Lama kelamaan pemandangan itu membikin Abraham gerah. Segera kakinya melangkah keluar dari pintu kedai usai meninggalkan secangkir kopi kosong dan 2 buah pastry tandas tak tersisa.
Di tepi jalan sekitar kedai itu banyak penjual yang menjajakan kaos sablon bertuliskan "I Love Amsterdam", hoodie gambar daun ganja dengan motif menyolok menunggu dibeli para pelancong.Â
Para tukang piercing & tukang tato saling berjejer sibuk menawarkan jasanya kepada setiap pejalan kaki. Para pemadat jalan tenggelam dalam suasana syahdu menghirup mariyuana serta menenggak kaleng-kaleng bir sambil terbahak-bahak. Semua mahluk berjaket di situ larut dalam fatamorgana kecuali Abraham.
Desir angin membuatnya berhenti sebentar untuk menggosokkan kedua telapak tangan. Abraham masih enggan pulang ke apartemen yang mungil itu.Â
Ia terus berjalan menyusuri sekitar sekadar menghalau sepi. Hatinya memang diselimuti rasa kesal sebab sepekan ini istrinya tak dapat ia jangkau.Â
Pesan Whatsapp berakhir centang biru dua, kebanyakan centang dua abu-abu saja. Puluhan panggilan juga tidak pernah terangkat. Prasangka buruk mulai merebak.Â
Apa yang dia lakukan di saat suaminya berjuang di negeri jauh. Seperti saat ini pula, pulsanya hampir sekarat tepat pada panggilan ke 20 tanpa ada jawab.
Setiap malam, Abraham berniat segera lelap usai berkutat dengan kesibukan kampus seharian penuh tetapi pikirannya enggan tenang. Begitu banyak hal menyesaki ruang memorinya tanpa diundang.Â
Sarah adalah hal yang paling mengganjal di hatinya. Bukan saja jarak yang terbentang jauh di antara mereka, tetapi juga prasangka yang tak kunjung mendapat kejelasan. Bayang-bayang wanita itu kerap membuat malam yang terlewati terasa kian panjang.
***
Ketika tawaran beasiswa untuk studi lanjut tertuju kepada Abraham, ia serasa tersesat di persimpangan jalan. Melihat kesibukan istrinya yang demikian rasanya mustahil untuk mengajaknya ikut serta ke Amsterdam, ditambah keterbatasan akomodasi yang hanya diperuntukkan bagi si pelajar Inholland University.Â