PEPOHONAN pinus berjejer dan menberi sejuk. Panorama itu terlihat pada jalanan bukit bukit sekitaran danau. Gelayut dedahan parasit menunjuk kehadiran angin nan segar bercengkerama dengan dedaunan pohon-pohon di bukit.
Tak ada lagi penarik jiwa menikmati alam. Kini ia hanya sendiri melihat kerinduan-kerinduan yang teramat kala ia menghabiskan waktu bersama buah hati. Ya lelaki itu hanya berdua dengan putrinya yang kini beranjak dewasa.
Tujuh belas tahun telah berlalu. Kematian istrinya tak membuatnya untuk memilih wanita lain. Kesendiriannya membesarkan anak membuatnya sangat dihormati dan disayangi Nova. Meski sejak lahir ke dunia Nova tak lagi memiliki ibu.
“Ayah tak berencana untuk kembali menikah?” tanya Nova pada ayanya.
“Hingga kini tak ada perempuan lain yang bisa menggantikan ibumu,” kata ayahnya.
“Ah, Nova tak percaya. Ayah kan lelaki yang belumlah tua. Apalagi usia pernikahan ibu dan ayah begitu muda.”
“Ya nyatanya sampai sekarang tak pernah ada yang cocok selain ibumu.”
“Apa rahasia ayah bisa bertahan dalam kesendirian?”
“Apakah ayah tak menginginkan lagi kasih sayang. Tidakkah ayah menginginkan sebuah tangan lembut dalam megurus hidup ayah. Ayah tak perlu takut, Nova tak akan melarang ayah untuk kembali menikah,”
“..... hmmmm, bukan ketakutan padamu anakku. Bagaimana mungkin ayah bisa mencintai wanita lain, sedang rasa rindu ini masih saja ada pada ibumu.”
“Rindu ini tak akan bisa pudar. Terlebih tak ada sketsa wajah ibumu dalam dirimu anakku. Kau begitu mirip denganku. Apalagi pola asuh ayah, membuatmu begitu memiliki kemiripan sikap.”
“Ketika nanti ayah mendapatkan wanita lain, Nova yakin ayah akan sedikit melupakan ibu. Ayolah yah. Kasihan ayah,” jelas Nova.
“Apakah kau takut, jika harus mengurus ayah di hari tua?” tanya ayahnya.
“Oh tidak sama sekali yah. Ayah adalah sosok utama dalam hidup Nova. Yakinlah ayah tak mungkin Nova tinggalkan,” jawabnya.
“Lantas apa yang membuat ayah begitu setia pada ibu?”
“Mari kita ke rumah,” ajak ayahnya.
Kemudian di dalam rumah kayu mereka berdua. Sang ayah mengambil sebuah kota di dalam laci. Lalu di bawanya lagi keluar dan kini mereka ke tepian danau yang hari itu sunyi, tampak jelas bebukitan di seberang danau.
Kemudian si ayah mengeluarkan sebuah senar pancing yang kusut berantakan.
“Apa itu yah?” tanya Nova penasaran.
“Inilah senar yang paling berharga di muka bumi.”
“Senar jelek itu?” tanya Nova lagi.
“.....ehmmm jangan sembarangan kau Nak. Jika taka ada senar ini, maka tak adalah dirimu.” Nova melihat gumpalan senar pancing kusut yang begitu tebal.
“Senar inilah yang menyelamatkan nyawa ayah. Ya ibumu yang menyelamatkan. Ketika ayah mulai tak sadar di tengah danau, dijeratnya ayah menggunakan senar ini. Dia menggunakan perahu menarik ayah. Syukur, ternyata ayah masih selama saat di tepian.”
“Ibumu juga yang merawat ayah berminggu-minggu sampai benar-benar sembuh. Inilah gulungan senar yang membuat ayah selalu setia hingga kini. Tanpa senar ini ayah telah tiada. Maka seharusnya ayah sudah tiada, buat apalagi ayah menikah,” jelas ayahnya.
Senar itu kemudian diberikannya pada Nova untuk dijaga. Begitu juga lelaki itu meminta Nova untuk menjaganya hingga tua kelak.
Sei Rampah 29/9/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H