[caption id="attachment_319130" align="aligncenter" width="314" caption="Volcano Tour"][/caption]
Ini cerita jalan-jalan saya ke Daerah Istimewa Yogyakarta, atau lebih akrab disebut Jogja. Lewat ajakan seorang teman, saya menyambangi banyak tempat yang sebelumnya tak pernah saya datangi. Ya, maklum deh, tiap ke Jogja selalu soal kerja. Rutenya itu-itu saja, hotel-Malioboro-hotel, dan sekitaran situ deh.
Tiba di Bandara Adi Sutjipto jam 7 pagi, saya dijemput seorang kawan yang siap mengantarkan jalan-jalan. Namanya Mas Paul. Destinasi pertama setelah sarapan pecel adalah kawasan Gunung Merapi. Jarak dari bandara ke sana lumayan jauh. Hmm..kira-kira dari Bekasi - Salemba.
Saya pikir, keliling Merapi naik mobil Avanza yang kami tumpangi. Ternyata salah besar. Kami mesti naik jeep yang rodanya mirip roda truk, terus dengan atap terbuka. Wohooo...saya ini penakut, tapi terpaksa jajal wisata off road Volcano Tour. Seru!
Volcano Tour ini terbagi dalam tiga kategori rute. Rute pendek, menengah, dan panjang. Yang pendek sekitar 1,5 - 2 jam, menengah 2 - 3 jam, dan rute panjang sekitar 4 jam. Tarifnya paling murah Rp 250 ribu per jeep. Jadi, bukan dihitung per orang. Tapi, per satu angkutan pakai jeep. Â Saya mengambil rute pendek yang salah satu persinggahannya adalah Museum Sisa Hartaku.
Waktu saat itu masih menunjukkan pukul 09.30 WIB. Cuaca pun tidak terlalu terik. Ya, cerah campur mendung-lah. Saya ditemani pemandu yang sekaligus menyetir mobil jeep, namanya Mas Mesran. Kaya nama merek oli ya..He-he-he. Ini pengalaman pertama saya naik jeep terbuka dan muter-muter mengelilingi gunung. Namanya pertama, otomatis rasanya deg-degan.
Oke, petualangan dimulai. Mobil dipacu dalam kecepatan yang  sedang saja. Pelan tapi pasti melewati jalan terjal. Lama-lama makin ekstrim karena medan yang meliuk-liuk di atas gunung. Jujur saja, saya cukup ngeri. Ngeri, tapi seru. Gimana sih ya? Ya, gitu deh pokoknya. Recommended banget buat dicoba.
Teman-teman bisa ngerasain sensasi yang enggak kalah keren dibanding naik arung jeram atau rollercoaster. Apalagi, pemandangannya juga bikin mata jarang ngedip. Bagus banget. Buat objek foto pun dijamin hasilnya bikin kagum.
Hmm..sedikit info, wisata Volcano Tour ini terbilang baru ada di Jogja. Dimulai sekitar 2011, pasca erupsi (yang katanyaa terbesar) Gunung Merapi. Pengelolanya adalah warga asli Merapi, dan memang harus. Mereka semacam membuat komunitas, salah satunya 86 Jeep Community. Tujuan dibukanya wisata tersebut tak lain sebagai salah satu mata pencaharian warga korban Merapi.
Sepanjang off road, Mas Mesran cukup banyak cerita. Tentang dia dan keluarganya, tentang erupsi Merapi, cerita warga, dan enggak ketinggalan soal jeep. Mobil jeep terbuka di objek wisata ini dimiliki oleh, baik patungan antar warga maupun pribadi. Kebetulan, yang saya naiki punya Mas Mesran sendiri.
"Dulu saya belinya Rp 5 juta, sekarang harganya sudah mahal. Sudah jarang banget jeep kayak gini. Nyari-nyari sampai Surabaya, kemana-mana," katanya.
Selama perjalanan, selain karena pemandangannya aduhai, saya merasakan mood yang berbeda. Sebuah rasa yang rasanya sulit sekali saya ungkapkan. Mengitari bekas erupsi Merapi sambil membayangkan situasi yang terjadi saat itu.
Ketika saya menyentuh uap panas yang konon tak pernah padam itu, saya juga berimajinasi. Yang saya sentuh itu sudah lumayan panas, bagaimana waktu erupsi terjadi ya? Ngeri sekali.
Oh ya, saya juga diajak melihat batu alien. Batu berukuran besar yang bentuknya mirip wajah seorang kakek. Kata Mas Mesran, batu ini sama seperti batu besar di bagian barat Merapi yang tak bisa dipindah. Beberapa orang mengaitkan dengan mistis. Tak jarang juga yang meletakkan sesajen di sini.
Jeep kemudian melaju lagi membawa saya ke sebuah bekas bunker yang dulu dipakai warga menyelamatkan diri. Namun, panasnya Merapi ternyata lebih kuat dari material baja pelapis. Alhasil, dua orang pernah tewas di dalam sana karena terjebak lahar panas.
Dari luar, tampilan bunker ini lumayan bikin seram. Ada tangga turun ke bawah, pintu baja yang dibangun bergaya Eropa, dan pencahayaan yang minim. Saya coba masuk, ternyata hawanya dingin. Dingin dan pengap tepatnya. Di situ ada kamar mandi dan sebuah ruang besar dengan meja. Di atasnya, (lagi-lagi) saya melihat sesajen. Mungkin dianggap keramat bagi sebagian orang.
Tepat di sekitar kawasan bunker, banyak warga setempat berjualan. Ada yang menjajakkan minuman, makanan ringan, juga bunga edelweis. Hmm..saya tertarik beli karena bunganya cantik warna-warni.
Tapi, ketertarikan saya jadi lebih jauh tentang bagaimana caranya si ibu mendapatkan edelweis. Katanya, sang suami yang mencarikan bunga abadi itu ke puncak gunung.
Dalam bayangan saya, naik gunung itu kan penuh perjuangan, dan si ibu ini sudah menjual bunga edelweis sejak remaja. Berarti kegiatan si bapak naik turun gunung menjadi hal biasa, walau diakui bertaruh nyawa.
"Ya, ngeri juga Mbak. Apalagi suami saya kan sudah tidak muda," ujarnya.
Saya kembali terdiam. Betapa saya kufur nikmat banget. Ibu ini, untuk dapat Rp 50 ribu saja harus rela was-was nunggu sang suami metik bunga di puncak gunung yang tingginya ribuan meter itu. Belum lagi dengan potensi jatuh dan bahaya-bahaya lain yang mengintai. Sementara saya, uang Rp 50 ribu bisa dipakai buat hal-hal yang enggak penting. Hufft..
Oke, akhirnya saya bawa pulang bunga edelweis yang tadinya mau didiskon. Si ibunya sampai bilang, "Rp 50 ribu itu kemahalan enggak buat mbaknya? Ya, terserah Mbaknya saja,". Ah, enggaklah, kali ini saya mau ngeluarin Rp 50 ribu untuk sesuatu yang mungkin sedikit membahagiakan hati orang lain. Toh, bunganya juga bisa saya pajang di rumah.
Perjalanan lanjut lagi ke Museum Sisa Hartaku. Menurut saya, museum ini adalah museum terunik karena memakai rumah warga yang menjadi korban Merapi. Nama museumnya juga sudah unik kan?.
Yap, sesuai namanya, semua isi museum merupakan barang-barang asli sisa-sisa harta warga. Ada sapi yang hanya tinggal tulang. Ada baju yang sudah compang camping, radio dan tv yang meleleh, jam dinding yang jarumnya tepat menunjukkan kejadian erupsi, dan banyak lagi.
Saya ini lagi jalan-jalan. Tapi, ada perenungan yang dalam juga di sana. Berada di museum itu, ditambah lagu Ebiet G. Ade dan sisa abu, membuat saya harus bersyukur lebih banyak. Saya ini korban banjir di Jakarta. Tapi, mereka korban erupsi, nyatanya jauh lebih menderita.
Melihat-lihat bagian rumah dimana ada foto keluarga, kamar, ruang tamu, saya kembali membayangkan. Betapa warga di Merapi hidup bahagia dengan kesederhanaan dan kehangatan keluarga, tiba-tiba hancur karena erupsi. Berubah jadi tangis dan duka. Terlebih mereka yang kehilangan anggota keluarga. Saya salut dengan ide pembuatan museum ini. Sebuah wisata yang tidak biasa, yang tidak sekadar membuat wisatawan tertawa suka-suka.
Dari sana, jeep kemudian melaju ke basecamp. Rute pendek Volcano Tour berakhir. Saya tak mau melewatkan momen narsis, foto-foto sambil naik jeep. He-he. Kapan lagi kan?
Masih di hari yang sama, sore harinya saya diajak kawan, namanya Mbak Kaila dan Mas Arya, ke objek wisata Candi Ratu Boko. Dari Malioboro butuh waktu sejam-an sampai di sana. Hmm..menarik bagi yang menyukai wisata sejarah.
Di sini, pemandangannya cukup bagus. Mungkin karena areanya sangat luas dan banyak rumput hijau. Pas matahari terbenam, kalian juga bisa bikin potret siluet yang..keren deh. Sangat direkomendasikan jadi tempat foto pra wedding. He-he-he.
Saya cuma menikmati senja sambil melihat anak-anak muda yang narsis dan pacaran. Ya, di tempat seperti ini memang tidak banyak yang bisa dilakukan selain foto dan melihat bangunan bersejarah. Buat yang pacaran, mungkin asik-asik saja.
Menjelang Magrib, kami bergegas pulang. Mampir makan soto sebentar, lalu nongkrong di KaliMilk. Katanya, ini adalah salah satu tempat tongkrongan yang lagi cukup nge-hits di Jogja.
Sesuai namanya, mayoritas menu di sini terdiri atas susu sapi yang diberi varian rasa. Ada coklat, hazelnut, kopi, dan lain-lain. Soal rasa, buat saya sih biasa saja. Susu hazelnut yang saya pesan malah kemanisan. Tapi, soal interior atau atmosfer, saya akui juara. Karena kekenyangan, saya pilih balik hotel dan tidur.
Hari Ke-2 : Menyusuri Goa Pindul
Petualangan saya di Jogja belum berakhir di tempat susu itu. Hari kedua, lagi-lagi saya diajak ke tempat yang belum pernah saya datangi. Namanya Goa Pindul. Berada di wilayah Gunung Kidul, perjalanan ke sana lumayan menyita waktu, kira-kira 1,5 - 2 jam dari pusat kota.
Bayangan saya, berwisata ke goa itu enggak pakai acara basah-basahan. Eh, ternyata beda dong. Saya mesti pakai ban dan pelampung, lalu ban-nya nanti didorong sama pemandu. Saya yang enggak bawa baju ganti, terpaksa beli dulu. Okelah.
Seperti Volcano Tour, pengelola wirawisata Goa Pindul menawarkan sejumlah paket menarik dengan harga bervariasi. Ada 4 yang utama, yakni Cave Tubing Pindul seharga Rp 35 ribu/orang untuk wisatawan domestik dan Rp 50 ribu untuk wisatawan asing, River Tubing Oyo seharga Rp 45 ribu (domestik) dan Rp 60 ribu (asing), Caving Si Oyot seharga Rp 45 ribu (domestik) dan Rp 55 ribu (asing), serta Tracking Sendang seharga Rp 15 ribu (domestik) dan Rp 25 ribu (asing). Paket yang saya ambil meliputi Cave Tubing Pindul dan River Tubing Oyo dengan durasi sekitar 2-2,5 jam.
Tiap grup wisatawan harus didampingi satu pemandu. Tugas mereka selain menjaga keselamatan, juga menjelaskan asal usul Goa Pindul beserta keistimewaan lainnya. Sayaa tinggal duduk di ban saja menikmati arus air yang datar. He-he.
Pertama, kami memasuki sebuah goa yang panjangnya sekitar 300 meter. Lantaran norak, saya rada-rada takut karena makin jauh, cahayanya makin minim. Maka dari itu, mas-mas pemandu wajib bawa senter.
Di dalam goa, banyak stalakmit dan stalaktit yang masih aktif, sehingga cukup memanjakan mata. Selain itu, di area tertentu, kami wajib memanjatkan doa. Seperti di salah satu sudut yang konon menjadi tempat pertapaan raja jaman dulu.
Yang menarik lagi adalah kehadiran kelelawar, walet, dan binatang-binatang penghuni goa. Mereka bebas terbang ke sana kemari, lalu diam bergerombol di satu tempat. Menurut mitos, kalau kena air kencing walet, pertanda bakal dapat rejeki. Entah benar atau tidak.
Sampai di ujung goa, banyak pengunjung berfoto ria. Tak jarang mereka naik ke pinggiran stalakmit, dan byuurrr...menceburkan diri ke air. Terlihat segar sekali. Saya sendiri termasuk tipe wanita yang takut air serta tidak bisa berenang. Jadi, yah..leha-leha sajalah di ban.
Saya kira wisata ini sudah berakhir. Ternyata belum. Kami naik ke daratan, lalu jalan kaki ke arah depan dan menunggu mobil bak terbuka yang bakal mengantarkan kami ke tempat wisata selanjutnya. Naik mobil bak begini, saya berasa mirip anak sapi..Ha-ha.
Cuma sekitar 15 menit, saya sudah sampai di pinggiran sungai Oyo. Kirain langsung pakai ban lagi, eh tahunya mesti jalan dulu ke arah depan. Jaraknya lumayan juga, mungkin sekitar 50 meteran. Mas-mas pemandu kemudian berhenti. Dia memberi komando untuk menurunkan ban, dan saya kembali duduk di atasnya.
Sama seperti di Goa Pindul, ceritanya kami menyusuri sungai sepanjang satu kilometer itu. Banyak yang berenang, ada juga yang 'berjemur'. Saya sih lebih banyak ngantuk karena kebawa angin sepoi-sepoi.
Tak berapa lama, kami sudah sampai di tujuan akhir. Naik ke daratan, lalu kembali menunggu jemputan, si mobil bak terbuka tadi. Sambil menunggu, ada warung kecil yang menawarkan aneka makanan ringan. Saya cicip cimol plus bumbu kacang. Ehm..sedap.
Hari Ke- 3 : Eksplorasi Pantai di Gunung Kidul
Hari terakhir saya di Jogja diisi dengan wisata pantai. Jujur, saya enggak begitu suka pantai. Tapi, karena belum pernah jalan-jalan ke pantai yang ada di Gunung Kidul, maka tak ada salahnya kan dicoba. Berangkat jam 9 pagi, saya masuk kawasan pantai itu sekitar jam 11. Lumayan jauh dari tempat saya menginap di Malioboro.
Ada satu pintu masuk utama yang menghubungkan sekitar delapan pantai di sana. Destinasi pertama, pantai yang lagi ramai diperbincangkan, Indrayanti. Letaknya paling ujung pinggiran gunung. Pas saya datang, suasananya ramai sekali. Mungkin karena hari libur ya. Dan, saya sih cukup heran kenapa pantai ini begitu istimewa. Buat saya sih biasa saja. Persis seperti Ancol atau Carita..
[caption id="attachment_319141" align="aligncenter" width="314" caption="Pantai Indayanti"]
Di situ saya cuma ambil foto sebentar, lalu pergi ke pantai lain, yakni Pantai Kukup. Justru mata saya lebih terpukau di pantai ini. Karang yang eksotis, pasir yang lebih halus, dan ombak yang berdesir teratur. Lebih sepi, juga tenang. Cocoklah buat refreshing.
Begitu pun dengan Pantai Ngobaran. Buat saya, ini yang paling keren. Pas sampai, ada sebuah bangunan pura seperti yang sering kita lihat di Bali. Masuk lebih dalam, pemandangan makin bikin hati takjub. Bentukan karang yang indah, laut biru terhampar di bawahnya. Wah, luar biasa deh. Jadi tempat romantis juga karena saya lihat banyak pasangan muda mudi memadu kasih di atas karang. Ihiiy..
[caption id="attachment_319142" align="aligncenter" width="314" caption="Pantai Kukup"]
Bagi yang belum pernah ke pantai-pantai tersebut, saya sarankan segeralah kunjungi. Jogja itu enggak cuma punya Pantai Parangtritis. Eh, tapi satu hal sih, untuk pergi ke tempat-tempat yang saya datangi tadi, agak sulit kalau pakai angkot. Mesti naik motor, sewa mobil, atau pakai jasa travel. Kebetulan, kemarin itu saya jajal travel Lovintrip. Biaya dan paket wisata bisa diatur kok, pelayanannya pun oke banget. So, Selamat jalan-jalan ya! Tunggu petualangan saya selanjutnya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H