Sebagai orang yang lahir dan besar serta bertempat tinggal hingga kini di Kota Bandung, jujur saja saya mulai merasa tidak betah hidup di kota ini. Saya merasa mulai pengap dengan suasana keseharian di Kota Bandung.Â
Jika orang luar Bandung, melihat dan menilai Bandung sebagai suatu tempat yang romantis, bagi saya hal tersebut tidaklah berlaku.Â
Saya memaklumi hal tersebut karena mungkin orang luar Bandung hanya melihat wajah kota yang cantik di titik-titik tertentu saja, misalnya di kawasan Dago, Cipaganti, area Gedung Sate dan Braga.Â
Namun sesungguhnya jika ingin melihat Bandung secara keseluruhan, maka lihatlah sudut-sudut Kota Bandung lainnya di bagian selatan, timur dan barat. Â Maka wajah bopeng Kota Bandung akan terlihat dengan jelas.Â
Dalam keseharian, Bandung bukanlah menjadi tempat tinggal yang nyaman lagi. Sekarang ini, udara Bandung makin terasa gerah, tidak sejuk seperti dulu.Â
Kesemrawutan kota bisa terlihat dari masalah yang tidak pernah terselesaikan, misalnya pemukiman kota yang kumuh, banjir, sampah yang berserakan, lokasi berdagang kaki lima yang tidak beraturan dan tentu saja, kemacetan lalu lintas. Buat warga Bandung, kemacetan lalu lintas ini sudah merupakan makanan sehari-hari.Â
Jika tiap akhir minggu, saya paling malas untuk keluar rumah karena kemacetan lalu lintas di Kota Bandung semakin menggila.Â
Kondisi ini diperparah dengan masih kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi publik di wilayah Bandung Raya yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. Bisa dikatakan, telah terjadi krisis transportasi publik di wilayah Bandung Raya.Â
Kondisi Transportasi Publik
Dari sudut pandang pemerintah (baik itu Pemerintah Kota/Pemkot Bandung, Pemerintah Provinsi/Pemprov Jawa Barat (Jabar) dan pemerintah pusat), untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota Bandung salah satunya dengan penyediaan transportasi publik.Â