Ilmu kalam yaitu suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan. Yang kemudian muncul berbagai aliran ilmu kalam yang dikarenakan perbedaan pemahaman pemikiran tentang akidah (keyakinan), karena ilmu bersumber dari filsafat yang basisnya fikiran.
Aliran kalam muncul dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut pembunuhan Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.Â
Setelah Usman bin Affan wafat kedudukannya sebagai khalifah digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali mendapat tantangan dari Muawiyah, gubernur damaskus dan keluarga dekat Usman, ia tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.Â
Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad IbnAbi Bakr, anak angkat dari Ali Ibn Abi Thalib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir.Yang kemudian terjadi perang siffin antara pihak Ali dan Muawiyah.
Dipandang bahwa peperangan itu tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya mengakibatkan jatuhnya korban dikedua belah pihak, Â maka peperangan itu diakhiri dengan arbitrase (perjanjiandamai).
[1] Yang mana pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari dan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Akan tetapi Amr bin Ash mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.Â
Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Muawiyah telah naik sebagai khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan jika putusan ini ditolak oleh Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661M.
Sikap Ali yang menerima arbitrase, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak bias diputuskan oleh arbitrase manusia.Â
Putusan hanya dating dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur'an. Mereka memandang Ali telah berbuat salah dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah yang terkenal dengan nama al-khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy'ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Qur'an mengatakan:
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka merreka itu adalah orang-orang yang kafir (Q.S. al-Maidah:5:44).[2]
Dari ayat ini mereka mengambil semboyan Laahukmaillalillah. Dan karena keempat pemuka islam diatas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, mereka mesti dibunuh. Untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarahhanya orang yang dibebani membunuh Ali IbnAbiThalib yang berhasil dalam tugasnya.Â
Khawarij mengatakan orang yang melakukan dosa besar adalah kafir karena mereka mempunyai devinisi iman percaya dalam hati (tashdiqu bilqalbi), diucapkan dalam lisan (iqrou billisan), dan melakukan dengan perbuatan ('amal ubilarkan). Sehingga jika orang yang tidak beriman dan melakukan dosa besar dianggap kafir.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hokum dengan al-Qur'an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam. Pertama aliran Khawarij yang mengtakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam dan oleh karena itu ia wajib dibunuh. Aliran kedua yaitu aliran Murji'ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin bukan kafir.Â
Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuninya atau tidak. Kaum Mu'tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat diatas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin, akan tetapi berada diantara posisi kafir dan mukmin atau disebut dengan al manzilah bainal manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Khawarij sebuah tesa (kesimpulan) atau isu pemikirran yang berkembang mengenai statusnya orang yang melakukan dosa besar memunculkan kesimpulan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu kafir. Syi'ah sebuah tesa yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar masih dikatakan iman dan kemudian muncul anti teas yaitu murji'ah tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir tapi diserahkan kepada Allah. Â Â Â Â Â
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qodariyah dan al-jabariyah. Menurut qodariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya (free will and free act).Â
Sebaliknya jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbutannya. Manusia dalam tingkah lakunya menurut jabbariyah, Â bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan.
Selanjutnya kaum Mu'tazilah dengan diterjemahkan dalam buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu.Â
Pemkaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawah oleh kaum Mu'tazilah kedalam lapangan teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti sungguh pun kaum Mu'tazilah banyak menggunakan rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu.Â
Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam. Dan sudah barang tentu bahwa dalam soal qadariyah dan jabbariyah diatas, sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir, kaum mu'tazilah mengambil paham qadariyah.[3]
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu Hasan al-Asyari. Asy'ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu'tazilah, tetapi kemudian, Â menurut riwayatnya sendiri melihat dalam mimpi bahwa ajaran Mu'tazilah dicap nabi sebagai ajaran yang sesat, al-Asy'ari meninggalkan ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-Asy'ariyah.[4]
Disamping aliran Asy'ariyah timbul pula di Syamarkand suatu aliran yang bermaksud juga menetang aliran Mu'tazilah dan didirikan Abu Mansur al-Maturidi.
Aliran ini kemudian terenal dengan teologi al-Maturidiah, sebagai mana terlihat nanti tidaklah bersifat setradisional aliran Asy'ariyah, akan tetapi tidak pula bersifat seliberal Mu'tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisional.[5]
Kadir, AbdulDirasatIslamiyah.Sidoarjo: DwiputraPustaka Jaya, 2016
Departemen Agama RI, Al-Qur'an danTerjemahan. Bandung:Sygma, 2014
Nasution, Harun.Teologi Islam.Jakarta:Universitas Indonesia Pers, 1986
[1 Dr. H. Abdul Kadir, DirasatIslamiyah(Sidoarjo:DwiputraPustaka Jaya, 2016) hal 196
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur'an danTerjemahan(Bandung: Sygma, 2014)hal115
[3] HarunNasution, Teologi Islam(Jakarta:Universitas Indonesia Pers, 1986) hal 10Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H