Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pendekatan Empati dalam Komunikasi Krisis Covid-19

19 Mei 2020   08:04 Diperbarui: 19 Mei 2020   08:04 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memahami kondisi yang dialami orang lain sangatlah sulit, dibutuhkan suatu pembelajaran bagaimana seandainya diri ini berada dalam posisi itu, apakah juga akan berbuat seperti yang dilakukan individu itu atau mempunyai tindakan lain.

Otak manusia dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan pola khusus saat mengelola informasi ketika dihadapkan dengan suatu ancaman, baik terhadap diri sendiri maupun ancaman kepada sekitar. 

Dampaknya, kita cenderung merespons dengan perasaan cemas, takut, tidak berpikir jernih, dan panik. Wajar saja ketika otak kita merespons dengan hal semacam itu, terlebih dengan adanya informasi krisis soal COVID-19. 

Namun ternyata kecemasan itulah yang membuat kita kesusahan untuk bekerjasama dengan otak kita dalam menghadapi krisis. Untuk itu, diperlukan suatu metode mengolah emosi cemas dan perasaan was-was, untuk menjadi kunci mengatasi krisis saat ini.

Tanpa mengakui adanya emosi yang negatif di tengah kita, akan sangat sulit bagi kita untuk menunjukkan kepentingan yang sama untuk memerangi virus Corona. Ketika kita diberikan informasi real, bahkan seburuk realitas yang ada, maka kita akan memiliki pegangan informasi untuk membuat keputusan yang rasional untuk keluar dari masalah yang kita hadapi.. 

Tentunya realitas semacam ini dibangun atas kepercayaan dua arah dan bukan berdasarkan asumsi kecurigaan satu sama lain. Tak terkecuali persoalan global pandemi COVID-19 ini.

Itu disebut dengan komunikasi krisis.

Fearn-Banks (2002:2) menyatakan pendapatnya bahwa “komunikasi krisis adalah dialog yang terjadi antara suatu institusi dan publik dalam waktu sebelum dan setelah krisis”. 

Komunikasi krisis di masa pandemi saat ini menjadi penting karena diyakini sebagai sebuah upaya bagi institusi / kelompok (baca:negara) untuk merefleksikan diri mereka masih mampu untuk mengendalikan suatu keadaan. 

Pandemi ini telah memunculkan berbagai macam respon termasuk respon dan cara pemerintah menangani komunikasi krisis yang sangat menentukan keselamatan warga Indonesia. Pesan yang disampaikan tepat waktu dari orang tepat diyakini dapat menyelamatkan sebuah nyawa.

Dalam pedomannya, Departemen Kesehatan Amerika Serikat telah menyesuaikan enam prinsip untuk komunikasi krisis yang efektif pada kejadian luar biasa seperti pandemi COVID-19. Ke-enam prinsip itu tadi ialah : Be First, Be Right, Be Credible, Express Empathy, Promote Action, dan Show Respect. 

2 Maret 2020 menjadi momen yang penting bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama WNI terjangkit virus corona di wilayah Indonesia-meskipun kedua WNI tersebut dinyatakan sembuh. 

Namun, ada yang janggal dari informasi tersebut yakni Presiden Jokowi tidak mengikutsertakan empati dan menunjukan rasa hormat kepada pandemi yang saat itu Indonesia dianggap “telat” dalam penanganan COVID-19 bahkan sempat diragukan keakuratan informasi yang disampaikan pemerintah melalui pejabat-pejabatnya. 

Tidak hanya pengumuman Presiden Jokowi saja, pernyataan pernyataan menteri atau pejabat negara di sepanjang krisis COVID-19 ini, jarang sekali yang menunjukkan prinsip ini. 

Bahkan sesekali informasi yang disampaikan bersifat meremehkan, denial, blunder, dan lain sebagainya. Padahal, dengan menampilkan empati, kita bisa lebih percaya bahwa pemerintah akan melakukan segenap upaya untuk menangani krisis untuk kepentingan masyarakat.

Sebagai sesama orang beriman bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan, “kal bunyanin yasuddu ba’dhuhu ba’dhon” (HR. Bukhori).

Empati dikenal sebagai kemampuan kita untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan pikiran individu lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Howe (2015) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan   oleh   orang   lain   dalam   rangka   untuk   merespons   pikiran   dan   perasaan   mereka   dengan   sikap  yang  tepat.

Empati dalam komunikasi krisis dimulai dari pengakuan kita terhadap rasa emosi, takut, dan cemas sebagai perasaan yang kita yakini benar dan kita alami sendiri. 

Dengan menunjukkan empati, kita bisa menunjukkan kalau kita juga punya kekhawatiran yang sama dengan yang lainnya. Kita berusaha memahami dan peduli atas kejadian yang menimpa kita semua.

Kebijakan awal pemerintah untuk menggenjot pariwisata dalam negeri di kala belahan dunia sedang menghadapi menunjukkan kepentingan negara tidak memprioritaskan keselamatan dan kesehatan masyarakat. 

Secara singkat, COVID-19 ini merupakan krisis kesehatan dan bukan krisis ekonomi-meskipun ekonomi merupakan dampak lanjutan dari persoalan kesehatan yang sebelum pandemi ini pun masih banyak permasalahannya. 

Alih alih ingin meminimalisasi kepanikan yang timbul di masyarakat, pemerintah justru mengeluarkan informasi-informasi yang diragukan keakuratannya. Ketika masyarakat menemukan kejanggalan dalam informasi yang disampaikan oleh pemerintah, maka timbul kepanikan masyarakat tentang keadaan krisis yang sebenar-benarnya. 

Komunikasi krisis pemerintah baik sebelum atau sesudah Indonesia mengalami pandemi sangat jarang menampilkan ekspresi dengan nada yang empatik. Pernyataan pernyataan pejabat negara seperti “Indonesia kebal Corona karena cuaca panas”“Corona tidak diizinkan masuk ke Indonesia karena ijinnya berbelit-belit” menunjukkan  bahwa pejabat publik kita berada dalam kondisi denial

Penyangkalan yang mereka lakukan adalah dengan tidak menganggap serius masalah pandemi ini, termasuk menganggap remeh perasaan cemas dan panik yang sebetulnya sudah ada di masyarakat.

Namun, kepanikan yang diberitakan sebetulnya patut untuk dicerna kembali. Sejarawan bencana, Scott Gabriel Knowles dalam bukunya “The Disaster Experts” menunjukkan bahwa kepanikan masal-yang berulang kali kita lihat di film film ber-genre action , thriller , war jarang terjadi di masyarakat. Justru sebaliknya, keadaan krisis membuat masyarakat saling gotong royong membuat gerakan kolektif untuk membantu sesamanya. Pun juga tidak menutup kemungkinan untuk membantu makhluk hidup lain seperti yang sedang dilakukan oleh Taman Satwa Taru Jurug Surakarta dengan mengajak masyarakat untuk membantu manajemen agar dapat membeli pakan untuk hewan dengan membeli tiket seharga Rp 20.000 yang berlaku hingga akhir tahun ini.

Jadi, tunggu apa lagi? Siapa yang mau ke Jurug bareng aku hehee....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun