Pemberian semacam ini jelas diperbolehkan dan halal diterima, asalkan sang penerima benar-benar berstatus seperti yang diinginkan pemberi.
Kedua, pemberian yang bertujuan mendapatkan timbal balik harta benda, seperti orang miskin yang memberikan hadiah kepada orang kaya, dengan harapan dia mendapatkan balasan dari sebagian kekayaannya. Untuk model semacam ini boleh diterima ketika yang diinginkan pemberi bisa didapatkan dan terkabulkan.
Ketiga, pemberian dengan harap berbalas pertolongan, seperti orang yang berkepentingan kepada seorang pemimipin, memberi bingkisan pada petugas, atau seseorang yang memiliki pengaruh di sisi pemimipin untuk menyampaikan keinginannya pada sang pemimpinPemberian model seperti ini masih perlu meninjau pada keinginan yang ingin dicapai dari sang pemimpin.Â
Jika keinginan tersebut berbentuk perbuatan haram, maka jelas haram mengambil pemberiannya. Jika berbentuk suatu kewajiban yang menjadi tugas penerima bingkisan, namun dia hanya ingin melaksanakannya ketika mendapat imbalan, maka yang seperti ini tergolong sogokan (risywah) yang jelas haram hukumnya.Â
Dan jika keinginan tersebut berbentuk sesuatu yang boleh dilakukan, maka bila pekerjaan tersebut membutuhkan tenaga ekstra di luar tugasnya, maka tergolong penyewaan jasa yang hukumnya boleh. Namun, jika pekerjaan tersebut hanya membutuhkan sebuah status untuk memuluskannya, tanpa harus menguras tenaga ekstra, maka sama saja dengan sogokan.
Keempat, pemberian yang bertujuan memperkuat rasa cinta dan kasih sayang semata, tanpa tujuan lain yang terselubung di belakangnya. Model semacam ini jelas boleh dilakukan bahkan dianjurkan. Dalam sebuah Hadis Nabi Muhammad r bersabda, "Saling (memberi) hadiahlah kalian semua, maka kalian semua akan saling mencintai". (HR: al-Baihaqi)
Kelima, pemberian yang bertujuan memikat hati, namun di balik itu ada tujuan lain yang ingin dicapai melalui status penerimanya. Di mana status tersebut merupakan jalan untuk memuluskan tujuannya. Pemberian semacam ini perlu dipilah. Jika status tersebut terkait keilmuan atau kasta keturunan, maka menerima pemberian semacam ini hukumnya makruh. Sebab, meski bukan tergolong sogokan, setidaknya memiliki kemiripan yang sangat tipis.Â
Akan tetapi, apabila status tersebut terkait jabatan kenegaraan, yakni andaikata jabatan tersebut tidak dia miliki, niscaya dia tetap akan menerima pemberian tersebut, maka hukum menerima pemberian semacam ini sangat dilarang, meski pun masih diperselisihkan apakah sampai pada taraf haram atau sekedar makrh syaddah.
Memang, pemberian yang semacam ini dapat dimungkinkan murni sedekah, namun dimungkinkan juga berupa sogokan yang dibungkus dengan sedekah untuk meraih tujuan tertentu di baliknya. Dari lima kemungkinan status di atas, fenomena di tanah air ini, paling mungkin pada status yang kelima.Â
Pemberian para calon kepada pemerintah, masyarakat, dan tokoh masyarakat, bukanlah sogokan, sebab mereka tidak memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan tongkat kepemimpinan, karena kepemimpinan tetap menunggu surat keputusan dari pemerintah di atasnya atau melalui system demokrasi yang berlaku.
Tapi pemberian semacam ini tetap memiliki kemiripan dengan sogokan, sebab bagaimanapun mereka para penerima punya andil dalam memuluskan kenginginan para calon untuk menjadi pemimpin. Jelasnya, menerima pemberian para calon dalam kondisi seperti ini berhukum makruh atau makrh syaddah.Â