Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi pemimpin. Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia non-politik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut memperebutkan kursi kekuasaan.
Akhir-akhir ini menjadi bukti yang sangat konkrit, beberapa bintang film, musisi, tokoh agama, dan pengusaha, mulai banyak menapaki perpolitikan yang membuat persaingan politik di tanah air tambah menggigit dan panas.Â
Keikutsertaan mereka dalam perebutan tumpu kepemimpinan negara bukanlah fenomena krusial dalam pandangan Islam. Karena syari'at Islam memang tidak memberikan kriteria ketat bagi seorang pemimpin. Asalkan piawai dalam mengatur negara dan sejalan dengan prinsip ajaran Agama, semua orang berhak menjadi pemimpin. Lebih-lebih, dalam kondisi darurat seperti di masa sekarang, dimana ketentuan pemimpin yang tertera dalam literartur kitab salaf sangat sulit terpenuhi secara sempurna.Â
Asalkan bukan non muslim, semua bisa menjadi pemimpin jika dapat mendominasi suara rakyat (taghallub). Bahkan non muslim sekalipun bisa menjadi pemimpin (selain presiden), apabila terpercaya dan bisa diandalkan.
Namun, hal tersebut ketika sudah tidak ada lagi orang Islam yang layak menduduki posisinya. Untuk mendominasi suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon pemimpin.Â
Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di dunia non-politik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun dengan modal finansial yang besar. Kekuatan finansial tersebut yang kemudian digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas (money politik).
Para calon yang menempuh jalan kedua ini yang kemudian sangat piawai dalam menutupi money politik yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang dibungkus rapi dalam bentuk sedekah dan pemberian secara individual. Sehingga, suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan menu dan aroma yang baru.
Fenomena ini merupakan imbas dari kebijakan perubahan sistem pemilihan yang sebelumnya melalui permusyawarahan dewan legislatif menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Karena poros perpolitikan dalam sistem demokrasi adalah bagaimana dapat meraih suara terbanyak.Â
Dan tampaknya cara paling efektif adalah melalui money politik. Menanggapi fenomena semacam ini, sembilan abad yang lalu, Hujjtul-Islm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazali telah memberikan rumusan detail dalam mengklasifikasi pemberian seseorang.
Menurut beliau, suatu pemberian tidak akan lepas dari sebuah tujuan. Meski tidak selalu berbentuk balasan di dunia, pemberian dapat pula bertujuan pahala di akhirat. Pemberian juga dapat dimaksudkan sebagai jalan meraih pertolongan untuk menggapai suatu tujuan, atau sekadar sebagai pemikat hati, baik secara murni, atau memang untuk meraih hal lain yang tersembunyi.
Maka Imam al-Ghazali menawarkan lima kemungkinan status dalam pemberian seseorang; Pertama, pemberian yang murni bertujuan pahala, seperti pemberian yang ditujukan kepada orang yang membutuhkan, para cendikiawan, dan kasta keturunan tertentu.Â
Pemberian semacam ini jelas diperbolehkan dan halal diterima, asalkan sang penerima benar-benar berstatus seperti yang diinginkan pemberi.
Kedua, pemberian yang bertujuan mendapatkan timbal balik harta benda, seperti orang miskin yang memberikan hadiah kepada orang kaya, dengan harapan dia mendapatkan balasan dari sebagian kekayaannya. Untuk model semacam ini boleh diterima ketika yang diinginkan pemberi bisa didapatkan dan terkabulkan.
Ketiga, pemberian dengan harap berbalas pertolongan, seperti orang yang berkepentingan kepada seorang pemimipin, memberi bingkisan pada petugas, atau seseorang yang memiliki pengaruh di sisi pemimipin untuk menyampaikan keinginannya pada sang pemimpinPemberian model seperti ini masih perlu meninjau pada keinginan yang ingin dicapai dari sang pemimpin.Â
Jika keinginan tersebut berbentuk perbuatan haram, maka jelas haram mengambil pemberiannya. Jika berbentuk suatu kewajiban yang menjadi tugas penerima bingkisan, namun dia hanya ingin melaksanakannya ketika mendapat imbalan, maka yang seperti ini tergolong sogokan (risywah) yang jelas haram hukumnya.Â
Dan jika keinginan tersebut berbentuk sesuatu yang boleh dilakukan, maka bila pekerjaan tersebut membutuhkan tenaga ekstra di luar tugasnya, maka tergolong penyewaan jasa yang hukumnya boleh. Namun, jika pekerjaan tersebut hanya membutuhkan sebuah status untuk memuluskannya, tanpa harus menguras tenaga ekstra, maka sama saja dengan sogokan.
Keempat, pemberian yang bertujuan memperkuat rasa cinta dan kasih sayang semata, tanpa tujuan lain yang terselubung di belakangnya. Model semacam ini jelas boleh dilakukan bahkan dianjurkan. Dalam sebuah Hadis Nabi Muhammad r bersabda, "Saling (memberi) hadiahlah kalian semua, maka kalian semua akan saling mencintai". (HR: al-Baihaqi)
Kelima, pemberian yang bertujuan memikat hati, namun di balik itu ada tujuan lain yang ingin dicapai melalui status penerimanya. Di mana status tersebut merupakan jalan untuk memuluskan tujuannya. Pemberian semacam ini perlu dipilah. Jika status tersebut terkait keilmuan atau kasta keturunan, maka menerima pemberian semacam ini hukumnya makruh. Sebab, meski bukan tergolong sogokan, setidaknya memiliki kemiripan yang sangat tipis.Â
Akan tetapi, apabila status tersebut terkait jabatan kenegaraan, yakni andaikata jabatan tersebut tidak dia miliki, niscaya dia tetap akan menerima pemberian tersebut, maka hukum menerima pemberian semacam ini sangat dilarang, meski pun masih diperselisihkan apakah sampai pada taraf haram atau sekedar makrh syaddah.
Memang, pemberian yang semacam ini dapat dimungkinkan murni sedekah, namun dimungkinkan juga berupa sogokan yang dibungkus dengan sedekah untuk meraih tujuan tertentu di baliknya. Dari lima kemungkinan status di atas, fenomena di tanah air ini, paling mungkin pada status yang kelima.Â
Pemberian para calon kepada pemerintah, masyarakat, dan tokoh masyarakat, bukanlah sogokan, sebab mereka tidak memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan tongkat kepemimpinan, karena kepemimpinan tetap menunggu surat keputusan dari pemerintah di atasnya atau melalui system demokrasi yang berlaku.
Tapi pemberian semacam ini tetap memiliki kemiripan dengan sogokan, sebab bagaimanapun mereka para penerima punya andil dalam memuluskan kenginginan para calon untuk menjadi pemimpin. Jelasnya, menerima pemberian para calon dalam kondisi seperti ini berhukum makruh atau makrh syaddah.Â
Walhasil, secara hukum fikih, sah-sah saja mengambil pemberian calon pemimpin yang diberikan pada saat hingar-bingar pemilihan.Â
Sebab bagaimanapun, pemberian tersebut hanya berhukum makruh, yang tentunya dengan catatan pemberian tersebut murni hanya ingin mendapatkan dukungan rakyat tanpa dicampuri tujuan menggunakan cara-cara yang illegal. Tapi yang perlu diingat, meski hukum makruh boleh dikerjakan, perbuatan makruh tetap sebuah larangan yang dianjurkan Syari'at untuk dihindari.Â
Maka menerima atau menolaknya, kembali pada pribadi masing-masing. Wal-lhu a'lam
penulis: mukhtar syafa'at
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI