Pasca Orde Baru, meskipun dominansi kekuasaan berhasil diturunkan. Hal ini tidak berlaku bagi para Oligarki. Mereka tetap ada dan nyata. Mereka hanya berpindah haluan dengan bekerjasama dalam mengelola kekuasaan melalui badan-badan pemerintahan. Secara praktis, kelompok kolektif ini mirip mirip dengan mafia suatu komoditas, atau konkret-nya dalam pemerintahan Yunani-Roma.
Akhirnya, bagaimanapun juga penjelasan tentang Oligarki, yang digunakan tak lepas dari pemahaman tentang pentingnya sumber daya-kekayaan material yang ter-konsentrasi pada perkembangan ekonomi politik pada suatu negara. Para elit politik-birokrat sengaja mengikutsertakan diri dalam permainan ini agar dapat terus menyeimbangkan kekuasaan dan tak jatuh dalam kemiskinan.
Meskipun tidak semuanya terlibat, kerangka-jaringan yang sudah dibentuk tentu akan membuat mereka-non Oligarki kesulitan untuk menyeimbangi pengaruh kekuasaannya.
Sesuai dengan kasus yang diangkat kali ini, dalih yang digunakan pemerintah dalam proses rumusan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja-yang belakangan berganti nama menjadi RUU Cipta Kerja agar tidak disalahgunakan menjadi RUU Cilaka ini, menggunakan dua pendekatan permasalahan yang sudah menjadi momok bagi para pengusaha-investor-dan sejenisnya.
      Satu, bencana hiperregulasi.
Dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan bencana hiper-regulasi, Omnibus Law menjadi solusi alternatif yang akan digunakan pemerintah sebab selama ini sering terjadi tumpang tindih diantara undang undang, terlebih yang berkenaan dengan investasi.
Penerapan Omnibus Law ini semestinya menjadi metode ribuan regulasi yang saling tumpang tindih baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam kajian BAPPENAS Tahun 2018 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia terhambat akibat dua faktor utama yaitu regulasi yang tumpang tindah dan ego sektoral kementerian/lembaga.
Dalam suatu kasus, suatu lembaga membuat dan memberlakukan peraturan tanpa ada rujukan yang mendalam dengan peraturan peraturan yang sudah ada, sehingga akan menimbulkan ketidakselarasan dan akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum.
      Dua, kemudahan berinvestasi.
Dalam pengantar-nya , Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia menitikberatkan terhadap kebutuhan investasi baru sebesar Rp. Â 4.800.000.000.000.000 (Triliun). Angka ini merupakan hasil hitungan yang mengasumsikan pada Rp 800 Triliun di tiap 1% pertumbuhan ekonomi di tiap tahunnya. Itu berarti, pemerintah memerlukan pencapaian pada pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 6%. Meskipun, Indonesia perlu sadar diri dalam 5 tahun terakhir, rata rata pertumbuhan ekonomi berkisar 5%.
Hal ini dicanangkan agar dapat menjadi jalan keluar pada lebih dari 7 juta orang yang masuk dalam usia produktif namun belum mendapatkan pekerjaan. Belum lagi, terlambat-nya pengangguran sebanyak 2 juta orang di setiap tahun angkatan kerja yang berasal dari beragam latar belakang.