Mohon tunggu...
Firdaus Ferdiansyah
Firdaus Ferdiansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi asyik ngampus di universitas nomor satu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Logika Keberpihakan dalam Rumusan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja untuk Siapa?

14 Februari 2020   13:57 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:22 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, atmosfer politik Indonesia dalam keadaan gelap-mendung di beberapa tempat. Hitam yang mampu menggelapi permukaan awan, mengaburkan jarak pandang, hingga tak sekali dua kali pilot mengalami turbulensi keras dalam perjalanan. 

Dalam kasus yang sama, awan hitam sering kali menjadi asal turunnya hujan. Yang dewasa ini, dapat dikendalikan berkat kelimuan dan kemajuan teknologi agar hujan turun sesuai dengan yang dikehendaki. Pengendali tersebut tak lain ialah "Negara" melalui BMKG, BPPT, dan TNI AU yang mengklaim mampu menggeser hujan agar menjauh dari wilayah padat penduduk. Maklum, "Negara" kapok dengan banjir yang sempat melanda beberapa daerah termasuk Ibukota yang terjadi di awal tahun ini.

Pun juga demikian dengan negara yang semestinya menjadi pengendali kondisi politik agar terpenuhi hak masyarakatnya dan terlaksana kewajiban pemerintahannya.

Namun di tengah tengah kesaksian post-modern demokrasi, unsur negara tidak lagi hanya terbatas pada Rakyat, Tanah, dan Pemerintah. Ada unsur baru yang jelas memiliki dampak besar dalam kehidupan bernegara, sebut saja mereka adalah elit politik-pengusaha atau yang sering kita dengar istilah Oligarki. Sekelompok orang, sekelompok kecil elit yang memegang kekuasaan secara mutlak.

Mungkin saja, karakter Awan yang bertanya kepada Kale dalam cuplikan film NKCTHI boleh jadi keterwakilan masyarakat kepada pemerintah yang bertanya soal kepastian dirinya di tengah tengah kehadiran kaum Oligarki. "Jadi Kami Ini Apa Tuan?".

Meskipun kaum Oligarki susah untuk dibuktikan dan ditunjuk hidungnya secara langsung, Jeffrey A. Winters dalam bukunya "Olygharcy" menghadirkan pemahaman ulang mengenai konsep Oligarki. Menurut Profesor Northwestern University ini, ada dua dimensi yang merekonstruksi eksistensi Oligarki.

Satu, ia yang memiliki pondasi kekuasaan-kekayaan material yang sudah sangat jelas susah untuk dipecah dan diimbangi. Dua, ia yang memiliki jangkauan-jaringan kekuasaan yang luas dan sistematik. Dengan demikian, kaum Oligarki bisa dipastikan berdasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan jangkauannya luas nan sistematik.

Menurut Winters, cikal bakal kemunculan konsep teori Oligarki tak lain adanya ketimpangan pada masyarakat soal ketidaksetaraan material yang ekstrem.

Sehingga menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Interpretasi kesetaraan dalam demokrasi tidak terbatas hanya pada kedudukan dan akses melainkan kekayaan yang sangat besar sehingga menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada kaum tersebut.

Ini didasari pada proses distribusi sumber daya material diantara anggota-elit politik, demokrasi atau sistem lainnya, yang memiliki pengaruh besar pada kekuasaan. Tidak seimbang-nya distribusi kekayaan material, akan mempengaruhi relasi kuasa orang orang kaya dalam menentukan motif dan tujuan politiknya.

Untuk memperjelas itu semua, Winters membuat semacam taksonomi mengenai tipe ideal Oligarki. Antara lain : 1. Oligarki yang muncul dengan kekuasaan pemaksaan (kekerasan) secara langsung ada pada dirinya; 2. Oligarki yang memainkan kekuasaan kolektif melalui lembaga atau badan yang memiliki norma; 3. Oligarki yang tampuk kekuasaannya pada satu tangan; 4. Oligarki yang secara penuh tak bersenjata dan tidak berkuasa secara langsung.

Pasca Orde Baru, meskipun dominansi kekuasaan berhasil diturunkan. Hal ini tidak berlaku bagi para Oligarki. Mereka tetap ada dan nyata. Mereka hanya berpindah haluan dengan bekerjasama dalam mengelola kekuasaan melalui badan-badan pemerintahan. Secara praktis, kelompok kolektif ini mirip mirip dengan mafia suatu komoditas, atau konkret-nya dalam pemerintahan Yunani-Roma.

Akhirnya, bagaimanapun juga penjelasan tentang Oligarki, yang digunakan tak lepas dari pemahaman tentang pentingnya sumber daya-kekayaan material yang ter-konsentrasi pada perkembangan ekonomi politik pada suatu negara. Para elit politik-birokrat sengaja mengikutsertakan diri dalam permainan ini agar dapat terus menyeimbangkan kekuasaan dan tak jatuh dalam kemiskinan.

Meskipun tidak semuanya terlibat, kerangka-jaringan yang sudah dibentuk tentu akan membuat mereka-non Oligarki kesulitan untuk menyeimbangi pengaruh kekuasaannya.

Sesuai dengan kasus yang diangkat kali ini, dalih yang digunakan pemerintah dalam proses rumusan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja-yang belakangan berganti nama menjadi RUU Cipta Kerja agar tidak disalahgunakan menjadi RUU Cilaka ini, menggunakan dua pendekatan permasalahan yang sudah menjadi momok bagi para pengusaha-investor-dan sejenisnya.

            Satu, bencana hiperregulasi.

Dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan bencana hiper-regulasi, Omnibus Law menjadi solusi alternatif yang akan digunakan pemerintah sebab selama ini sering terjadi tumpang tindih diantara undang undang, terlebih yang berkenaan dengan investasi.

Penerapan Omnibus Law ini semestinya menjadi metode ribuan regulasi yang saling tumpang tindih baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam kajian BAPPENAS Tahun 2018 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia terhambat akibat dua faktor utama yaitu regulasi yang tumpang tindah dan ego sektoral kementerian/lembaga.

Dalam suatu kasus, suatu lembaga membuat dan memberlakukan peraturan tanpa ada rujukan yang mendalam dengan peraturan peraturan yang sudah ada, sehingga akan menimbulkan ketidakselarasan dan akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum.

            Dua, kemudahan berinvestasi.

Dalam pengantar-nya , Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia menitikberatkan terhadap kebutuhan investasi baru sebesar Rp.  4.800.000.000.000.000 (Triliun). Angka ini merupakan hasil hitungan yang mengasumsikan pada Rp 800 Triliun di tiap 1% pertumbuhan ekonomi di tiap tahunnya. Itu berarti, pemerintah memerlukan pencapaian pada pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 6%. Meskipun, Indonesia perlu sadar diri dalam 5 tahun terakhir, rata rata pertumbuhan ekonomi berkisar 5%.

Hal ini dicanangkan agar dapat menjadi jalan keluar pada lebih dari 7 juta orang yang masuk dalam usia produktif namun belum mendapatkan pekerjaan. Belum lagi, terlambat-nya pengangguran sebanyak 2 juta orang di setiap tahun angkatan kerja yang berasal dari beragam latar belakang.

Sebagai gambaran, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebut sejak beberapa tahun terakhir cukup mengamati penurunan investasi per Rp 1 Triliun investasi. Dimana, APINDO juga mencatat pada 2013 per Rp 1 Triliun mampu menyerap tenaga kerja sekitar lebih dari 4.500-an orang. Sedangkan pada 2018 serapan tenaga kerja hanya sekitar 1.300an orang per Rp 1 Triliun investasi.

Hal ini cukup diperkuat dengan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyatakan bahwa realisasi investasi sepanjang semester I-2019 senilai Rp 395,6 Triliun dengan mencatat total serapan tenaga kerja 490.715 orang. Dalam hal ini, apabila dirata-rata, serapan tenaga kerja untuk setiap Rp 1 Triliun investasi pada paruh pertama 2019 sekitar 1.240 orang.

Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul "Doing Business 2020" mencatatkan sudah melakukan perbaikan demia perbaikan pada lima aspek pada tahun ini sehingga skor kemudahan bisnisnya naik 1,64 poin menjadi 67,96 meskipun dengan peringkat yang flat di urutan ke-73. Bank Dunia juga menggarisbawahi bahwa salah satu persoalan terbesar Indonesia yakni ketenagakerjaan.

"Di antara ekonomi dengan penghasilan menengah-rendah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menjadi salah satu yang memiliki regulasi ketenagakerjaan paling kaku, terutama terkait dengan pengangkatan kerja" tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Kebijakan upah minimum yang wajib diikuti bertujuan untuk menjamin kompensasi yang adil untuk pekerja. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini cukup merugikan para pemilik modal.

Di sisi lain, tercetak kekhawatiran dan penolakan keras dari kalangan pekerja dan kelas buruh yang menjadi motor utama dalam elemen gerak industri. Penolakan ini pun mendapat kalangan dari pelbagai elemen sipil seperti : akademisi; organisasi masyarakat; maupun pemuda-mahasiswa.

Narasi pemerintah yang mengikutsertakan jaminan terhadap pekerja terpenuhi, seolah bertolak belakangan dengan kebijakan yang mereka terapkan.

Hal ini terlihat dalam Keputusan Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 Tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN Untuk Konsultasi Publik Omnibus Law yang didominasi oleh kalangan pengusaha-elit politik serta beberapa akademis tanpa ada seorang pun yang mewakili kalangan pekerja atau serikat pekerja atau konfederasi pekerja mana pun.

Penyelenggaraan masukan publik pun dianggap sebagai formalitas agar peraturan yang akan segera diundangkan dapat memenuhi legalitas nya. Partisipasi publik yang dilakukan tak lebih dari sekadar sosialisasi, bukan sebagai masukan utama dalam membentuk dan menjalankan undang-undang.

Keberpihakan semacam ini tentu akan mengganggu wacana publik yang sudah "kadung" memberikan kesempatan kedua kepada pemerintahan Joko Widodo. 

Sekali lagi, wajar apabila masyarakat yang diwakili oleh pelbagai elemen sipil menaruh rasa khawatir karena di dalamnya terdapat konsep aturan yang berpotensi memiliki resiko di kemudian hari.

Selain itu, pengawasan terhadap hidden agenda yang rawan disusupi hanya demi kepentingan Oligarki dan ekonomi elit politik. Tak ada jaminan yang dapat dipastikan akan terselenggaranya perlindungan dan kesejahteraan terhadap pekerja. Atau kepastian penegakan hukum terhadap pelanggar hak asasi manusia, perampas hak atas tanah, dan aktivitas lain yang mengancam kerusakan lingkungan hidup.

Melihat persoalan itu, ada baiknya ketergesa-gesaan pemerintah dalam menyikapi respons dari publik tidak terus mengesampingkan masukan-masukan yang ada. Kegugupan pemerintah dalam proses ini juga tidak mencerminkan kehadiran negara dalam rangka menjamin hak-hak warga negara. Percayalah, semakin keras pemerintah memaksakan diri untuk meyakinkan publik tanpa diimbangi usaha untuk membuat publik yakin maka penolakan juga akan makin keras. 

Referensi 

Kalau Bapak Narendra bilang tugas seorang kakak menjaga adik-adiknya supaya merasa aman, tenang, dan bahagia. Maka tugas negara menjamin pelaksanaan kewajiban pemerintah dan memenuhi hak hak warga negaranya supaya merasa aman, nyaman, dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun