang gelap dan dingin itu, tak henti-hentinya kalimat-kalimat taawuzd meluncur dari mulutku. Aku tetap fokus mengendalikan tungganganku, pandangan lurus ke depan. Jantungku semakin berdegup kencang ketika melewati pos jaga dan pohon jati tua meranggas, tak ada hal aneh yang mencurigakan kurasakan. Mulutku semakin lancar melontarkan kalimat taawuzd. Keluar dari persimpangan jalan, tak tampak hal-hal ganjil di atas tembok tanah pekuburan itu.
“Alhamdulillah,” ucapku ketika sudah berada diparkiran karyawan. Tentram sungguh hatiku, lapang nian dadaku, nikmat segar terasa hirupan udara pagi itu, lega. Tak ada lagi penampakan-penampakan yang menegakkan bulu kuduk dan merindingkan tubuh pagi itu.
***
Hari itu genap tiga bulan aku berada di Bali, masa training yang kujalaninya, berakhir. Salam perpisahan pun terucapkan, disambut dengan salam dan pelukan hangat rekan-rekanku, dan diakhiri dengan ceburan tubuhku ke dalam kolam renang di depan Salsa Verde kitchen. Sungguh berat hatiku meninggalkan rekan-rekan. Mulai dari Chef de Cuisine sebagai sosok atasan yang bijaksana, nasehat-nasehat tulus Bli Kadek, hingga cerita-cerita mencekam Heriasa. Tiga bulan yang berkesan, unforgetable experience.
Keesokan sorenya aku bersiap pulang ke kampung halaman nun jauh di sana, di tengah Pulau Sumatera, Riau. Sore itu juga aku berpamitan kepada Pak Wayan pemilik rumah tempat aku kos. Pak Wayan sosok yang baik, penolong, dan murah hati. Bahkan sepeda motor Pak Wayan-lah yang aku gunakan sebagai penyambung kaki selama berada di Bali, tanpa ragu lelaki paruh baya itu mempersilahkan aku memakai sepeda motor miliknya saat pertama kali aku tiba di tempat kos itu.
Berjuta perasaan mengharu biru melanda hatiku ketika taksi yang akan mengantarku ke Bandara Ngurah Rai bergerak meninggalkan Pak Wayan yang berdiri di depan pagar rumahnya seraya melambaikan tangan. “Hanya Yang Maha Kuasa yang akan membalas kebaikanmu Pak Wayan,” batinku.