Mohon tunggu...
Firdha Athifah Uszardi
Firdha Athifah Uszardi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Magister Akuntansi – NIM 55523110051 – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Mercu Buana – Pajak Internasional – Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Genealogi Transfer Pricing

26 November 2024   13:25 Diperbarui: 26 November 2024   13:37 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: PPT Prof Apollo (2024)
Sumber: PPT Prof Apollo (2024)
Sumber: PPT Prof Apollo (2024)
Sumber: PPT Prof Apollo (2024)

Diskursus Pajak Perusahaan yang Terindikasi Transfer Pricing

Perusahaan yang Terindikasi Terjadi Transfer Pricing

Dengan semakin berkembangnya globalisasi ekonomi, transaksi internasional atau cross-border transactions telah meningkat secara signifikan. Salah satu isu perpajakan utama yang timbul dari transaksi internasional adalah transfer pricing. Transfer pricing merujuk pada penetapan harga transaksi antar perusahaan dalam suatu perusahaan multinasional yang memiliki hubungan istimewa. Harga yang ditetapkan ini mencakup barang, jasa, atau hak kekayaan intelektual antar entitas yang berada di negara yang berbeda. Dalam konteks perpajakan, transfer pricing dapat digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah atau bahkan nol.

Masalah ini muncul terutama ketika negara-negara tersebut tidak memiliki peraturan anti-penghindaran pajak (anti-tax avoidance) yang memadai. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan besar untuk memanfaatkan transfer pricing untuk menghindari kewajiban pajak yang lebih tinggi. Seringkali, hal ini dilakukan dengan cara menetapkan harga yang tidak wajar, yaitu harga yang terlalu rendah (underpricing) atau terlalu tinggi (overpricing), untuk mengalihkan penghasilan dari satu negara ke negara lain dengan pajak yang lebih rendah.

Perusahaan Multinasional

Definisi perusahaan multinasional menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

  1. Frederick D.S. Choi dan Gerhard G. Mueller mengartikan perusahaan multinasional sebagai perusahaan yang mengoperasikan kegiatan bisnis di berbagai negara dengan tujuan untuk memaksimalkan laba, baik dengan mengoptimalkan biaya produksi atau dengan ekspansi pasar.
  2. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak menyatakan bahwa perusahaan multinasional adalah perusahaan yang memiliki cabang, anak perusahaan, atau kontrak keagenan di berbagai negara.
  3. Christopher Nobes dan Robert Parker menggambarkan perusahaan multinasional sebagai perusahaan yang memproduksi barang atau jasa di dua negara atau lebih.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan multinasional adalah perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara, dengan berbagai cara seperti anak perusahaan, cabang, atau agen yang diatur oleh hubungan kepemilikan atau pengendalian.

Transfer Pricing dalam Konteks Perpajakan

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), transfer pricing merujuk pada penetapan harga dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa antara pihak-pihak yang terlibat.

Masalah utama transfer pricing adalah jika harga yang ditetapkan dalam transaksi antar perusahaan multinasional tersebut tidak mencerminkan harga pasar yang wajar (arm's length). Hal ini dapat mengarah pada praktik tax avoidance, di mana laba yang seharusnya dikenakan pajak di negara tertentu justru dialihkan ke negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah.

Hubungan Istimewa

Hubungan Istimewa adalah keadaan di mana satu pihak memiliki pengaruh atau kontrol terhadap pihak lain dalam suatu transaksi. Hubungan ini bisa terjadi dalam beberapa bentuk, misalnya:

  • Kepemilikan: Suatu perusahaan memiliki setidaknya 25% saham pada perusahaan lain.
  • Penguasaan: Suatu perusahaan mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan lain, baik langsung maupun tidak langsung.
  • Hubungan keluarga: Hubungan keluarga dalam garis keturunan lurus atau ke samping satu derajat antara pemilik atau pengelola perusahaan.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 18, hubungan istimewa ini memengaruhi cara penetapan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan. Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian terhadap harga transfer yang tidak wajar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle)

Untuk mengatasi masalah transfer pricing, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atau yang dikenal dengan Arm's Length Principle (ALP) diterapkan. Prinsip ini mengatur bahwa harga atau laba dalam transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa haruslah sama atau berada dalam rentang yang sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Dalam hal ini, transaksi antar perusahaan dengan hubungan istimewa harus mencerminkan kondisi pasar yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan.

Langkah-langkah dalam penerapan ALP adalah:

  1. Analisis Kesebandingan: Mencari pembanding yang relevan untuk transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa.
  2. Penentuan Metode Transfer Pricing: Memilih metode yang tepat untuk menetapkan harga transfer yang sesuai dengan kondisi pasar.
  3. Penerapan ALP: Menerapkan prinsip kewajaran ini pada transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa.
  4. Dokumentasi: Mendokumentasikan setiap langkah yang diambil dalam menetapkan harga wajar atau laba wajar untuk memenuhi persyaratan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Implementasi dalam Transaksi Jasa dan Harta Tak Berwujud

Penerapan ALP juga berlaku untuk transaksi jasa dan pengalihan harta tak berwujud antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. Transaksi tersebut dianggap memenuhi ALP jika:

  • Jasa: Penyerahan jasa antara pihak yang memiliki hubungan istimewa harus benar-benar terjadi, dan harga yang dikenakan harus sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.
  • Harta Tak Berwujud: Pengalihan atau pemanfaatan harta tak berwujud antara pihak yang memiliki hubungan istimewa harus sebanding dengan nilai yang berlaku dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Penerapan transfer pricing dalam perusahaan multinasional memang memiliki risiko tinggi terkait penghindaran pajak jika tidak diterapkan dengan tepat. Oleh karena itu, setiap transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa harus memperhatikan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (ALP), agar harga yang dikenakan mencerminkan nilai pasar yang wajar dan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Implementasi yang baik dari ALP akan membantu mengurangi kemungkinan penghindaran pajak dan memberikan kontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara.

Transfer Pricing di Indonesia

Transfer pricing di Indonesia merujuk pada penetapan harga untuk transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, baik yang terjadi antara wajib pajak dalam negeri maupun dengan pihak luar negeri, termasuk negara-negara dengan pajak rendah (tax haven). Dalam konteks perpajakan Indonesia, prinsip yang diterapkan adalah prinsip substance over form, yang menekankan pada substansi transaksi dibandingkan dengan bentuk formalnya. Hubungan istimewa antara pihak-pihak yang bertransaksi sering kali menyebabkan pengaturan harga, biaya, atau imbalan yang tidak wajar, yang berpotensi merugikan basis pajak suatu perusahaan.

Tujuan Transfer Pricing
Tujuan utama dari transfer pricing adalah untuk meminimalkan kewajiban pajak, terutama dalam hal Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), dengan memanipulasi harga barang atau jasa yang dipertukarkan antar perusahaan yang berada dalam satu grup. Praktik ini sering kali digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan penghasilan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan pajak lebih rendah atau bahkan negara yang tidak mengenakan pajak (tax haven).

Contoh Kasus
Salah satu contoh yang sering terjadi adalah ketika PT Abadi Jaya Makmur, yang beroperasi di Indonesia, mengimpor bahan baku dari perusahaan induknya di Malaysia, PT Abadi Jaya Esa. Jika harga pasar yang wajar untuk bahan baku tersebut adalah US$10 per unit, namun PT Abadi Jaya Makmur membeli bahan baku dari PT Abadi Jaya Esa dengan harga US$30 per unit, harga yang lebih tinggi ini berpotensi mengurangi laba yang dilaporkan oleh PT Abadi Jaya Makmur di Indonesia, sehingga mengurangi pajak yang terutang di Indonesia.

Aspek Transfer Pricing yang Rentan terhadap Manipulasi Pajak

  1. Harga Penjualan dan Pembelian: Pengaturan harga jual dan beli antar pihak afiliasi yang tidak wajar dapat mengubah laporan laba rugi dan mempengaruhi besarnya pajak yang terutang.
  2. Pembebanan Biaya: Alokasi biaya overhead atau biaya manajerial dari satu entitas ke entitas lainnya bisa dimanipulasi untuk mengurangi pajak.
  3. Bunga dan Pembayaran Royalti: Pembayaran bunga atas pinjaman antar perusahaan atau royalti yang dibayar ke pihak luar negeri juga sering dimanipulasi.
  4. Skema Pajak Terhindar melalui Tax Haven: Perusahaan multinasional sering memindahkan laba mereka ke negara dengan pajak rendah untuk meminimalkan kewajiban pajak.

Pemeriksaan Transfer Pricing di Indonesia Pemeriksaan transfer pricing dilakukan dengan beberapa tahapan yang terstruktur. Pemeriksa pajak akan mengumpulkan data terkait hubungan istimewa antara perusahaan yang sedang diperiksa dan pihak lawan transaksinya. Tahapan pemeriksaan meliputi:

  • Menentukan Karakteristik Usaha Wajib Pajak: Pemeriksa perlu mengidentifikasi transaksi antar afiliasi dan melakukan analisis fungsi dari masing-masing entitas.
  • Memilih Metode Transfer Pricing: Dalam pemeriksaan transfer pricing, pemilihan metode yang sesuai dengan kondisi transaksi sangat penting. Metode yang sering digunakan meliputi Comparable Uncontrolled Price (CUP), Resale Price Method (RPM), dan Cost Plus Method (CPM).
  • Menerapkan Prinsip Kewajaran & Kelaziman Usaha: Prinsip ini memastikan bahwa harga atau laba yang ditetapkan antara pihak yang memiliki hubungan afiliasi sesuai dengan harga yang akan ditentukan dalam transaksi independen.

Penanggulangan Transfer Pricing yang Tidak Wajar Untuk mengatasi manipulasi transfer pricing, ada beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Audit Lengkap Transaksi Afiliasi: Pemeriksa pajak harus meninjau dengan cermat setiap transaksi antar afiliasi untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan harga pasar yang wajar.
  2. Harmonisasi Pemajakan Internasional: Upaya untuk menghindari disparitas pajak antar negara melalui perjanjian bilateral dan multilateral.
  3. Kerja Sama Internasional: Pertukaran informasi dan audit terpadu antar negara untuk memerangi penghindaran pajak melalui transfer pricing.
  4. Advance Pricing Agreement (APA): Dalam hal ini, wajib pajak dan otoritas pajak dapat mencapai kesepakatan mengenai metode transfer pricing yang akan digunakan dalam transaksi antar afiliasi.

Tantangan dalam Pemeriksaan Transfer Pricing Pemeriksaan transfer pricing sering kali menghadapi tantangan dalam mengidentifikasi data pembanding yang tepat, terutama dalam transaksi yang kompleks atau di sektor-sektor yang sangat teknis. Oleh karena itu, penting untuk memiliki metodologi yang kuat dalam menentukan harga wajar serta melibatkan pemeriksaan terhadap transaksi terkait dengan risiko tinggi seperti yang melibatkan negara dengan pajak rendah atau negara yang menjadi pusat penghindaran pajak (tax haven).

Penerapan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting)
Terkait dengan transfer pricing, tindakan internasional seperti BEPS (Aksi 13) menuntut keterbukaan lebih besar dalam pelaporan dan dokumentasi terkait transfer pricing, termasuk alokasi laba yang sesuai dengan penciptaan nilai. Pemeriksa pajak perlu memperhatikan lima tren utama dalam transfer pricing pasca-BEPS, yaitu penyelarasan alokasi laba, fokus pada audit unilateral, serta memeriksa transaksi keuangan intragrup dan perusahaan yang mengalami kerugian berulang.

Pemeriksaan transfer pricing di Indonesia diharapkan dapat mengurangi praktik penghindaran pajak dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional membayar pajak secara adil sesuai dengan kontribusi ekonomi yang mereka buat di Indonesia.

Apa Itu Genealogi Transfer Pricing: Keinginan Tak Sadar dalam Pengaturan Harga Lintas Negara

Transfer pricing (TP) atau harga transfer antar perusahaan yang terafiliasi merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengatur harga dalam transaksi internal guna meminimalkan kewajiban pajak. Meskipun terlihat sebagai fenomena yang bersifat teknis dan ekonomi, transfer pricing sebenarnya memiliki akar yang lebih dalam dalam sejarah, ideologi, dan praktik sosial-ekonomi. Untuk memahami asal-usulnya, kita dapat meminjam perspektif teori yang mengungkapkan bagaimana transfer pricing, sebagai fenomena bisnis, tidak hanya muncul sebagai pilihan rasional dalam dunia korporasi, melainkan juga sebagai ekspresi dari kehendak yang tak sadar (Wille) yang, pada akhirnya, terwujud dalam bentuk kesadaran kolektif yang memengaruhi kebijakan ekonomi global.

Dalam tulisan ini, saya akan melakukan refleksi kontemplatif mengenai genealogi transfer pricing dengan memanfaatkan teori-teori yang dapat menjelaskan bagaimana fenomena ini berkembang, tanpa terbatas pada teori-teori yang sering dikaitkan dengan kebebasan politik atau teori etika klasik seperti utilitarianisme Bentham dan Mill atau teori kebebasan negatif dan positif oleh Hayek dan Berlin. Sebagai alternatif, kita akan mengangkat teori-teori yang lebih berorientasi pada ekonomi dan struktur sosial, terutama yang berfokus pada hubungan kekuasaan, perilaku manusia dalam konteks ekonomi, serta peran negara dalam mengatur kebijakan pajak global.

Genealogi Transfer Pricing: Pengaruh Ekonomi Neoliberal dan Keinginan Tak Sadar

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan asal-usul transfer pricing adalah melalui perspektif teori ekonomi neoliberal, yang dipengaruhi oleh pemikiran para ekonom seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Neoliberalisme, yang berkembang pada paruh kedua abad ke-20, mengutamakan prinsip kebebasan pasar dan minimnya campur tangan negara dalam ekonomi. Pada titik ini, kita dapat memandang transfer pricing sebagai ekspresi dari kehendak individu (Wille) dalam dunia korporasi yang didorong oleh ideologi pasar bebas.

Melalui lensa ini, transfer pricing bisa dilihat sebagai strategi bagi perusahaan untuk mengoptimalkan laba dengan menggeser penghasilan dari negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah. Praktik ini, pada dasarnya, bukan hanya sekadar strategi ekonomi yang rasional, tetapi juga sebuah manifestasi dari kehendak tidak sadar (Id) para pelaku ekonomi yang ingin meminimalkan kewajiban pajak demi memaksimalkan keuntungan perusahaan. Dalam hal ini, transfer pricing bukan hanya mengenai pengaturan harga jual barang atau jasa, melainkan juga soal pengalihan kekuasaan ekonomi dan politik yang terjadi antar negara.

Kehendak ini bertumbuh dari suatu pemahaman yang mendalam tentang ketidakadilan dalam sistem perpajakan global dan keinginan untuk memanipulasi struktur tersebut demi keuntungan yang lebih besar. Dari sini, transfer pricing muncul sebagai respons terhadap kenyataan bahwa negara-negara dengan pajak lebih tinggi dapat mempengaruhi pengalokasian laba perusahaan, sedangkan negara dengan pajak rendah dapat memberikan insentif lebih besar untuk memindahkan laba dari negara asal. Dalam konteks ini, transfer pricing menjadi sarana penghindaran pajak yang sah, meskipun sering kali melampaui batas kewajaran harga pasar yang sebenarnya.

Transfer Pricing dan Pemikiran Marx: Hubungan Antara Kapitalisme dan Negara?

Selanjutnya, kita dapat memanfaatkan teori Marx mengenai kapitalisme dan hubungan kekuasaan antar kelas untuk menggali lebih dalam mengenai genealogi transfer pricing. Marx berpendapat bahwa dalam sistem kapitalisme, kelas pemilik modal (borjuis) senantiasa mencari cara untuk mempertahankan dan memperbesar akumulasi modal mereka, dengan cara menekan upah pekerja dan memanipulasi struktur ekonomi. Transfer pricing, dalam konteks ini, bisa dipandang sebagai salah satu metode yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pajak dengan cara menekan kewajiban pajak negara yang memiliki kekuatan fiskal lebih kuat.

Dalam hal ini, transfer pricing bukan hanya dilihat sebagai alat untuk mengoptimalkan keuntungan perusahaan, tetapi juga sebagai instrumen untuk mempertahankan dominasi ekonomi di tingkat global. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan besar, terutama yang beroperasi di negara-negara berkembang, menggunakan praktik ini untuk mentransfer laba ke negara dengan tarif pajak yang rendah. Dengan demikian, negara-negara berkembang yang bergantung pada pajak untuk membiayai pembangunan sering kali dirugikan. Transfer pricing, dengan demikian, menjadi salah satu mekanisme yang memungkinkan penghisapan sumber daya ekonomi negara-negara ini oleh korporasi besar, yang melayani kepentingan global daripada kepentingan lokal.

Genealogi Transfer Pricing Melalui Perspektif Teori Psikoanalisis: Keinginan yang Tak Sadar

Dari sudut pandang psikoanalisis, kita bisa melihat fenomena transfer pricing sebagai suatu bentuk pengalihan atau penindasan dari ketidaksadaran menuju kesadaran. Dalam hal ini, fenomena transfer pricing bukan hanya dilihat sebagai keputusan rasional yang berorientasi pada keuntungan, tetapi juga sebagai ekspresi dari ketidaksadaran korporasi yang menginginkan penghindaran kewajiban pajak, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk yang tampak rasional, seperti pengaturan harga antara entitas-entitas yang berafiliasi.

Seperti halnya dalam teori Lacan, yang menyatakan bahwa tindakan manusia sering kali dipengaruhi oleh kehendak yang berada di luar kesadaran langsung, transfer pricing bisa dilihat sebagai manifestasi dari keinginan tak sadar (Id) para pelaku ekonomi untuk mencapai kontrol penuh atas penghasilannya dan menghindari beban pajak. Transaksi antar afiliasi perusahaan yang tidak memperhatikan prinsip harga pasar yang wajar bisa dipandang sebagai tindakan penghindaran pajak yang tidak sepenuhnya disadari sebagai bentuk penekanan terhadap norma-norma keadilan perpajakan. Dalam hal ini, transfer pricing adalah suatu bentuk penghindaran pajak yang seolah-olah sah dan rasional, tetapi sesungguhnya berakar pada struktur keinginan yang lebih dalam, yaitu pengingkaran terhadap kewajiban sosial dan negara.

Menemukan Genealogi Transfer Pricing dalam Konteks Sosial dan Politik

Genealogi transfer pricing juga bisa dijelaskan dengan menelaah peran negara dalam mengatur sistem perpajakan dan bagaimana kebijakan pajak internasional berkembang seiring waktu. Dalam sejarahnya, negara-negara berkembang seringkali kesulitan mengatur transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, karena mereka tidak memiliki kekuatan fiskal yang cukup untuk melawan dominasi perusahaan-perusahaan besar. Praktik transfer pricing, dalam hal ini, mencerminkan ketegangan antara negara sebagai entitas yang ingin memaksimalkan penerimaan pajaknya, dan perusahaan multinasional yang berusaha menghindari kewajiban pajak tersebut.

Di sisi lain, dalam dunia yang semakin terhubung secara global ini, konsep kebebasan ekonomi yang diusung oleh negara-negara besar sering kali mendominasi kebijakan ekonomi negara-negara kecil. Transfer pricing kemudian menjadi alat yang memungkinkan kebebasan pasar tanpa campur tangan negara. Namun, di balik kebebasan pasar yang dijanjikan, terdapat ketimpangan antara negara-negara dengan kekuatan fiskal besar dan negara-negara berkembang yang lebih lemah dalam sistem perpajakan internasional.

Transfer pricing bukanlah fenomena yang terjadi begitu saja sebagai respons terhadap kebutuhan ekonomi atau kebijakan pajak yang rasional. Sebaliknya, ia merupakan hasil dari kehendak tak sadar yang muncul dari interaksi antara kekuatan pasar, struktur ekonomi global, dan kebijakan negara. Dalam hal ini, transfer pricing mengungkapkan hubungan yang kompleks antara kehendak individu dalam dunia korporasi, pengaturan pajak internasional, serta kekuasaan negara dalam menentukan kebijakan ekonomi. Genealogi transfer pricing, dengan demikian, tidak hanya sekadar mengenai aspek teknis ekonomi, tetapi juga soal bagaimana sistem global ini memperlakukan kewajiban pajak sebagai bagian dari hubungan sosial-ekonomi yang lebih besar, di mana negara-negara dengan kekuasaan fiskal yang lebih lemah sering kali terpinggirkan.

Mengapa menggunakan Genealogi Transfer Pricing: Sebuah Pendekatan Alternatif Berbasis Teori Konstruksionisme Sosial dan Hubungan Kekuasaan

Pendekatan genealogi terhadap fenomena Transfer Pricing (TP) atau harga transfer perusahaan yang berafiliasi memerlukan sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana fenomena tersebut berkembang dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun banyak teori yang mengkaji TP dari perspektif ekonomi atau kebijakan pajak (seperti teori utilitarian, kebebasan, atau psikoanalisis), tulisan ini bertujuan untuk menggali asal-usul transfer pricing melalui pendekatan yang berbeda, dengan menggunakan teori konstruksionisme sosial dan hubungan kekuasaan. Dengan demikian, kita akan memandang TP bukan hanya sebagai alat teknis untuk efisiensi pajak, tetapi sebagai fenomena yang muncul dari interaksi sosial, kekuasaan, dan narasi yang dibangun oleh aktor-aktor ekonomi global.

Transfer Pricing dan Konstruksionisme Sosial

Konstruksionisme sosial berfokus pada pemahaman bahwa realitas sosial tidaklah diberikan secara objektif, melainkan dibangun dan diterima melalui interaksi sosial antara individu dan kelompok. Dalam konteks ini, transfer pricing dapat dilihat sebagai konstruksi sosial yang muncul dari cara dunia bisnis dan negara-negara membentuk aturan dan norma dalam kebijakan pajak internasional. Konstruksi harga transfer ini, pada dasarnya, adalah hasil dari konsensus yang dibentuk antara korporasi multinasional dan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Meskipun secara teknis TP dapat dilihat sebagai instrumen yang sah untuk menentukan harga jual antar perusahaan afiliasi, ia juga merupakan hasil dari konstruksi sosial yang berakar pada relasi kekuasaan di tingkat global.

Dari sudut pandang ini, transfer pricing muncul sebagai respons terhadap "realitas" yang diciptakan oleh pasar bebas dan globalisasi ekonomi, di mana perusahaan-perusahaan besar memiliki kekuatan untuk menetapkan aturan permainan yang menguntungkan bagi mereka. Dalam hal ini, praktik transfer pricing mencerminkan "narasi" yang diterima oleh banyak pihak, di mana perusahaan multinasional menjadi aktor dominan yang mengontrol arus modal dan perpajakan antar negara. Sementara itu, negara-negara berkembang, yang lebih lemah dalam mempengaruhi kebijakan global, seringkali harus menerima mekanisme ini karena adanya ketergantungan mereka pada investasi luar negeri.

Dengan demikian, genealogi transfer pricing dalam kerangka konstruksionisme sosial menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah sesuatu yang bersifat netral atau alami, melainkan sebuah konstruksi sosial yang tercipta dalam suatu proses interaksi antara korporasi, negara, dan lembaga internasional. Perusahaan-perusahaan besar menciptakan narasi tentang kebutuhan untuk menghindari pajak yang tinggi dengan memanfaatkan harga transfer sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini, transfer pricing bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan bagian dari konstruksi sosial yang didasarkan pada pemahaman bersama bahwa penghindaran pajak adalah sesuatu yang sah, meskipun terkadang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial dan redistribusi.

Transfer Pricing dan Hubungan Kekuasaan

Jika kita melihat transfer pricing dari perspektif teori hubungan kekuasaan, kita dapat memahami bahwa fenomena ini terkait erat dengan struktur kekuasaan dalam sistem ekonomi global. Michel Foucault dalam kajian tentang kekuasaan berpendapat bahwa kekuasaan bukan hanya terpusat pada negara atau individu tertentu, tetapi tersebar dalam berbagai lembaga sosial dan ekonomi. Transfer pricing, dalam hal ini, merupakan contoh konkret bagaimana kekuasaan tersebar melalui mekanisme ekonomi yang tampak teknis, namun sesungguhnya mencerminkan dominasi perusahaan-perusahaan besar dalam menentukan aturan-aturan pajak internasional.

Praktik transfer pricing menjadi manifestasi dari hubungan kekuasaan antara negara-negara kaya dan negara-negara berkembang, di mana negara-negara dengan kekuatan fiskal yang lebih besar memiliki kemampuan untuk memaksakan kebijakan yang menguntungkan mereka. Negara-negara berkembang sering kali terpaksa menerima kebijakan transfer pricing karena kurangnya kekuatan untuk menentang dominasi korporasi multinasional, yang memiliki pengaruh lebih besar dalam sistem ekonomi global.

Dari sudut pandang ini, transfer pricing berfungsi sebagai alat untuk memindahkan laba dan kekayaan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah, yang pada gilirannya memperburuk ketimpangan ekonomi global. Genealogi transfer pricing dari perspektif kekuasaan ini menunjukkan bahwa fenomena ini tidak hanya mencerminkan upaya perusahaan untuk menghindari pajak, tetapi juga mencerminkan ketegangan antara akses terhadap sumber daya yang dikuasai oleh korporasi multinasional dan kewajiban fiskal negara-negara yang lebih lemah.

Bagaimana Transfer Pricing dalam Konteks Globalisasi dan Fragmentasi Ekonomi

Globalisasi ekonomi juga memainkan peran penting dalam perkembangan transfer pricing. Dalam era globalisasi, perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara dengan regulasi pajak yang berbeda-beda. Genealogi transfer pricing dalam konteks globalisasi menggambarkan bagaimana fenomena ini muncul sebagai respons terhadap fragmentasi dan ketidaksesuaian antara kebijakan pajak yang ada di berbagai negara. Dengan menggunakan harga transfer sebagai instrumen, perusahaan dapat menavigasi ketidakpastian dan fragmentasi sistem perpajakan internasional dengan menciptakan struktur harga yang fleksibel, yang tidak selalu mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya.

Dalam hal ini, globalisasi telah menciptakan sebuah realitas ekonomi baru di mana perusahaan-perusahaan besar memiliki kontrol yang lebih besar atas bagaimana laba mereka dikenakan pajak di tingkat internasional. Transfer pricing, dengan demikian, adalah salah satu bentuk adaptasi terhadap kompleksitas regulasi pajak lintas negara yang tercipta dalam konteks globalisasi, di mana negara-negara dengan kebijakan pajak yang lebih rendah menjadi tujuan utama bagi perusahaan untuk memindahkan laba mereka.

Genealogi transfer pricing dengan pendekatan konstruksionisme sosial dan hubungan kekuasaan menawarkan wawasan baru tentang asal-usul dan perkembangan fenomena ini. Transfer pricing bukan hanya alat yang digunakan untuk mengatur harga dalam transaksi internal antar perusahaan, tetapi juga hasil dari konstruksi sosial yang muncul melalui interaksi antara aktor-aktor ekonomi global dan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Praktik ini mencerminkan narasi yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan norma-norma global yang mengarah pada dominasi pasar bebas dan penghindaran pajak, yang sering kali merugikan negara-negara berkembang.

Selain itu, dengan melihat transfer pricing melalui lensa hubungan kekuasaan, kita dapat memahami bahwa fenomena ini lebih dari sekadar strategi ekonomi; ia adalah manifestasi dari ketimpangan ekonomi dan kekuasaan antara negara-negara besar dan kecil. Transfer pricing berfungsi sebagai alat untuk memperkuat dominasi ekonomi perusahaan multinasional, sambil memperburuk ketidaksetaraan dalam sistem perpajakan global. Dengan demikian, genealogi transfer pricing mengungkapkan dinamika sosial dan ekonomi yang lebih luas yang membentuk kebijakan perpajakan internasional dan hubungan kekuasaan global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun