Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Potret Jogja dari Lereng Merapi dan Gunung Kidul

8 April 2014   17:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dulu saya belinya Rp 5 juta, sekarang harganya sudah mahal. Sudah jarang banget jeep kayak gini. Nyari-nyari sampai Surabaya, kemana-mana," katanya.

Selama perjalanan, selain karena pemandangannya aduhai, saya merasakan mood yang berbeda. Sebuah rasa yang rasanya sulit sekali saya ungkapkan. Mengitari bekas erupsi Merapi sambil membayangkan situasi yang terjadi saat itu.

13969245761538555919
13969245761538555919

Ketika saya menyentuh uap panas yang konon tak pernah padam itu, saya juga berimajinasi. Yang saya sentuh itu sudah lumayan panas, bagaimana waktu erupsi terjadi ya? Ngeri sekali.

Oh ya, saya juga diajak melihat batu alien. Batu berukuran besar yang bentuknya mirip wajah seorang kakek. Kata Mas Mesran, batu ini sama seperti batu besar di bagian barat Merapi yang tak bisa dipindah. Beberapa orang mengaitkan dengan mistis. Tak jarang juga yang meletakkan sesajen di sini.

Jeep kemudian melaju lagi membawa saya ke sebuah bekas bunker yang dulu dipakai warga menyelamatkan diri. Namun, panasnya Merapi ternyata lebih kuat dari material baja pelapis. Alhasil, dua orang pernah tewas di dalam sana karena terjebak lahar panas.

Dari luar, tampilan bunker ini lumayan bikin seram. Ada tangga turun ke bawah, pintu baja yang dibangun bergaya Eropa, dan pencahayaan yang minim. Saya coba masuk, ternyata hawanya dingin. Dingin dan pengap tepatnya. Di situ ada kamar mandi dan sebuah ruang besar dengan meja. Di atasnya, (lagi-lagi) saya melihat sesajen. Mungkin dianggap keramat bagi sebagian orang.

Tepat di sekitar kawasan bunker, banyak warga setempat berjualan. Ada yang menjajakkan minuman, makanan ringan, juga bunga edelweis. Hmm..saya tertarik beli karena bunganya cantik warna-warni.
Tapi, ketertarikan saya jadi lebih jauh tentang bagaimana caranya si ibu mendapatkan edelweis. Katanya, sang suami yang mencarikan bunga abadi itu ke puncak gunung.

Dalam bayangan saya, naik gunung itu kan penuh perjuangan, dan si ibu ini sudah menjual bunga edelweis sejak remaja. Berarti kegiatan si bapak naik turun gunung menjadi hal biasa, walau diakui bertaruh nyawa.

"Ya, ngeri juga Mbak. Apalagi suami saya kan sudah tidak muda," ujarnya.

Saya kembali terdiam. Betapa saya kufur nikmat banget. Ibu ini, untuk dapat Rp 50 ribu saja harus rela was-was nunggu sang suami metik bunga di puncak gunung yang tingginya ribuan meter itu. Belum lagi dengan potensi jatuh dan bahaya-bahaya lain yang mengintai. Sementara saya, uang Rp 50 ribu bisa dipakai buat hal-hal yang enggak penting. Hufft..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun