Mohon tunggu...
Firda NurmalaSari
Firda NurmalaSari Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswi PPG

Guru Bahasa Indonesia SMA Labschool Cibubur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Peristiwa Perpeloncoan di SMA pada MPLS dan Kaitannya dengan Kajian Psikologi Pendidikan

4 Oktober 2022   19:18 Diperbarui: 4 Oktober 2022   19:24 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Abstrak

Artikel ilmiah ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu patologi sosial yakni Perploncoan yang terjadi pada masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA mengenai bagaimana penyebabnya, akibat, dan solusi serta langkah yang diharapkan dalam pencegahan maupun perbaikannya serta kaitannya ditinjau dari Psikologi Pendikan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara guru BK sebagai narasumber dan pengalaman pribadi penulis selama mengajar. Berdasarkan hasil penulisan bahwa perploncoan dapat dimininalisasi melalui kebijakan pemerintah dan peran aktif guru dan seluruh warga sekolah.

Pendahuluan

Perploncoan menjadi titik Krusial pada momen kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah. Tahun ajaran baru dimulai. Baik, PAUD, TK, SD, SMP, maupun SMA menerima siswa baru. “siswa baru” yang menjadi label siswa yang baru masuk senantiasa melekat meskipun pemerintah giat dan gencar mengubah proses pengenalan terhadap sekolah baru, mulai dari yang kita kenal Masa Orientasi Siswa (MOS), kemudian berubah menjadi Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB), lalu Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), dan sekarang berubah lagi menjadi Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS).

Masa adaptasi bagi siswa di sekolah baru menjadi sangat rawan karena biasanya ada saja hal yang tidak diinginkan terjadi meskipun pihak sekolah sudah sangat ketat dan selektif dalam mengemas kegiatan pengenalan lingkungan sekolah itu. Kerawan itu biasa terjadi di SMP sampai Perkuliahan. Hal yang tidak kita inginkan itu terjadi biasanya dilakukan oleh siswa senior/kakak kelas yang merasa ada sikap, perbuatan, atau Tindakan, atau bahkan bentuk fisik murid baru yang “tidak pas” dan “tidak sesuai” atau yang tidak disenangi dengan pandangan mereka. Dari situlah muncul istilah “perpeloncoan”.


Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan jurnal ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan Teknik wawancara dengan pertanyaan terbuka. Subjek penelitian ini yakni guru BK di sebuah SMA sebagai narasumber primer dan ditambah dengan pengalaman penulis selama mengajar. Selain itu, penelitian ini menggunakan Teknik studi Pustaka guna mendapatkan teori-teori yang mendukung.

Hasil 

Menurut KBBI, bahwa perpeloncoan adalah praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Peristiwa ini terjadi sejak zaman Kolonial Belanda di Indonesia. 

Sejarah singkatnya seperti yang dilansir oleh Kompas.com pada 4 November 2021 tentang sejarah perpeloncoan di Indonesia yakni dalam bahasa Belanda plonco berasal dari kata ontgroening yang artinya murid baru. Tujuannya memberi perlakuan khusus bagi murid baru dalam waktu singkat agar menjadi dewasa dan kenal dengan lingkungan. 

Selanjutnya, perploncoan awalnya terjadi di STOVIA (sekarang FK UI) yang dirasakan oleh Roem Muhamad kemudian kisan itu ditulis di bukunya Bunga Rampai dari Sejarah. Kemudian Plonco masa Jepang Memasuki era penjajahan Jepang, baru mulai dilakukan praktek penggundulan di dalam Ika Daigaku atau sekolah kedokteran. Pada masa Jepang inilah baru digunakan istilah plonco untuk menggantikan ontgroening karena sikap Jepang yang anti Belanda saat itu. Kata plonco berarti kepala gundul. Jadi pada masa penjajahan Jepang plonco identik harus berkepala botak/gundul. Penggundulan ini menjadi salah satu obsesi militer Jepang saat itu yang identik dengan kepala gundul. Selain itu, standar kepala laki-laki Jepang pada waktu itu memanglah harus gundul. Hanya kaisar yang keturunan Dewa Matahari saja yang boleh memiliki rambut. 

Lalu, Plonco pascakemerdekaan terjadi pada awal kemerdekaan kegiatan perploncoan tetap terjadi. Salah satunya di lingkungan Universitas Indonesia pada tahun 1949. Pada masa itu kegiatan penggemblengan melalui plonco menciptakan ikatan batin dan rasa setia kawan, meskipun dalam suasana kemelut. Setelah banyaknya dibuka sekolah tinggi pada tahun 1950-an, kegiatan plonco tetap terjadi. Praktiknya berupa dibentak dan diperintah oleh seniornya. Namun dalam perkembangannya, perploncoan saat itu tidak mengacu pada penggundulan kepala bagi mahasiwa baru.  

Berdasarkan alur sejarah perploncoan di atas, banyak peristiwa yan terjadi. Kita ambil contoh di SMA. Banyak peristiwa yang terjadi mengenai ploncoan itu. Jenis perploncoan yang kerap terjadi di SMA khususnya momen tahun pelajaran baru, seperti ketika kakak kelas/senior yang menjadi panitia pengenalan lingkungan sekolah menyuruh siswa baru membawa perlengkapan baik berupa makanan atau barang yang aneh, misalnya membawa atribut serba warna yang sulit, misalnya ungu, mulai dari topi, dll, membawa pecahan uang yang sudah tidak digunakan, sehingga sulit dicari, kalau tidak dibawa tentu akan dihukum keliling lapangan, menyanyi atau push up sambal dijemur atau bahkan dipermalukan di depan kakak kelas lain, dan bentakan serta teriakan tidak luput dari semua itu. Semua perlengkapan aneh itu tentu secara filosofis tidak ada makna dan kegunaan untuk membantu siswa semakin mengenal lingkungan sekolah barunya, justru menumbuhkan sikap traumatik dan berpotensi balas dendam di kemudian hari.

Selain itu, perploncoan juga sering dilakukan oleh kakak kelas/senior yang bukan panitia dan terjadinya bisa di kantin sekolah, luar sekolah, di depan gerbang. Misalnya, berupa perintah push up, membelikan jajanan, larangan berjalan atau melintas di area tertentu padahal masih area sekolah, larangan menggunakan seragam atau sepatu jenis tertentu bagi siswa baru karena hanya boleh dipakai oleh kakak kelas. Peraturan atau larangan tidak tertulis dan illegal itu sangat diingat oleh siswa baru yang mau tidak mau diikuti secara masiv bahkan satu angkatan siswa baru karena merasa takut dihukum. 

Perploncoan juga erat kaitannya dengan perundungan atau bullying kepada siswa baru dengan menggunakan kata-kata yang tidak baik. Penyebabnya adalah,perasaan iri hati kepada korban atau siswa baru karena kadang siswa baru mendapatkan kebijakan yang lebih baik daripada mereka sehingga siswa baru selalu berada dalam posisi yang menyenangkan, menggunggulkan dirinya dan melebihi dari siswa senior atau kakak kelas.

Pencegahan perploncoan dari internal dilakukan melalui bimbingan klasikal di kelas-kelas, melaksanakan pemberian informasi secara lintas kelas, melaksanakan seminar antikekerasan, dan pemberian ajakan untuk tidak melakukan bullying melalui poster, dan media lainnya.

Jika sudah terjadi perplocoan, menurut informasi dari guru BK, para guru, khususnya BK biasanya mendengarkan informasi yang lengkap dengan kedua belah pihak. Jika sudah ada keterangan yang cocok, guru BK memberikan layanan konseling kelompok dan menyelesaikan permasalahan tersebut.

Ada pula perploncoan berubah menjadi tindakan kriminal seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual terhadap siswa baru, pemerasan uang, dan sebagainya. Sementara kita bahwa semua itu bukan bentuk pembinaan dan tujuannya bukan untuk pendidikan.

Pembahasan

Penyebab perploncoan yaitu mayoritas siswa melakukan karena balas dendam. Rasa tertindas yang dirasakan siswa bar uterus teringat, dengan kalimat “zaman dulu kita dibeginikan..kalian rasakan sekarang”. Ini yang terus terjadi secara turun-temurun. Padahal seperti yang kita tahu seharusnya kakak kelas menjadi contoh yang baik untuk siswa baru khususnya dalam mengenalkan budaya dan lingkungan sekolah. Idealnya begitu.

Perploncoan yang terjadi di sekolah tentu sangat bertentangan dengan tujuan dari pengenalan lingkungan sekolah yang sesuai dengan landasan hukum Undang-Undang No.18 Tahun 2016 bahwa Pengenalan lingkungan sekolah bertujuan untuk mengenali potensi diri siswa baru, membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah, menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru, mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya, menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.

Melalui landasan hukum yang dielaborasikan menjadi tujuan Pengenalan Lingkungan Sekolah itulah setiap tahun pemerintah selalu berbenah dan mengajak semua elemen sekolah untuk sama-sama menghilangkan praktik perploncoan itu. Sejak 2016, petunjuk teknis, petunjuk khusus penyelenggaraan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah didesain sedemikian rupa dengan disertai monitoring yang semakin baik ke sekolah-sekolah. Hal itulah menjadi solusi besar dari setiap permasalahan perploncoan di sekolah yakni dalam bentuk langkah pemerintah.

Sejalan dengan hal di atas, bahwa setiap satuan pendidikan pun harus dengan disiplin patuh kepada peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan pengenalan sekolah. Peran guru yang biasanya minim di setiap kegiatan tersebut yang justru sering digantikan oleh peran siswa senior, seharusnya diubah. Guru tetap menjadi panitia pelaksana yang memegang peran penting dalam proses pembinaan.
Ketika kita runut jauh ke dasar hakikat pendidikan, sudah sangat dipastikan bahwa perploncoan ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Oleh karena itu, siswa yang “takut” atau memiliki rasa atau ambisi balas dendam karena rasa tertindas ketika dulu menjadi siswa baru.

Ketika guru “kecolongan” terhadap siswanya yang menjadi pelaku atau korban, guru harus tahu penyebab, akibat dan solusinya. Ini merujuk ke psikologi pendidikan, yakni sebuah studi yang sistematis tentang psikologi yang membahas dan mempelajari anak didik dalam situasi dan lingkungan pendidikan. Lingkungan yang aman dan nyaman tentunya menjadi harapan dan usaha yang terus dilakukan oleh para guru khususnya karena berhubungan dengan siswanya. Guru pun harus selalu membina, mendidik, membimbing para siswanya agar berperilaku baik dan senantiasa menanamkan kenyamanan di sekolah.

Pembahasan psikologi pendidikan mencakup proses belajar-mengajar, terutama bagaimana seharusnya siswa belajar, guru mengajar, serta bagaimana proses belajar dan mengajar seharusnya dilaksanakan. Guru perlu menguasai aspek psikologi pendidikan karena dalam proses dan penerapan pembelajaran tidak pernah pernah sepi dari permasalahan, terutama rendahnya prestasi belajar siswa. Dengan demikian, psikologi pendidikan berperan penting dalam mendampingi dan membimbing guru dalam mencapai keberhasilan proses pembelajaran.

Menurut Crow & Crow dalam bukunya dengan judul “Educational Psychology” menerangkan bahwa: Educational Psychology describes and explains the learning experiences of an individual from birth through old age. Its subject matter is concerned with the conditions that affect learning yang artinya bahwa psikologi pendidikan merupakan pengalaman belajar artinya segala perubahan yang terjadi atau dilakukan seseorang yang berkaitan dengan proses belajar mengajar, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak berakhlak menjadi berakhlak. Sejalan dengan konsep psikologi pendidikan itu, guru pun tetap berada pada posisi membimbing, sehingga pelaku perploncoan tetap dibina, diarahkan, dan didengarkan alasannya agar siswa tersebut tidak merasa disudutkan. Jika sudah melebar ke ranah hukum, guru tetap menemani siswa tersebut sebagai bentuk pendampingan agar mental siswa tetap baik dan menyadari kesalahannya dengan lapang dada, tidak ditinggalkan begitu saja. Hal ini dilakukan bahwa prinsip sekolah adalah pendidikan, sehingga selalu ada proses perbaikan karakter agar siswa menjadi siswa yang terdidik.

Siswa yang melakukan dan menjadi korban perploncoan juga dapat terus dibina dan dibimbing di sekolah dengan maksimal serta bekerja sama dengan orang tua atau wali. Tujuannya agar pembawaan siswa barubah menjadi baik karena faktor lingkungan sekolah dan peran serta manusia di dalamnya. Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi pendidikan, pembawaan ialah seluruh kemungkinan atau kesanggupan (potensi) yang dapat suatu individu dan yang selama masa perkembangannya benar-benar dapat diwajutkan (direalisasikan). Oleh sebab itu, potensi siswa diharapkan dapat diwujudkan ke  rah yang lebih baik lagi.
Selain itu, pemerintah pun sebenarnya sudah menggalakkan program Sekolah Ramah Anak yang tertera dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No.8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak. Berdasarkan peraturan tersebut bahwa sekolah harus memiliki sifat aman, bersih, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, demi menjamin, memenuhi, serta melindungi hak anak serta perlindungan anak sekolah dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan di bidang pendidikan.

Melalui kebijakan pemerintah dan Langkah yang dilakukan sekolah, praktik perploncoan di Indonesi semakin berkurang. Hal ini dapat dibuktikan melalui data jumlah kasus pengaduan kekerasan anak di lingkungan pendidikan. Datanya sebagai berikut:

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak, kasus kekerasan di pendidikan adalah sebagai berikut.

Berdasarkan data di atas, bahwa ada hasil yang positif dari kebijakan pemerintah dan Langkah sekolah yang diterapkan. Sejak tahun 2016 angka kekerasan di sekolah semakin berkurang. Tentu dengan adanya angka di atas 50 kasus tetap menjadi masalah serius mengingat ini berkaitan dengan jiwa dan mental siswa.


Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Perploncoan adalah tindakan yang dilakukan karena perasaan balas dendam dan perasaan ketidakpuasan dari sistem pembinaan yang dianggap tidak disiplin. Perploncoan erat kaitannya dengan perundungan, yang berupa perintah fisik, larangan dan ancaman, kekerasan verbal, dan sebagainya.

Solusi preventif perploncoan yakni dengan memaksimalkan peran guru dalam kegiatan Pengenalan lingkungan Sekolah dan disertai monitoring yang ketat namun tetap mengedepankan prinsip Sekolah Ramah Anak. selain itu, peran guru BK dalam memberikan arahan dan bimbingan juga sangat diperlukan. Namun demikian, jika sudah terjadi praktik perploncoan di sekolah, Tindakan kuratif yang harus diambil yakni guru tetap melakukan pendampingan baik kepada korban maupun kepada pelaku dengan dibantu guru BK. 

Harapannya, semoga warisan perploncoan di Indonesia semakin berkurang bahkan hilang. Sikap optimisme dan saling bekerja sama di semua lini serta di setiap pihak akan semakin mendukung kenyamanan, keamanan siswa dalam bersekolah namun tetap santun dan menerapkan nilai-nilai pendidikan yang sesuai dan berkarakter positif.

Daftar Pustaka 

Asrori. 2020. Psikologi Pendidikan Pendekatan Multidisipliner. Purwokerto: CV Pena Persada.

Purwanto, M. Ngalim. 2013. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Irham, Muhammad, dkk. 2017. Psikologi Pendidikan : Teori Dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Dalam https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1144961. Diunduh pada 15 Juli 2022.

Pengelola Web Kemendikbud. 2021. ”Penyelenggaraan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah Sesuai Kondisi Pandemi”. dalam https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/07/penyelenggaraan-masa-pengenalan-lingkungan-sekolah-sesuai-kondisi-pandemi. Diunduh pada 15 Juli 2022.

--dalam https://sekolahramahanak.files.wordpress.com/2013/11/permen-pppa-no-8-thn-2014-ttg-kebijakan-sekolah-ramah-anak-1.pdf. Diunduh pada 16 Juli 2022.

--dalam https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016-2020. Diunduh pada 16 Juli 2022

Putri, Vanya Karunia Mulia. 2021. Sekolah Ramah Anak: Pengertian, Ciri-Ciri, Prinsip, dan Standarnya. Dalam https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/28/143816269/sekolah-ramah-anak-pengertian-ciri-ciri-prinsip-dan-standarnya?page=all. Diunduh pada 16 Juli 2022

Subroto, Lukman Hadi. 2021. “Awal Mula Perploncoan di Indonesia”. Dalam https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/04/120000679/awal-mula-perploncoan-di-indonesia?page=all. Diunduh pada 15 Juli 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun