Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam. Dan sudah barang tentu bahwa dalam soal qadariyah dan jabbariyah diatas, sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir, kaum mu'tazilah mengambil paham qadariyah.[3]
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu Hasan al-Asyari. Asy'ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu'tazilah, tetapi kemudian, Â menurut riwayatnya sendiri melihat dalam mimpi bahwa ajaran Mu'tazilah dicap nabi sebagai ajaran yang sesat, al-Asy'ari meninggalkan ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-Asy'ariyah.[4]
Disamping aliran Asy'ariyah timbul pula di Syamarkand suatu aliran yang bermaksud juga menetang aliran Mu'tazilah dan didirikan Abu Mansur al-Maturidi.
Aliran ini kemudian terenal dengan teologi al-Maturidiah, sebagai mana terlihat nanti tidaklah bersifat setradisional aliran Asy'ariyah, akan tetapi tidak pula bersifat seliberal Mu'tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisional.[5]
Kadir, AbdulDirasatIslamiyah.Sidoarjo: DwiputraPustaka Jaya, 2016
Departemen Agama RI, Al-Qur'an danTerjemahan. Bandung:Sygma, 2014
Nasution, Harun.Teologi Islam.Jakarta:Universitas Indonesia Pers, 1986