Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maling Lantip

22 Mei 2024   23:49 Diperbarui: 22 Mei 2024   23:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pxhere.com

Keesokan harinya, Willi berencana menyambi jadi maling, tetapi bukan maling ceroboh seperti yang sering kepergok di gang sempit. Ia ingin membuktikan bahwa menjadi maling juga memerlukan karakter unggul tidak seperti orang-orang berdasi dan berpeci yang sehari-hari mondar-mandir di Gedung Senayan itu. 

Kali ini, Willi menetapkan target operasinya kepada rumah mewah bergarasi besar dengan CCTV tersembunyi di setiap sudutnya, yang paling tinggi pagarnya hingga empunya rumah tak pernah tahu siapa nama tetangga kiri-kanannya dan tentu saja yang dikawal anjing Doberman hitam bekalung duri melingkar di lehernya.

Setelah menagangkut sayur ke pasar, Willi rajin melewati area sekitar tempat sasarannya itu agar rencana besar merampok dengan anggun dapat terlaksana secara tepat. Semakin tidak sabarlah anak itu untuk segera melaksanakan misi, mengetahui rumah besar yang dari depan selalu tampak sepi ini hanya dipasangi 2 buah CCTV yang justru mengarah ke jalan depan saja, sementara halaman belakang nyaris tanpa pengawasan. "Halah, jumawa betul pemilik rumah ini, mentang-mentang jarang ditinggali seperti yakin saja kalau keamanannya bakal terjamin" gumam Willi.

Keesokan hari sepulang dari pasar, ia mampir ke temannya si tukang daging untuk membeli daging ribeye kecil seukuran piring seng wadah gorengan, sebab anak itu yakin anjing orang kaya hanya mau menyantap daging mahal saja. Dengan meminta bantuan ibu yang memasak di salah satu warung, daging ribeye kualitas pasaran itu dipotong-potong dan diracik dengan bumbu ala kadarnya. Setelah matang, dimasukkannya ke dalam kantong plastik bening yang sudah dilubangi kecil-kecil. Ujung plastik itu ditali simpul membentuk tali lasso untuk dihidangkan kepada Tuan Doberman malam nanti.

Menjelang pukul 3 dini hari, Willi melemparkan umpan daging ke dalam pagar rumah sasarannya. Sesuai dugaan, anjing hitam itu terbangun dari tidurnya lantas mengonggong. Tidak lama, hanya menyalak sebentar saja. Nah, mangsa mulai mendekat, mencium aroma daging yang menguar. Hap! Begitu daging tepat berada di gerahamnya, Willi menarik talinya sampai tubuh si anjing tersangkut di celah besi berduri di puncak pagar. Tidak ada satpam yang berjaga, hanya Doberman inilah penjaganya dan sekarang ia sudah terjebak tak berdaya. Willi segera berputar menuju halaman belakang dan menaiki pagar pekarangan dengan mudah.

Memasuki teras belakang rumah, Willi mengatur napasnya sejenak dan melangkah pelan, menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, sebab kunci keberhasilan maling sejati ialah ketenangan. Jendela tidak langsung dicongkel, tetapi ia mencari pintu yang masih terbuka sedapat mungkin. Kembali lagi kepada asumsi, bahwa empunya rumah kalau tidak karena malas tentu merasa yakin akan keamanan rumahnya sehingga kemungkinan besar masih ada celah masuk yang belum terkunci dengan bijak.

Betul saja, jendela nako di samping pintu dapur belum terkatup rapat, seketika tangannya menelusup membuka kisi jendela dan pintu terbuka mulus. Tiba di ruang tengah, ia melihat deretan guci-guci besar, permadani bersulam emas, TV berwarna yang selama ini hanya bisa Willi lihat di balik kaca toko elektronik, soundsystem dan Turntable pemutar vinyl bermerk Caliburn yang tidak dijual dalam negeri. Masih penasaran rupanya si maling, Willi masuk ke salah satu ruangan yang agak terbelakang di rumah itu, biasanya ruangan dengan posisi tersebut menyimpan harta benda yang lebih berharga dari barang-barang mewah di ruang tengah tadi. Salah dugaan, ruangan itu hanya berdinding rak penuh buku-buku, rak bulat berisi aneka tongkat golf, meja kabinet jati kokoh dan kursi kulit yang cantik.

"Terpelajar juga orang ini. Kukira sekadar manusia serakah yang kebetulan bernasib mujur" pikirnya. Dari atas hingga ke bawah rak itu penuh sesak oleh buku-buku tebal dan sepertinya dirawat betul oleh sang pemilik rumah. Kebanyakan judul-judulnya tentang kemiskinan, perang, konflik antar negara, sajak-sajak dari pujangga mancanegara dan sastra daerah. Matanya terpaku pada 2 judul buku di atas meja kabinet itu, Leaves of Grass oleh Whitman dan buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. 

Dua judul buku itu sudah lama ia idam-idamkan untuk menemani hari-harinya di kamar. Willipun terhenyak menyadari tipe orang yang sedang dirampoknya. Berpikir keras apakah harus keluar secepatnya atau melanjutkan aksinya. Ia berpikir bahwa orang ini bukan sembarangan. Barangkali hidup enak seperti sekarang telah ia peroleh dengan perjuangan dan air mata ketika melarat.

Tapi kali ini ia adalah maling dan maling sejati tidak punya tujuan lain selain membawa barang incaran dan keluar dengan selamat. Lantas ia kepit 2 buku itu di balik jaketnya dan segera keluar mencari barang curian lainnya. Ketika hendak memadamkan saklar lampu , seorang pria bertubuh tambun berdiri terpaku di depan pintu.

"Selamat pagi." Ujar Willi tenang, sedikitpun ia tak gentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun