Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Amazing Journey to Alor, NTT (Part 1): Noraknya Saya Naik Fokker 50

27 Februari 2014   19:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314202" align="aligncenter" width="640" caption="Bandar Udara Mali, Alor, NTT. "][/caption]

Sejak awal saya sadar, namanya wartawan harus siap ditugaskan kemana saja. Mau ke tempat wisata, daerah konflik, hingga medan perang sekalipun, pokoknya mesti siap. Termasuk undangan meliput festival serat dan warna alam SWARNAFest 2013 di Alor, Nusa Tenggara Timur, November 2013.

Undangan lewat email itu saya forward ke atasan dan mengijinkan salah satu dari tim kami yang berangkat. Saya berinisiatif mengajukan diri walaupun perjalanan menuju ke sana lumayan panjang dan hanya sebentar, dua hari satu malam saja.

Saya menyerahkan copy identitas ke panitia untuk dipesankan tiket pesawat. Nah, dari sini saja cukup bikin saya was-was. Bakal naik pesawat dari maskapai mana ya? Karena jujur saja, saya ini norak. Lumayan takut naik pesawat. Apalagi dari maskapai yang banyak dapat berita jelek.

Dua hari sebelum berangkat, saya dikirimkan dua tiket online sekaligus. Pertama tujuan Jakarta - Kupang, dan Kupang - Alor via pesawat perintis. Saya sudah menduga bakalan naik singa merah karena ketika browsing, cuma maskapai ini yang melayani rute terbanyak ke sana. Hati saya langsung ciut. Kalau saya bisa memilih, tentu merek lain yang saya pakai.

Selanjutnya, tiket kedua Kupang - Alor menggunakan pesawat perintis Trans Nusa. Ini merupakan pengalaman pertama naik pesawat kecil yang membuat kecemasan bertambah dua kali lipat. Lagi-lagi saya browsing mengenai track record maskapai, juga jenis pesawat yang digunakan. Saya jadi mengira-ngira akan naik pesawat jenis yang mana? Fokker, Twin Otter, ATR, atau apa?.

Lalu, muncul-lah penyakit menjelang naik pesawat. Cemas berlebihan sehingga saya benar-benar tidak konsen bikin berita. Ada perasaan ragu, berangkat enggak berangkat enggak. Batalin aja apa? Segudang pikiran negatif numplek di otak.

Tapi, kemudian, jiwa kewartawanan saya melawan. "Enggak, gue harus tetap berangkat!Profesional-lah. Tanggung jawab dong, kan gue yang mau ke Alor!". Pertarungan batin (ciee..) kaya gitu saya rasakan sampai saya tiba di Bandara Internasional Soekarno - Hatta, Rabu dini hari pukul 00.30 WIB.

[caption id="attachment_314203" align="aligncenter" width="640" caption="Bandar Udara Eltari, Kupang, NTT. "]

13934765381768903465
13934765381768903465
[/caption]

Cemas makin menjadi ketika tahu bahwa dari panitia tidak ada yang jadi koordinator karena sudah sampai duluan. Walaupun saya berangkat bersama teman dari Kompas dan beberapa media lain, tetap saja saya belum kenalan dan enggak tahu mukanya. Dalam hati ngeluh lagi, "Duh, bakalan sendiri deh gue".

Jadwal keberangkatan pukul 02.30 WIB. Berangkat dari rumah jam 12 malem. Ini pengalaman perdana dimana pagi-pagi buta jalan ke bandara. Otomatis jalanan sepi banget. Dari counter check in sampai ruang tunggu juga sama, kayak bukan bandara. Sudah ngantuk, cemas lagi.

Saya akhirnya berinisiatif meng-sms teman sesama media yang nomornya diberikan barengan email tiket online. Saya sms teman Kompas, Mbak Sarie enggak mbales. Saya sms lagi teman dari tv internal, jawabannya datar. Terakhir, saya sms Mas Teguh Sudarisman, yang ternyata seorang penulis buku traveling, alhamdulillah direspon baik. Paling enggak saya punya teman ngobrol untuk meminimalisir rasa tidak nyaman.

Tak lama, rombongan Kementerian Perindustrian muncul. Saya mengenali Ibu Dirjen IKM, Euis Saedah, yang pasti akan satu pesawat karena gagasan acara memang datang dari beliau. Entah kenapa, perasaan saya sedikit lebih tenang.

Waktu boarding makin dekat. Tampaknya kali ini singa merah tidak delay. Hmm..mungkin karena keberangkatan paling pagi. Saya berjalan masuk pesawat. Tertera kursi 24 D, di pinggir lorong. Ya, saya memang minta sama petugas agar tidak diberi kursi dekat jendela. Tahu kan, saya ini penakut. He-he-he.

Rombongan kami duduk saling berpencar. Mas Teguh di bagian depan. Begitu pula pejabat Kemenperin. Saya tidak tahu dimana keberadaan Mbak Sarie dan yang lain. Pokoknya saya duduk sendirian diapit suami istri asal Ende, NTT. Si istri minta duduk di pinggir, sementara saya tidak mau dekat jendela. Untung si suami mengalah dan saya duduk di tengah.

Oh ya, ada satu ritual aneh yang selalu saya lakukan tiap kali mau terbang. Ketika mau masuk, persis di depan pintu, saya menyentuh dulu badan pesawat sambil mengelusnya dan berdoa dalam hati, 'Hey, pesawat baik-baik ya. Bismillahirrahmanirrahiim'. Buat saya, itu semacam sugesti yang sedikit mengontrol rasa takut.

Pilot sudah memberi tanda pesawat akan lepas landas. Saya mulai pejamkan mata, mengatur napas, dan membaca Al-Fatihah berulang-ulang. Bayangan kecelakaan Mandala Airlines saat take off di Polonia, Medan, berusaha saya usir.

Ehm..paranoid yang saya alami mungkin disebabkan karena terlalu banyak membaca berita-berita negatif seperti kecelakaan pesawat, kriminalitas, dan sebagainya, sejak saya kelas dua Sekolah Dasar. Papa memang berlangganan banyak sekali koran serta majalah di rumah. Mulai dari Kompas, Bisnis Indonesia, Pos Kota, Majalah Kartini, The Jakarta Post, sampai Majalah Bobo. Tapi, paling suka Pos Kota.

Otak saya seperti otomatis merekam apapun yang dibaca, hingga berpengaruh pada keseharian. Bahkan, membawa saya menjadi seorang jurnalis. Makanya, ketika saya pernah menjalani operasi usus buntu kelas 6 SD, saya bertanya pada dokter, "Dok, apakah ada perban sama gunting yang ketinggalan di perut?".

Itu akibat beberapa waktu sebelumnya, saya membaca Majalah Kartini yang memuat cerita korban malpraktek gara-gara operasi usus buntu. Padahal, saya masih terlalu kecil untuk baca berita macam ini. Berita tersebut entah kenapa begitu melekat dan membuat saya kritis berlebihan.

Sama halnya ketika ada berita kecelakaan-kecelakaan pesawat yang dialami Mandala, Lion Air, Merpati, Garuda Indonesia, Sukhoi, dan lain-lain. Semua nempel di otak. Alhasil, tiap naik pesawat, saya seolah memutar rekaman berita kecelakaan. #tepokjidat

Oke, badan pesawat mulai terangkat. Lampu kabin masih padam. Saya pun tetap tak berani buka mata. Baru setelah lampu kabin menyala, saya sedikit bernapas lega. Untuk mengurangi ketegangan, saya mencoba memainkan games Candy Crush. Sesekali baca buku Mendadak Haji yang saya bawa. Tapi, enggak ngaruh.

Saya masih saja bolak balik lihat jam tangan. Kok jarum jam muternya lama banget. Ah, sudahlah saya berusaha tidur. Tetap enggak bisa. Sampai akhirnya lampu kabin mulai redup dan tanda kenakan sabuk pengaman menyala lagi. Damn! Ini pasti cuaca buruk.

Benar saja. Tak berapa lama, pramugari mengumumkan bahwa pesawat sedang menghadapi awan tebal dan cuaca dilaporkan kurang baik. Hufftt..dalam keadaan cuaca normal aja otak saya negatif melulu, gimana begini?. Sontak, jantung berdebar makin cepat.

Mulailah terasa guncangan. Dari skala kecil hingga lumayan bikin was-was. Ini sih turbulensi. Saya kembali lihat jam tangan. Duh, perjalanan menyisakan 1,5 jam lagi dari total estimasi Jakarta - Kupang selama 3 jam. Lama sekali deh di kondisi turbulensi seperti itu.

Saya coba pejamkan mata. Berusaha menghipnotis diri sendiri untuk tidur lebih dalam, tidur lebih dalam. Gagal. Saya masih saja bolak balik liat jarum jam yang muternya masih saja lambat. Syukurlah, si bapak yang ada di sebelah mengajak saya ngobrol. Lumayan buat mengalihkan perhatian.

Saya lupa berapa lama kami terlibat perbincangan, tapi tak terasa sudah jam setengah 5 pagi dan saya amnesia telah terjadi turbulensi. Saya mulai lihat matahari terbit dari ketinggian lebih dari 30 ribu kaki. Keren sekali. Hati ini langsung tenang seketika.

[caption id="attachment_314204" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu desa di Alor Besar"]

13934766241858826593
13934766241858826593
[/caption]

Yup, yang ditunggu datang juga. Suara pilot mengumumkan bahwa waktu pendaratan sudah dekat. 20 menit lebih cepat dari yang dijadwalkan. Saya mengulang lagi doa yang dibaca ketika lepas landas. Pesawat perlahan menurunkan ketinggian. Ada sedikit guncangan menabrak awan. Makin turun, turun, dan terlihatlah gambaran sebuah kota di bawah sana. Dan, yak! Landing lumayan kasar di Bandara Eltari, Kupang. Saya sudah sampai di ibukota Nusa Tenggara Timur.

Hal pertama yang saya lakukan tentu saja mengucap hamdalah, alhamdulillah. Setelah itu, dan sudah jadi kebiasaan tiap habis landing, nyalain Blackberry buat kasih kabar ke orang-orang tercinta, terutama mama.
Tapi, begitu dinyalakan muncul tanda SOS. Yah, masa enggak ada sinyal. Saya tunggu sampai 30 menit tetap sama. Akhirnya saya coba tanya-tanya ke orang di sekitar bandara, ternyata sinyal yang tertangkap hanya Telkomsel.

Dan memang benar, ketika saya pergi ke toko pulsa (yang satu-satunya buka di pagi hari), cuma ada kartu itu yang dijual. Terpaksa saya beli kartu perdana dan menukarnya dengan kartu Indosat yang saya pakai.
Jaringan internet penting sekali buat saya karena ada beberapa tulisan yang harus saya kirim saat itu juga. Mumpung ada waktu transit sekitar 2 jam untuk kemudian terbang kembali ke Alor. Catatan nih buat provider lain, pasang BTS dong di wilayah NTT..

Setelah urusan berita kelar, saya menikmati sarapan kecil di lounge bersama Mas Teguh, kawan yang menemani saya sejak di Bandara Soetta. Dia asyik baca koran, saya berusaha rileks. Maklum, ini pertama kalinya saya akan naik pesawat kecil.

Perjalanan dari Kupang ke Alor menggunakan pesawat dari maskapai Trans Nusa. Estimasi waktu sekitar 50 menit. Tadi sewaktu turun dari pesawat, saya sempat melihat deretan pesawat kecil, baik Merpati maupun Trans Nusa. Ada yang kecil sekali mirip capung, ada yang lumayan besar pakai MA-60. Jujur saja, saya mengira-ngira bakal naik pesawat kecil jenis yang mana, karena katanya naik pesawat kecil itu segalanya lebih berasa. Ya turbulensinya, ya pas nabrak awan. Pas kena angin apalagi. Stres dimulai, tapi saya sok cool.

Pesawat dijadwalkan lepas landas jam 9 WITA. Setengah jam sebelumnya mestinya sudah boarding. Ini sama sekali belum ada panggilan apapun. Saya pindah ke ruang tunggu dan sedikit ngobrol dengan pria di samping saya. Tak berapa lama, terdengarlah pengumuman bahwa pesawat Merpati ke Ruteng dibatalkan karena cuaca buruk.

"Belakangan cukup sering pesawat dibatalkan karena cuaca buruk. Ini saya baru dikabarkan kalau di Ende hujan deras," kata pria tersebut.

Duh! Kenapa saya mesti mendengar kalimat semacam ini sih?! Cuaca sangat bagus aja sudah bikin cemas, apalagi cuaca buruk. Jadilah tangan dan kaki ini dingin seketika.  Tapi, baiklah, saya tetap mencoba tenang, lalu melanjutkan perbincangan santai dengan pria tadi. Tak berapa lama, muncul suara yang ditunggu. "Penumpang pesawat Trans Nusa tujuan Alor harap masuk melalui pintu 2". Saya berdiri dan ikut antrian. Ternyata, ini antrian pesawat Merpati dengan tujuan yang sama. Tampaknya salah koordinasi antar petugas. Pesawat yang diberangkatkan lebih dulu adalah Merpati.

Saya balik menunggu. Tapi, berdiri saja. 15 menit kemudian, barulah penumpang Trans Nusa yang dipanggil. Yang tadinya sudah sedikit tenang, kumat lagi. Jantung berdebar enggak karuan. Pfiuuhh.. Akhirnya saya melihat bentuk pesawat perintis pertama yang akan saya naiki. Lega juga karena paling tidak bentuknya lebih kekar dan tidak terlalu kecil kaya capung.

[caption id="attachment_314206" align="aligncenter" width="640" caption="Pesawat perintis jenis Fokker 50 Kupang - Alor"]

1393476704780160637
1393476704780160637
[/caption]

Pas masuk kabin, pikiran-pikiran buruk saya mulai terkikis. Ternyata, enggak jauh beda sama pesawat jenis Boeing dan Airbus. Hanya tempat duduk saja yang modelnya dua baris. Jarak antar kursinya malah lebih lapang. Saya duduk di kursi 7A bersebelahan dengan Mas Teguh.

Sambil menunggu pesawat jalan, saya iseng baca brosur yang biasa ditaruh di kantung kursi depan. Oh, barulah saya tahu bahwa pesawat ini jenis Fokker 50. Kata Mas Teguh yang memang sering naik pesawat kecil, pesawatnya bagus karena buatan Belanda. Syukurlah.

Sebelum mematikan ponsel, saya kembali mengirim pesan pada keluarga bahwa saya mau take off lagi ke Alor, mohon doa ceritanya. Hmm..mungkin ini terkesan berlebihan, tapi buat saya doa itu penting sekali dimana pun, kapan pun.

Pilot sudah menginformasikan pesawat bakal lepas landas. Pramugari juga sudah mendemokan cara memakai pelampung serta kantung udara. Yang menarik, si pramugari menyarankan agar semua penumpang berdoa lebih dulu. Selama saya bepergian dengan pesawat, rasanya baru kali ini ada pramugari yang religius seperti itu. Salut.

Perlahan, saya mengatur nafas dan membaca Al-Fatihah. Roda pesawat mulai terangkat. Satu, dua, tiga. Yap! Tepat pukul 10.0o WITA, Trans Nusa tujuan Alor mengudara. Yuhuu..terasa bergoyang sedikit dan saya masih pejamkan mata. Hampir nangis saking nervous-nya. Inilah pertama kali saya menjajal Fokker 50. Yuhuuu..akhirnya, saya berani!

Saat pesawat sudah makin tinggi, saya buka mata. Memberanikan diri melihat ke arah jendela. Dan, wow! Tak seperti naik pesawat besar, saya bisa melihat pulau dan laut lebih jelas. Keren sekali! Saya langsung memainkan tablet dan memotret pemandangan. Norak ceritanya. He-he.

[caption id="attachment_314218" align="aligncenter" width="336" caption="NTT dari atas Fokker 50 "]

13934793371484899445
13934793371484899445
[/caption]

Tampaknya, keindahan alam tersebut mampu sedikit mengusir rasa takut. Saya lebih banyak takjub sambil tak henti mengucap 'subhanallah', mencoba berdialog pada Tuhan lewat doa dalam hati. Tiba-tiba muncul genangan air mata yang ketika jatuh berusaha saya sembunyikan. Ini bukan tangisan rasa takut. Bukan juga ekspresi kegembiraan. Mungkin lega karena saya berhasil melawan rasa takut.

Saya melihat jam tangan. Perjalanan baru 25 menit. Cuaca dilaporkan cerah. Saya masih menikmati keindahan di bawah sana sambil terus mengambil foto. Sesekali melihat jam tangan, siapa tahu perjalanan sudah 50 menit dan sebentar lagi mendarat.

Benar kan. Tak lama, pilot mengumumkan kabar baik tersebut. Saya membetulkan posisi duduk dan kembali komat kamit baca doa. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya beranikan mata untuk tetap melek ketika akan landing. Menarik karena tampaknya posisi bandara mirip seperti di Bali, dekat atau bahkan bersebelahan dengan laut.

Roda pesawat hampir menjejak bumi, tapi yang saya lihat bukan aspal melainkan pasir pantai. Wah, ini bakal mendarat di pasir gitu? Saya mulai menghitung, satu, dua, tiga, dan.. pesawat berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Mali, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Sstt.. ternyata, letak aspal bandara sama pasir pantai cuma beda sejengkal doang. He-he. (to be continued)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun