Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Rahasia untuk Bu Guru

19 November 2024   13:40 Diperbarui: 19 November 2024   16:13 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rani! Jangan bicara sendiri selama jam pelajaran!"

Kepalaku mendongak gugup ketika Bu Yuli menegurku dan segala penjuru mata tertuju kepadaku. Mengapa penghapusku harus jatuh saat Bu Yuli tengah menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia, sih! Lebih aneh lagi penghapus itu seakan-akan menghilang ketika berusaha ku cari! Jelas-jelas aku melihatnya terjatuh tapi aku hanya melihat kaki-kaki meja, kaki-kaki kursi dan kaki teman semejaku.

"Rani! Apa kau dengar?"

"Iya bu, ma-maaf!"

Bagiku, ditegur secara memalukan seperti ini di kelas bagai pukulan besar. Aku juga merasa perlakuan Bu Yuli itu tidak adil padahal aku hanya ingin mencari penghapus yang terjatuh dan melakukannya tanpa suara atau tanpa meminta bantuan pada Laila,  teman sebangkuku. Aku hanya mampu menundukkan kepala tanpa mengeluh lagi karena takut akan menimbulkan keributan, tapi aku juga menahan air mataku karena sangat kesal. Aku berpikir ingin menghampiri Bu Yuli saat jam istirahat tiba dan menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi lagi-lagi nyaliku ciut saat ingin melakukannya. Konyol sekali kalau ada seorang anak perempuan kelas 4 SD mengadu kepada gurunya perkara penghapusnya hilang. 

Aku tidak menyangka Bu Yuli yang kusukai baru saja menegurku dengan nada tinggi. Rambutnya pendek bergelombang anggun. Dia mengenakan blus biru dengan bros pita ungu kecil menggantung di sakunya, membuatnya makin terlihat cantik mempesona. Aroma parfumnya juga menarik perhatian anak-anak di kelas sehingga ketika sosoknya melewati kita, baunya masih tercium di hidung meskipun bayangan Bu Yuli melengang jauh. Saat menulis di papan dan mulai menerangkan pelajaran suaranya amat sopan mengetuk gendang telingaku, terdengar lembut dan hangat. Itu sebabnya, aku ingin terlihat baik; menjadi anak baik di mata Bu Yuli. Namun, suaranya yang mendadak keras hari ini telah menyambar hatiku.

Keesokan harinya,  ketika sedang berjalan sendirian di selasar aku melihat Bu Yuli juga sedang berjalan ke arahku sambil menenteng tasnya. Sepertinya ia akan mengajar di kelas sebelah. Sungguh, aku menjadi salah tingkah. Setengah berlari aku menghindarinya dengan hati-hati berharap ia tidak menyapaku karena aku sedang buru-buru ke kelas.

"Halo Rani! Selamat pagi!'

Kudengar suaranya ramah memanggil namaku tapi aku terlalu takut sekadar menatap matanya. Segera hilang bayangku di balik pintu kelas. Aku tidak berani menoleh ke belakang. Ah, rasanya lega bercampur rasa bersalah karena tidak mengacuhkan sapaan guru, kupikir-pikir tingkah lakuku sangat tidak sopan. Jika Bu Yuli sudah lupa tentang kejadian kemarin mengapa aku terus mengingatnya? 

Tunggu, mengapa Bu Yuli lupa secepat itu? Bu Yuli, aku masih terluka mengingat kau menegurku di depan kelas kemarin. Aku belum lupa rasanya.  Pokoknya, jika ia berkata begitu, itu pasti benar. Aku ingin bertanya kepadanya tapi tak bisa. Itu karena telah terjadi kesalahpahaman di antara kami meskipun hanya aku yang menyimpannya sendiri.

Ternyata di zaman ini, guru-guru pun masih menyakiti hati murid-murid dengan nada-nada emosional. Tentu aku juga tahu ada lebih banyak guru yang memberikan kasih sayang dan kebaikannya agar momen kecewa dan tidak adil akan menjadi kenangan khusus di mataku. Sayang sekali, di mataku Bu Yuli telah menjadi bagian dari guru-guru yang menyakiti hati murid dengan nada emosional. Dia bukan Bu Yuli yang ku sukai.

Pergantian pelajaran telah tiba. Saatnya jam pelajaran bahasa Indonesia oleh Bu Yuli. Bel tanda masuk kelas semakin menambah rasa kawatirku. Bagaimana ini Tuhan? sebentar lagi Bu Yuli akan masuk dan mengajar kami. Hei, itu kan sudah kewajibannya sebagai guru seharusnya aku tidak boleh bersikap seperti ini. Aku harus lebih serius dan jangan sampai membuat Bu Yuli marah untuk kedua kalinya.

"Anak-anak, hari ini ibu tidak akan menjelaskan materi panjang lebar seperti kemarin. Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit tetapi sambil belajar, setuju?"

"Kita akan melakukan apa bu hari ini?" David, ketua kelas yang duduk di bangku depan mewakili pertanyaan di benak anak-anak sekelas.

"Coba kalian tulis surat kepada ibu. Santai, jangan kaku. Tulis saja semua yang ingin kalian utarakan kepada ibu, anggap Bu Yuli seperti teman kalian di kelas ini. Ibu tunggu tulisan kalian sampai jam pelajaran kita selesai. Apa kalian bisa?"

"Bisa bu!" jawab sekelas serentak, beberapa anak bersemangat karena jam pelajaran ini mereka bisa bebas berbicara tanpa memperhatikan penjelasan bu guru, setenganya lagi terlihat malas-malasan bahkan memegang bolpoinnya saja lesu. Apakan ini kesempatan bagiku untuk mengatakan masalah kemarin lewat surat?

Setengah jam berlalu, tetapi lembaran kertasku masih kosong. Laila masih sibuk menulis, rapat sekali jarak antar tulisannya. Apa yang dia ceritakan kepada Bu Yuli ya? Aku ingin tahu. Ketika aku menjulurkan kepala, Laila langsung menyembunyikan suratnya, "Eits! Ini surat rahasia, dilarang mengintip!" Aih, pelit nian memang si Laila. Ini kan bukan ujian akhir. Baiklah, aku pasti juga bisa menuliskan sesuatu untuk Bu Yuli, ini adalah kesempatan terakhir untuk mengakhiri kesalahpahaman kami.

"Untuk Bu Yuli,

Bu Yuli, Rani sedih karena kemarin ibu memarahi Rani di hadapan teman-teman. Penghapus Rani jatuh terus tiba-tiba hilang. Rani lagi cari penghapus itu, bu, bukan bicara sama Laila, tapi ibu langsung menuduh Rani bicara sendiri. Rani juga minta maaf karena pura-pura nggak dengar sapaan ibu tadi pagi soalnya Rani takut."

Satu jam berlalu. Bel berbunyi, tanda jam pelajaran Bahasa Indonesia harus diakhiri. Setiap anak mengumpulkan masing-masing suratnya ke meja guru. Aku mengumpulkan surat paling terakhir setelah Laila, sebab ragu antara ingin menambahkan beberapa kalimat lagi atau sudah cukup seperti ini saja. Ah sudahlah, lagipula memang inilah yang ingin kuungkapkan kepada Bu Yuli.

"Rani, ibu minta tolong bantu ibu membawa surat teman-teman ke ruang guru ya, tangan ibu bawa banyak barang ini. Boleh kan?" Iya juga. Tangan kanannya menenteng tas laptop, tangan kiri membawa map biru dan merah berisi modul ajar berjilid-jilid. Pundaknya memikul ransel abu-abu. Lengkap sudah, bawaannya lebih pantas disebut persiapan menginap di hotel dibanding persiapan mengajar para murid.

"Ba-baik, bu." Aku masih saja tergagap bila berbicara langsung dengannya.

Kuletakkan tumpukan kertas itu di atas mejanya. Bu Yuli duduk sambil menyandarkan barang-barangnya di bawah meja. Ia menghela napasnya panjang seraya melepas sebentar kacamatanya. Terdengar terengah-engah mungkin karena saking beratnya barang-barang yang dipikulnya itu. Keringat membasahi pelipisnya, rambut hitam bergelombang yang selama ini kukagumi itu rasanya ingin aku rapikan pakai sisir Hello Kitty pink milikku.

Bagiku, Bu Yuli adalah guru terbaik yang ku kenal di sekolah ini, tapi mungkin Bu Yuli mengabaikan beberapa bagian saking banyaknya hal besar dan kecil yang harus ia kerjakan secara bersamaan. Hidup melekat bersama anak-anak tentunya ada banyak hal pribadi yang harus Bu Yuli simpan sendirian. Aku hanya seorang anak kelas 4 SD yang tidak tahu apapun tentang kehidupan orang dewasa, pasti terjadi sesuatu sehingga Bu Yuli tiba-tiba bersikap seperti kemarin. Aku menyesal telah menumpahkan kekesalanku di surat itu. Rasanya ingin mengambil lagi suratku, meremasnya lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Terima kasih ya, Rani, sudah bantu ibu." Ia tersenyum sambil membersihkan sisa keringat di leher.

"Ngomong-ngomong, ibu juga punya surat untuk Rani, tunggu sebentar!", Bu Yuli buru-buru membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah surat berwarna pink bergambar Hello Kitty lucu favoritku.

Dia menyodorkan amplop surat pink itu dengan raut berseri-seri berharap muridnya ini dapat menerima suratnya dengan tulus. Ku terima suratnya ragu-ragu, sedikit curiga kalau jangan-jangan ini sandiwara lagi. Namun tidak. Dengan lembut Bu Yuli menarikku ke pelukannya. Aroma parfum yang kusuka baunya menyeruak hidungku. Guru-guru di sekitar kami hanya tersenyum saja sibuk menyelesaikan urusan masing-masing. Tangannya membelai lembut punggungku. "Ibu minta maaf ya, nak.." terdengar lirih suaranya di telinga, aku pun tersenyum dengan air mata mengalir di pipi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun