Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian

22 September 2016   22:05 Diperbarui: 22 September 2016   22:13 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KATANYA di kota itu memiliki masa depan. Masa depan yang seperti apa. Aku tak  tahu, namun, baiklah aku mencobanya. Menelusuri selangkah demi selangkah. Terik matahari menyengat menggosongkan kulit. Berjalan berhari-hari, legamnya kulit semakin menjadi. Ini belum setengah perjalananku.

DI pasar kulihat barang ditukar dengan uang.  Uangku? Hanyalah barter tenaga. Sore hari pedagang makanan kaki lima yang kutemui mempersiapkan tenda tempat dagangan. Aku turut membantu. Lumayan, ada nasi uduk pakai ayam penyet kudapat. Uang tak begitu penting bagiku.

Perjalanan yang begitu jauh membuatku gerah. Kali ini aku baru mandi, menumpang masjid, tanpa sabun, shampo dan sikat gigi. Yang penting minyak di tubuh hilang. Seminggu berjalan breok pun masih menghiasi wajah.

Taman-taman jalan adalah pilihan yang tepat untuk tidur di malam hari. Seharian berjalan, memang itu tempat yang paling menenangkan. Mengusir nyamuk cukup mengkibas-kibaskan sarung yang selalu kubawa dalam tas. Kini mulai gadel.

Itu baru setengah perjalananku. Kemudian, aku akan melangkah senyap dari pohon ke pohon. Jika ada pamong praja. Nanti mereka merazia dan membawaku ke Dinas Sosial. Aku tak akan mau menerima ajakan itu.

Pernah aku tertangkap, namun tubuhku yang bidang ini tak mampu mereka tahan untuk kabur. Ditengah rambut acak dan janggut brewok, seorang teman melintas. Ah, sialnya dia memanggilku. Aku pura-pura tak kenal saja. Buat apa kenal dia. Nanti aku hidup seperti semula.

***

DI Malang Jawa Timur

“Woi, aku lihat Septian semalam saat pulang dari Jakarta. Dia di Semarang. Tapi kayak gembel gitu,”  kata Andri pada teman-teman kantornya.

“Ah salah liat kamu tuh,”jawab teman lainnya.

“Lah, ini ni  fotonya, kalau kalian gak percaya,” Andri berusaha meyakinkan.

“Lah, lah iya iki Septian toh,” kata Pak Kepala Dinas.

“Kok jadi begini dia yah. Sakit mungkin tuh dia,” kata teman lainnya.

Kantoran menjadi heboh. Mereka tak ketinggalan untuk peduli. Segera mereka menyebar foto Septian di sosial media, begitu juga mengirimkan pada otoritas yang berwenang. Mereka menduga Septian  sudah gila.

Didatangi rumahnya di Malang.

“Ini Septian kan mak,” Andri menunjukkan foto itu kembali.

“Iya, ni anakku ini. Dimana dia. Aduhh, bikin susah emak aja ni anak. Kerjaan sudah bagus, tapi kok malah jadi gembel toh,” keluh emak.

“Yo wes mak, kita usahakan ngembalikan Septian.”

Emak menceritakan. Septian mengimpi-impikan kehidupan yang bebas. Bisa bertualang dan bisa melakukan sesuka hati, tanpa mempedulikan kehidupan materi.

“Iya, anakku itu pola pikirnya sudah berubah beberapa bulan terakhir ini.  Katanya dia mau bebas. Bebas yang gimana lagi, emak gak ngerti,” terang emak.

Emak dan dua kakaknya menanti untuk bertemu kembali dengan Septian. Tiga Minggu belum ada kabar apapun tentang Septian.

***

JAKARTA sudah di depan mata. Tiga Minggu lalu aku berjalan sendiri, kini ada belasan orang yang mengikutiku. Rambut gimbal, tak terurus. Celana koyak dengkul, kuncup dan berbagai macam perhiasan

Pasar adalah tujuan kami singgahi, setiap pasar kami lalui sore hari. Membersihkan setiap sampah-sampah di pasar. Disanalah kami mendapat upah. Kami tak menerima uang, namun kami hanya menerima makanan apapun itu.

Jerih payah kami hanya untuk makan. Setiap malam kami habiskan waktu dari taman satu ke taman lainnya. Menikmati santapan hasil pemberian orang-orang di pasar. Ada yang memberi, ada yang mengusir. Namun aku dan para pengikutku tak mempermasalahkan asal bisa bebas.

“Kita tak memiliki tujuan, agar kita terus hidup. Jika kita memiliki tujuan, maka kita harus berjalan sesuai ritme. Disana ada aturan. Lantas apakah kita akan memegang aturan?”

“Ngggakkkkk......” teriak para pengikutku.

“Tapi ingat, sekeliling kita adalah makhluk-makhluk yang memenuhi aturan. Maka mereka akan memaksa kita pada aturan-aturan mereka. Saat ini kita minoritas, jangan kita terobos aturan mereka,” Aku menyampaikan dengan suara yang datar namun jelas di dengar.

Dalam  kelompokku ini tak ada jabatan. Tak ada siapa yang senior dan siapa yang junior. Aku  sendiri bukanlah ketua atau kepala, namun hanyalah ideolog para pengikutku.

Dua Minggu sudah berjalan, kini aku dan mereka tiba di Jakarta. Pengikutku kini bertambah. Hampir mencapai seratus orang. Kami pun berjalan bergerombol.

Karena tak mengantongi izin keramaian, begitu tiba di Jakarta malam hari kami harus berhadapan dengan pihak kepolisian setempat. Aku lari dan berhasil kabur dan akan terus memperjuangkan ideologi bohemian. “AHHHHH,” BRAKKKKKK.

***

DI Malang Jawa Timur

Gelas jatuh di lantai. Emak menangis dan terduduk di sudut rumah. Esok hari surat kabar sudah menayangkan korban tabrak lari di Jalan Kemuning Raya Jakarta Barat. Orang kantor Septian heboh..... Ideologi Bohemian pun gagal.

Sei Rampah 22/9/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun