JAKARTA sudah di depan mata. Tiga Minggu lalu aku berjalan sendiri, kini ada belasan orang yang mengikutiku. Rambut gimbal, tak terurus. Celana koyak dengkul, kuncup dan berbagai macam perhiasan
Pasar adalah tujuan kami singgahi, setiap pasar kami lalui sore hari. Membersihkan setiap sampah-sampah di pasar. Disanalah kami mendapat upah. Kami tak menerima uang, namun kami hanya menerima makanan apapun itu.
Jerih payah kami hanya untuk makan. Setiap malam kami habiskan waktu dari taman satu ke taman lainnya. Menikmati santapan hasil pemberian orang-orang di pasar. Ada yang memberi, ada yang mengusir. Namun aku dan para pengikutku tak mempermasalahkan asal bisa bebas.
“Kita tak memiliki tujuan, agar kita terus hidup. Jika kita memiliki tujuan, maka kita harus berjalan sesuai ritme. Disana ada aturan. Lantas apakah kita akan memegang aturan?”
“Ngggakkkkk......” teriak para pengikutku.
“Tapi ingat, sekeliling kita adalah makhluk-makhluk yang memenuhi aturan. Maka mereka akan memaksa kita pada aturan-aturan mereka. Saat ini kita minoritas, jangan kita terobos aturan mereka,” Aku menyampaikan dengan suara yang datar namun jelas di dengar.
Dalam kelompokku ini tak ada jabatan. Tak ada siapa yang senior dan siapa yang junior. Aku sendiri bukanlah ketua atau kepala, namun hanyalah ideolog para pengikutku.
Dua Minggu sudah berjalan, kini aku dan mereka tiba di Jakarta. Pengikutku kini bertambah. Hampir mencapai seratus orang. Kami pun berjalan bergerombol.
Karena tak mengantongi izin keramaian, begitu tiba di Jakarta malam hari kami harus berhadapan dengan pihak kepolisian setempat. Aku lari dan berhasil kabur dan akan terus memperjuangkan ideologi bohemian. “AHHHHH,” BRAKKKKKK.
***
DI Malang Jawa Timur