Dalam pedomannya, Departemen Kesehatan Amerika Serikat telah menyesuaikan enam prinsip untuk komunikasi krisis yang efektif pada kejadian luar biasa seperti pandemi COVID-19. Ke-enam prinsip itu tadi ialah : Be First, Be Right, Be Credible, Express Empathy, Promote Action, dan Show Respect.
2 Maret 2020 menjadi momen yang penting bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama WNI terjangkit virus corona di wilayah Indonesia-meskipun kedua WNI tersebut dinyatakan sembuh.
Namun, ada yang janggal dari informasi tersebut yakni Presiden Jokowi tidak mengikutsertakan empati dan menunjukan rasa hormat kepada pandemi yang saat itu Indonesia dianggap “telat” dalam penanganan COVID-19 bahkan sempat diragukan keakuratan informasi yang disampaikan pemerintah melalui pejabat-pejabatnya.
Tidak hanya pengumuman Presiden Jokowi saja, pernyataan pernyataan menteri atau pejabat negara di sepanjang krisis COVID-19 ini, jarang sekali yang menunjukkan prinsip ini.
Bahkan sesekali informasi yang disampaikan bersifat meremehkan, denial, blunder, dan lain sebagainya. Padahal, dengan menampilkan empati, kita bisa lebih percaya bahwa pemerintah akan melakukan segenap upaya untuk menangani krisis untuk kepentingan masyarakat.
Sebagai sesama orang beriman bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan, “kal bunyanin yasuddu ba’dhuhu ba’dhon” (HR. Bukhori).
Empati dikenal sebagai kemampuan kita untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan pikiran individu lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Howe (2015) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespons pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat.
Empati dalam komunikasi krisis dimulai dari pengakuan kita terhadap rasa emosi, takut, dan cemas sebagai perasaan yang kita yakini benar dan kita alami sendiri.
Dengan menunjukkan empati, kita bisa menunjukkan kalau kita juga punya kekhawatiran yang sama dengan yang lainnya. Kita berusaha memahami dan peduli atas kejadian yang menimpa kita semua.
Kebijakan awal pemerintah untuk menggenjot pariwisata dalam negeri di kala belahan dunia sedang menghadapi menunjukkan kepentingan negara tidak memprioritaskan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Secara singkat, COVID-19 ini merupakan krisis kesehatan dan bukan krisis ekonomi-meskipun ekonomi merupakan dampak lanjutan dari persoalan kesehatan yang sebelum pandemi ini pun masih banyak permasalahannya.