Kebijakan pemerintah daerah tampak seperti tameng dari semua bentuk inovasi yang mencoba mendobrak tradisi lama.
Toleransi agama jadi seperti angan-angan yang tertulis manis di atas kertas, tapi belum terwujud dalam realitas sehari-hari.
Kritik Terhadap Pluralisme dan Kebijakan Pemerintah: Setengah Hati
Dalam konteks pluralisme, penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilegon dapat dilihat sebagai manifestasi dari kegagalan kebijakan pluralisme.
Pemerintah sering kali berada dalam posisi sulit, antara menjaga perdamaian dan stabilitas sosial di satu sisi, dan memenuhi hak-hak minoritas di sisi lain.
Menutup mata terhadap kebutuhan dan hak kelompok minoritas bukanlah solusi jangka panjang. Ini hanya menambah ketegangan dan rasa ketidakadilan.
Sulit untuk mengklaim diri sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika kalau implementasinya masih setengah hati.
Kalau hanya bicara soal toleransi tapi implementasi nol besar, ya jelas gak jalan.
Solusi dan Harapan: Membangun Toleransi Sejak Dini
Meskipun tantangan berat, ada harapan bahwa situasi ini dapat membaik dengan adanya dialog dan kerjasama antara berbagai elemen masyarakat.
Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon bisa memainkan peran kunci dalam memfasilitasi pertemuan dan diskusi antara tokoh agama dan masyarakat umum.
Pendidikan tentang toleransi dan keberagaman sejak dini juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan ini.
Selain itu, tokoh agama dari berbagai latar belakang bisa saling mengunjungi dan berbagi pengalaman, memperlihatkan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi untuk hidup berdampingan dalam damai.