Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maling Lantip

22 Mei 2024   23:49 Diperbarui: 22 Mei 2024   23:56 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pxhere.com

Sejak ditinggal ibunya, Willi dan ayahnya hidup berdua-dua saja dalam rumah kumuh yang sempit. Wanita itu minggat akibat tak tahan lagi menghirup bau alkohol dari mulut suaminya setiap malam. Entah ada di mana keberadaanya sekarang, yang jelas sejak ibunya memutuskan pergi, kebiasaan mabuk ayahnya semakin menjadi-jadi. 

Pria paruh baya itu hanya modal luntang-lantung saja di lahan parkir. Banyaknya uang yang ia dapat sebagian besar lari ke minuman keras dan akibatnya Willi terpaksa berhenti sekolah ketika masih duduk di bangku kelas 1 SMK. Untuk membeli beras sekilo saja sudah kepayahan apalagi membayar biaya SPP yang begitu mencekik dompet. Baru saja Willi mengutarakan ingin lanjut sekolah, duda beranak satu itu sudah menggebrak meja seraya mengultimatum putranya amat keras.

"Sekolah? Mabuk kamu! Cari cara dong! Jadi buruh kek, tukang galon kek, tukang gas atau angon kambing pun tak masalah, asal jangan coba-coba bicara sekolah di depan ayah! Jangan mengharap nasib baik di ibukota, paham?!"

Tak ingin merasakan pukulan dan tendangan berulang saban hari, Willi memutuskan menjadi buruh klobot di pabrik illegal milik teman ayahnya. Karena alasan koneksi dan kebutuhan tenaga kerja yang mendesak, dengan sukarela Willi diterima sebagai buruh di pabrik. Kabarnya, kelobot bikinan pabrik itu yang paling nikmat rasanya, sebab ada sedikit campuran ganja beraroma. Dan dengan berat hati Willi tetap melakoni pekerjaan ini dengan segenap kekuatannya. Meskipun pekerjaannya berkelindan dengan klobot yang terkenal nikmat itu, ia tak sama sekali tak tertarik untuk mencicipinya.

Risiko yang ditanggung bekerja dengan bahan herbal semacam ganja tentu menimbulkan efek tak  nyaman, baik batin maupun fisik. Lama kelamaan paparan racun berbahaya dari tanaman-tanaman itu telah berimbas kepada tubuhnya. Willi menjadi sering sakit dan pandangannya berputar-putar. Tak jarang ia sering kena pukul ayahnya sebab upah dibayarkan semau bosnya saja. Ada saat-saat dimana anak itu tetap berangkat ke pabrik meski terbatuk-batuk atau sempoyongan, bergelut dengan asap kendaaraan dan bau tembakau yang menyengat.

Ujung padi masih belum menguning, musim hujan masih jauh diprediksi, di suatu malam, kawan satu nasibnya yang berusia di atasnya sepakat melakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk protes kesewenang-wenangan. Upah sekian bulan tak kunjung cair sementara beban kerja semakin memecut tubuhnya tak kenal siang dan malam. 

Pagi sebelum loper Koran mengayuh sepeda, ia sudah bergerak lebih dulu bersama kawannya mengendarai mobil pick up butut milik si juragan demi mendistribusikan berbaku-baku ganja dan tembakau yang aromanya bisa membuat kepala kliyengan. Menjelang siang hingga petang, Willi harus memasok klobot yang sudah dikemas ke sarang-sarang penyamun. Mereka semua pelanggan tetap, penikmat setia kelobot bikinan pabrik juragannya itu. Ia berkeliling pergi ke bekas gudang, bangunan mangkrak, pasar-pasar, terminal dan beberapa tempat tersembunyi di seantero Kota Jakarta dimana segala jenis manusia yang ingin cari hura-hura saling berkumpul dan menyabu. Sering pula ia ditawari untuk bergabung bersama tapi dengan alasan bekerja, Willi melipir pergi memasok bahan ke tempat lain. Hari demi hari ia  sibuk berkeliling menjajakan klobot ganja ke berbagai lokasi dengan bermacam-macam penikmat.

Jika pekerjaan mereka tak lancar, siap-siap saja, gertakan dan sejurus bogem mentah akan meninju perut Willi yang kelaparan. Sudah menjadi hal biasa dimana-mana kalau kawan sepergaulan akan mirip-mirip perilakunya sama seperti si juragan klobot yang punya kelakuan beda tipis dengan perilaku ayah Willi. Mereka doyan miras juga foya-foya, sayangnya jalan yang ditempuh ayah Willi tak semulus temannya itu. Keesokan harinya Willi mangkir dari pabrik, hingga esok dan esoknya lagi. Ayahnya tahu hal itu dan ia memperbolehkan putranya mencari sumber penghasilan lain ketimbang nanti ditinggal mati konyol akibat paparan racun bahan herbal milik pabrik atau mendekam di balik ruji besi. Bagaipapun caranya, Willi harus bisa mendapatkan uang.

Hari-hari tanpa kepastian terus berlalu dan perut semakin meronta minta diisi, walhasil Willi memutar haluan menjadi buruh angkut sayur ke tengkulak di pasar-pasar.  Pagi-pagi benar ia harus bergerak sebelum adzan subuh berkumandang. Oleh sebab itu, matanya berkali-kali menangkap aktivitas malam di kampung dan sekitar rumah yang ia lewati. 

Seringkali ada berbagai macam pemuda sebayanya sedang mengendap-endap menenteng barang curian dari rumah ke rumah yang tampaknya tidak cukup potensial untuk dirampok, kemudian disusul teriakan maling setelahnya. Dua kali, tiga kali ia mendapati kejadian yang sama. Heran, rumah-rumah berpagar tinggi, dijaga satpam atau dikawal anjing pemalas kelihatannya masih sunyi-sunyi saja.

"Payah ah. Kalau mereka belum selincah Kusni Kasdut atau selihai Jonhy Indo sih masih harap maklum, tapi kalau memang berlagak menjadi maling tingkat senior yang memalak rumah berpagar tinggi saja tidak bisa itu sungguh terlalu. Kapan di negera ini ada maling berbakat tanpa bedil, tanpa orang dalam, tanpa koneksi?" katanya.

Keesokan harinya, Willi berencana menyambi jadi maling, tetapi bukan maling ceroboh seperti yang sering kepergok di gang sempit. Ia ingin membuktikan bahwa menjadi maling juga memerlukan karakter unggul tidak seperti orang-orang berdasi dan berpeci yang sehari-hari mondar-mandir di Gedung Senayan itu. 

Kali ini, Willi menetapkan target operasinya kepada rumah mewah bergarasi besar dengan CCTV tersembunyi di setiap sudutnya, yang paling tinggi pagarnya hingga empunya rumah tak pernah tahu siapa nama tetangga kiri-kanannya dan tentu saja yang dikawal anjing Doberman hitam bekalung duri melingkar di lehernya.

Setelah menagangkut sayur ke pasar, Willi rajin melewati area sekitar tempat sasarannya itu agar rencana besar merampok dengan anggun dapat terlaksana secara tepat. Semakin tidak sabarlah anak itu untuk segera melaksanakan misi, mengetahui rumah besar yang dari depan selalu tampak sepi ini hanya dipasangi 2 buah CCTV yang justru mengarah ke jalan depan saja, sementara halaman belakang nyaris tanpa pengawasan. "Halah, jumawa betul pemilik rumah ini, mentang-mentang jarang ditinggali seperti yakin saja kalau keamanannya bakal terjamin" gumam Willi.

Keesokan hari sepulang dari pasar, ia mampir ke temannya si tukang daging untuk membeli daging ribeye kecil seukuran piring seng wadah gorengan, sebab anak itu yakin anjing orang kaya hanya mau menyantap daging mahal saja. Dengan meminta bantuan ibu yang memasak di salah satu warung, daging ribeye kualitas pasaran itu dipotong-potong dan diracik dengan bumbu ala kadarnya. Setelah matang, dimasukkannya ke dalam kantong plastik bening yang sudah dilubangi kecil-kecil. Ujung plastik itu ditali simpul membentuk tali lasso untuk dihidangkan kepada Tuan Doberman malam nanti.

Menjelang pukul 3 dini hari, Willi melemparkan umpan daging ke dalam pagar rumah sasarannya. Sesuai dugaan, anjing hitam itu terbangun dari tidurnya lantas mengonggong. Tidak lama, hanya menyalak sebentar saja. Nah, mangsa mulai mendekat, mencium aroma daging yang menguar. Hap! Begitu daging tepat berada di gerahamnya, Willi menarik talinya sampai tubuh si anjing tersangkut di celah besi berduri di puncak pagar. Tidak ada satpam yang berjaga, hanya Doberman inilah penjaganya dan sekarang ia sudah terjebak tak berdaya. Willi segera berputar menuju halaman belakang dan menaiki pagar pekarangan dengan mudah.

Memasuki teras belakang rumah, Willi mengatur napasnya sejenak dan melangkah pelan, menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, sebab kunci keberhasilan maling sejati ialah ketenangan. Jendela tidak langsung dicongkel, tetapi ia mencari pintu yang masih terbuka sedapat mungkin. Kembali lagi kepada asumsi, bahwa empunya rumah kalau tidak karena malas tentu merasa yakin akan keamanan rumahnya sehingga kemungkinan besar masih ada celah masuk yang belum terkunci dengan bijak.

Betul saja, jendela nako di samping pintu dapur belum terkatup rapat, seketika tangannya menelusup membuka kisi jendela dan pintu terbuka mulus. Tiba di ruang tengah, ia melihat deretan guci-guci besar, permadani bersulam emas, TV berwarna yang selama ini hanya bisa Willi lihat di balik kaca toko elektronik, soundsystem dan Turntable pemutar vinyl bermerk Caliburn yang tidak dijual dalam negeri. Masih penasaran rupanya si maling, Willi masuk ke salah satu ruangan yang agak terbelakang di rumah itu, biasanya ruangan dengan posisi tersebut menyimpan harta benda yang lebih berharga dari barang-barang mewah di ruang tengah tadi. Salah dugaan, ruangan itu hanya berdinding rak penuh buku-buku, rak bulat berisi aneka tongkat golf, meja kabinet jati kokoh dan kursi kulit yang cantik.

"Terpelajar juga orang ini. Kukira sekadar manusia serakah yang kebetulan bernasib mujur" pikirnya. Dari atas hingga ke bawah rak itu penuh sesak oleh buku-buku tebal dan sepertinya dirawat betul oleh sang pemilik rumah. Kebanyakan judul-judulnya tentang kemiskinan, perang, konflik antar negara, sajak-sajak dari pujangga mancanegara dan sastra daerah. Matanya terpaku pada 2 judul buku di atas meja kabinet itu, Leaves of Grass oleh Whitman dan buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. 

Dua judul buku itu sudah lama ia idam-idamkan untuk menemani hari-harinya di kamar. Willipun terhenyak menyadari tipe orang yang sedang dirampoknya. Berpikir keras apakah harus keluar secepatnya atau melanjutkan aksinya. Ia berpikir bahwa orang ini bukan sembarangan. Barangkali hidup enak seperti sekarang telah ia peroleh dengan perjuangan dan air mata ketika melarat.

Tapi kali ini ia adalah maling dan maling sejati tidak punya tujuan lain selain membawa barang incaran dan keluar dengan selamat. Lantas ia kepit 2 buku itu di balik jaketnya dan segera keluar mencari barang curian lainnya. Ketika hendak memadamkan saklar lampu , seorang pria bertubuh tambun berdiri terpaku di depan pintu.

"Selamat pagi." Ujar Willi tenang, sedikitpun ia tak gentar.

"Heh! Siapa kamu!" gagap si tuan rumah.

Willi berkelit ke belakang dan menodong leher dengan sajam kecil yang sudah ia siapkan sejak memasuki ruangan itu. Gerakan Willi yang secepat angin membuat tuan rumah kesulitan menebak langkah. Tengkuknya dipukul menggunakan tongkat golf yang bersandar di sebelah meja kabinet.

"Duduk, atau kupatahkan lehermu!"

Si tuan rumah awalnya mencoba melawan tapi besarnya ukuran tubuh dan efek pukulan malah membuatnya bergetar. Sambil diinterogasi, Willi mengikat kedua tangan tuan rumah ke sandaran kursi, mengikatnya dengan simpul mati rapat. Kakinya juga tak lupa diikatkan ke kaki-kaki kursi. Kalau berontak, stick golf tinggal melayang lagi menghiasi memar-memar di kepalanya. Dalam gertakan si maling, pria itu tak berdaya laiknya seorang tawanan. Usai beberapa menit, calon korban tampak pasrah.

"Apa pekerjaan bapak? Bagaimana kau bisa membeli barang-barang mewah dan buku-buku ini?"

"Saya pemimpin perusahaan. Saya bekerja keras mulai dari nol sampai pernah merugi. Sungguh!"

"Oke, kalau begitu apa anda membaca buku-buku ini?" Willi mengeluarkan 2 buku itu dari jaketnya.

"Tentu saja! Itu Saya beli ketika berjuang mendirikan perusahaan. Waktu Saya belum jadi pimpinan, Saya memperjuangkan  hak kaum pekerja. Membaca sajak dan cerita orang miskin itu membuat Saya terharu"

"Cih, orang gampang terharu kalau mendengar kisah orang melarat bahkan fasih membicarakannya. Kalau begitu apa bapak pernah menolong pengemis?"

"Hampir setiap pulang kantor kalau bertemu di lampu merah"

"Hmm bagus bagus. Ngomong-ngomong, orang berduit suka kasih sumbangan besar juga tapi dengan rasa bangga luar biasa memamerkan seolah telah melakukan perbuatan besar. Saya pikir itu jenis kesombongan yang menjijikkan. Jadi, Saya ingin bertanya lagi..."

Pria tambun tertegun, rasa bingung kentara dari raut mukanya. Maling macam apa ini?

"Apa bapak memperhatikan para anak buah? Bahkan anak buah yang tidak anda senangi karena alasan personal dan bukan karena alasan dinas?"

Ia mendengus, seolah mengejek.

"Dengar maling kecil, kantor Saya selalu menjamin kesejahteraan karyawan. Kalau ada konferensi Saya pasti ajak ikut serta staff-staff Saya, promosikan nama mereka agar tersanjung. Dan mengenai anak buah yang kurang ajar, tentu saja tidak! Saya adalah pemimpin! kalau ada oknum yang kurang berkenan di hati pasti ia menimbulkan masalah. Bukankah..."

"Haa.. cocok! Tetap untuk kepentingan anda sendiri bukan? Hehe. Kalau begitu tahan saja kali ini. Pasrah dan jangan teriak, oke?" Willi menyembunyikan bukunya kembali ke balik jaket.

"Ambil saja semuanya! Aku bisa membeli lagi termasuk nyawamu!"

"Rupanya anjingmu juga sama-sama tolol seperti tuannya, mudah terpancing oleh kenikmatan sesaat. Lebih baik kau urus anak buahmu! Terharulah kepada nasib mereka yang kurang semujur dirimu, bukan terharu pada buku-buku!"

"Jack?! Apa yang kau lakukan.."

Belum selesai kekagetan sang majikan Doberman, Willi melayangkan pukulan golfnya yang paling kencang untuk pertama dan terakhir kepada pria tambun yang malang. Saking kerasnya pukulan itu, serenceng kunci terpelanting dari sakunya yang menarik perhatian si maling kecil. Dengan barang ini, ia akan menguasai rumah ini sebebasnya tanpa batas.

Sementara itu, gonggongan Jack di halaman semakin keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun