Malam minggu merupakan sesuatu yang dibencinya ketika sedang bernaung di negeri orang. Demi membunuh waktu, Abraham ke luar apartemen semata-mata untuk meredakan penat di kepala.Â
Matanya tiada henti melirik kepada setiap manusia yang berlalu lalang di bahu jalan. Mereka tampak sibuk sendiri. Irama musik pengamen jalanan dan keramaian tongkrongan anak muda menyerobot gendang telinganya dari segala sisi.Â
Setengah jam kemudian, langkah kakinya mendekati sebuah kedai berdinding batu putih yang tidak begitu ramai.
Pria berkacamata itu termangu di suatu kedai kopi di perempatan jalan Damstraat, Amsterdam. Meski jaraknya sedikit jauh dari apartemennya di Koestraat ia sengaja singgah ke tempat itu demi menyantap pastry kesukaan sambil menghabiskan malam minggu dalam kesendirian.Â
Kedai itu sederhana dengan interior bersahaja. Hanya dengan membayar empat euro ia bisa menyantap Appeltaart empuk yang menggoyang lidah ditambah Coffe Latte untuk melengkapi kehangatan di tengah suasana dingin yang menggigit.Â
Melamun di kursi pojok adalah tempat terbaik menikmai Appletaart sendirian. Sesekali matanya melirik lampu tempel yang berjarak setengah meter di atas keningnya. Cahayanya temaram tak terhitung kali berkebit-kebit disapu angin lembab Amsterdam.
Begitu pesanannya tersaji di meja, lekas diseruputnya cangkir kopi itu dengan nikmat. Matanya beralih kepada irisan Appletaart. Lantas ia lesatkan garpu berpucuk potongan kecil Appletaart itu dan meresapi setiap detil manis lembutnya. Kerenyahan adonan pie berpadu dengan isian apel yang amat wangi.Â
Selera makannya yang sempat redup telah bangkit sewaktu tangannya melambai kepada si pelayan untuk menyiapkan lagi kudapan cheesecake berlapis lelehan buah stroberi.
Sepiring Appletaart dan kelembutan cheesecake yang masih tertinggal di titik sensori lidahnya tak membuat Abraham betah menghabiskan waktu lebih lama di kedai itu.Â
Terlebih dua sejoli di sebelahnya tengah memadu cinta bak sepasang angsa saling bercumbu mesra di puncak musim kawin. Tanpa mereka sadari, seorang pria tengah menahan rasa mual kala melihat mereka di mabuk asmara.Â
Lama kelamaan pemandangan itu membikin Abraham gerah. Segera kakinya melangkah keluar dari pintu kedai usai meninggalkan secangkir kopi kosong dan 2 buah pastry tandas tak tersisa.
Di tepi jalan sekitar kedai itu banyak penjual yang menjajakan kaos sablon bertuliskan "I Love Amsterdam", hoodie gambar daun ganja dengan motif menyolok menunggu dibeli para pelancong.Â
Para tukang piercing & tukang tato saling berjejer sibuk menawarkan jasanya kepada setiap pejalan kaki. Para pemadat jalan tenggelam dalam suasana syahdu menghirup mariyuana serta menenggak kaleng-kaleng bir sambil terbahak-bahak. Semua mahluk berjaket di situ larut dalam fatamorgana kecuali Abraham.
Desir angin membuatnya berhenti sebentar untuk menggosokkan kedua telapak tangan. Abraham masih enggan pulang ke apartemen yang mungil itu.Â
Ia terus berjalan menyusuri sekitar sekadar menghalau sepi. Hatinya memang diselimuti rasa kesal sebab sepekan ini istrinya tak dapat ia jangkau.Â
Pesan Whatsapp berakhir centang biru dua, kebanyakan centang dua abu-abu saja. Puluhan panggilan juga tidak pernah terangkat. Prasangka buruk mulai merebak.Â
Apa yang dia lakukan di saat suaminya berjuang di negeri jauh. Seperti saat ini pula, pulsanya hampir sekarat tepat pada panggilan ke 20 tanpa ada jawab.
Setiap malam, Abraham berniat segera lelap usai berkutat dengan kesibukan kampus seharian penuh tetapi pikirannya enggan tenang. Begitu banyak hal menyesaki ruang memorinya tanpa diundang.Â
Sarah adalah hal yang paling mengganjal di hatinya. Bukan saja jarak yang terbentang jauh di antara mereka, tetapi juga prasangka yang tak kunjung mendapat kejelasan. Bayang-bayang wanita itu kerap membuat malam yang terlewati terasa kian panjang.
***
Ketika tawaran beasiswa untuk studi lanjut tertuju kepada Abraham, ia serasa tersesat di persimpangan jalan. Melihat kesibukan istrinya yang demikian rasanya mustahil untuk mengajaknya ikut serta ke Amsterdam, ditambah keterbatasan akomodasi yang hanya diperuntukkan bagi si pelajar Inholland University.Â
Demi mencapai salah satu impian terbesarnya, yakni memboyong keluarga kecilnya kelak ke negeri seberang guna hidup lebih mapan pada waktu yang sudah ditetapkan, diterimalah tawaran itu. Â Toh, ia sudah membulatkan tekad untuk menyelesaikan studi tidak lebih dari 2 tahun. Tidak akan lama.
Genap 3 tahun membina biduk rumah tangga, kediaman mereka belum juga diisi kehadiran si jabang bayi. Faktor kesibukan menjadi penyumbat keharmonisan keduanya. Dukungan kepada sang kekasih adalah yang utama.Â
Abraham dengan segala cita-citanya mengejar gelar M.B.A di Inholland University sementara  Sarah tak puas apabila hanya berkelindan pada satu aktivitas monoton. Selain bekerja di bank swasta, nyaris setiap hari Minggu wanita itu sibuk mengurus ini dan itu di gereja.
Ketika Abraham pulang ke tanah air, ia sampai tidak tahu apa saja kegiatan istrinya selama di rumah. Pada mulanya, ia membuang segala rasa curiga, toh Sarah pasti sadar apa yang dilakukannya merupakan hal mulia dan tidak akan merugikan mereka berdua.Â
Musim liburan yang dibayangkan akan menyenangkan justru terasa kecut. Tidak ada bedanya saat berada di Amsterdam. Mengabari si suami merupakan hal yang sulit dilakukan oleh istri semacam Sarah. Nyatanya wanita itu baru pulang ketika jarum jam di puncak angka dua belas malam.Â
Ponsel Abraham tampak tenang-tenang saja, tiada panggilan atau balas pesan atas nama Sarah, de Vrouw. Pikirannya masih diliputi maklum, apalagi bila berkaca pada dirinya, betapa ia sering diberondong berbagai kesibukan dan mengabaikan istrinya selama ini.
Abraham berkejaran dengan kewajiban studi kampus dan kondisi rumah tangganya yang mulai terasa sepat. Apalagi peruntungannya sebagai asisten peneliti tak selalu memenuhi kebutuhan rumah tangganya di negeri asal dan kebutuhan sehari-hari di negeri perantauan. Ia perlu menyisakan dana pribadi di pundi-pundi tabungannya dengan bekerja lebih ekstra.
Sisa liburan tinggal 2 hari lagi sebelum kembali ke Negeri Tulip, tetapi sikap Sarah tak kunjung menunjukkan perubahan. Kesabarannya hampir rontok tatkala beredar gossip kedekatan Sarah dengan seorang biarawan tampan di gereja.Â
Malam itu, Abraham duduk di ruang tamu, menggenggam ponsel yang menghubungkan saluran panggilan kepada kontak istrinya. Ia menunggu sampai batang hidungnya muncul di depan pintu.Â
Jam berdenting tepat di angka 12, saat itulah Sarah membuka gagang pintu dan seketika menjadi masam wajahnya melihat gestur sang suami sedang melipat tangan di dada. Belum sampai Abraham membuka mulut Sarah sudah lebih dulu mencecar.
"Terserah mau berpikir apa, tapi aku malas banyak omong. Lebih baik kau segera kembali dan fokus selesaikan studimu" Sederet dalih meluncur dari mulut wanita itu dibarengi biji mata menyorot tajam.
Perdebatan terhenti. Kepandaian istrinya berkelit membuat Abraham malas memperpanjang masalah.Â
Pria itu kerap menemui jalan buntu setiap kali membahas aktivitas Sarah walau hanya bertanya "Bagaimana harimu?" Sarah melengang masuk ke kamar. Abraham mematung di depan pintu kamar mereka.
***
Abraham mencoba memperdalam pemahaman  tentang wanita yang dahulu pernah ia puja. Ia persunting Sarah pada hari baik untuk menjadi rekan sehidup semati termasuk rekan menjemput mimpi bersama.Â
Namun, Sarah yang hari ini dirasa sangat jauh hingga mustahil ia gapai. Bayang-bayang wanita itu serupa kabut pekat yang menyelimuti panorama kota malam ini, memeluk kesedihan Abraham begitu erat dan perlahan menghilang disorot cahaya lampu di tepian jalan.
Rembulan belum menyingsing, malam minggu masih tersisa panjang. Dengus angin makin kencang manakala langkahnya tiba di Oude Doelenstraat. Ketika melintasi tikungan terdekat, pupil matanya membesar menatap etalase-etalase neon berwarna merah membara.Â
Disinilah De Wallen District, sangkar kemaksiatan yang diwarnai oleh hingar-bingar genderang gairah para pria ditabuh. Distrik itu membersamai wilayah prostitusi lainnya di Singelgebied dan Ruysdaelkade, membentuk Rosse Buurt yang merupakan distrik lampu merah terbesar di Amsterdam.
Mereka datang dari berbagai penjuru daerah. Tentu saja untuk bersenang-senang atau semata-mata memamerkan aksi berahinya bak parade festival.Â
Tersedia sekitar 300 kabin kamar berisi pelacur-pelacur jelita yang ramai menawarkan layanan seksual dari balik pintu kaca dilengkapi sorot cahaya merah.Â
Abraham mencoba menjulurkan kepalanya kepada salah satu kabin, tampak seorang gadis berpenampilan terbuka mematung di antara gemerlap lampu yang saling bersahutan. Sementara beberapa perempuan sekawanannya dengan dandanan terbuka dipajang laksana barang dagang di etalase toko.
Hanya sejurus gerakan seduktif pesona wanita sundal itu akan menjebol akal sehat Abraham. Sekuat hati ia mencoba menahan gejolak yang mendadak tersulut bak sumbu api tersiram bensin. Neon-neon membara kian belingsatan mengundang hasrat setiap orang yang melintas.Â
Keringat mulai mengalir dari pelipisnya, lantas ia mengambil napas dalam-dalam hingga pasokan oksigen berdesakan memenuhi rongga dadanya. Dengan tenang, Abraham melangkah masuk ke dalam salah satu kabin. Makin larut, semakin ramailah distrik itu oleh para pelancong yang haus oleh perhatian dan belaian tangan wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H