Setelah mandi dan Sholat Asyar, kepenatan tercampakkan, tubuhku jauh lebih segar, duduk santai di teras berlantai keramik biru muda di depan kamar kos sambil memandangi bunga-bunga kamboja berkuntum putih. Tadi sebelum mandi, Pak Wayan si pemilik tempat kos itu sempat memberitahukan bahwa arak-arakan yang aku lihat saat siang menjelang sore tadi adalah serangkaian prosesi upacara ngaben, pembakaran mayat. Setelah prosesi pembakaran, abu mayat hasil pembakaran itu akan di tabur ke laut.
Aku sudah hampir dua bulan menetap di Nusa Dua, Bali. Aku masih asing dengan suasana di tempat baru itu, termasuk yang aku saksikan saat pulang dari hotel, siang menjelang sore tadi. Kata Pak Wayan lagi, lahan di seberang jalan sebelum masuk ke jalan menurun ke kompleks perumahan tempat kos itu adalah pekuburan dan juga tempat perlangsungan upacara ngaben. Membayang di benakku suasana lahan yang dilingkupi tembok tanah, dari luar terlihat jelas beberapa puncak pura kecil menjulang melebihi tembok tanah itu, ditambah lagi dua batang pohon beringin tua berdiri kokoh menjaga pintu gerbang masuk ke areal pekuburan.
***
“Pizza salsa verde, no garlic, welldone, satu,” teriak Bli kadek membaca kertas orderan yang disodorkan seorang waitress berwajah simpatik.
Dengan sigap Aku menyiapkan pesanan itu, tanganku lincah merolling pizza dough hingga pipih, lalu menguasi permukaannya dengan saus basil dan saus tomat, ditutup dengan taburan filling dan mozzarela cheese. Kumasukkan racikanku itu ke dalam oven. Saat terdengar dentingan suara, segera aku membuka oven, menarik keluar pizza yang sudah matang itu, menaruhnya di plate dish dan memotongnya dari empat penjuru, tersajilah hidangan menarik selera dihadapku.
“Salsa verde, table 21, tarik!” teriak Bli Kadek seraya mengacungkan tangannya memanggil waitress yang sedang bergerombol di depan cool room kitchen.
“Ayo Di, giliran kita istirahat sekarang,” sambung Bli Kadek ketika melihat Bli Bawa dan Bli Komang muncul di pintu kitchen.
Aku menggangguk dan mengikuti langkah koki senior yang sudah belasan tahun di hotel berbintang lima itu.
Sambil berjalan ke locker room Bli Kadek berkata, “Kamu cepat belajar rupanya, Di. Ambillah ilmu sebanyak-banyaknya di sini, tak banyak orang yang mendapat kesempatan training di hotel ini,” ujar Bli Kadek, koki senior yang telah belasan tahun mengabdi di hotel berbintang lima itu, di locker room saat jam istirahat. Sama sepertiku, Bli Kadek sebenarnya orang tak banyak bicara, tapi setiap kali bicara selalu membuat penat di tubuhku terlepas, karena sederet kalimat penuh nasihat dan membesarkan hati selalu meluncur dari mulut pria sekitar empat puluhan tahun itu.
Aku mengangguk lagi sambil meresapi kata-katanya.
“Kamu sudah lihat schedule untuk minggu depan? Chef de Cuisine sudah menyusunnya. Kalau tidak salah kamu kebagian shift pagi, jam lima pagi sampai jam satu siang,” ujar Bli Kadek ketika berjalan menuju ruang makan karyawan, aku yang mengiringinya dari samping hanya mengangguk pelan.