Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Peniup Harmonika

12 September 2016   22:10 Diperbarui: 12 September 2016   22:15 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Harmonika (belajaralatmusik.wordpress.com)

SUARA harmonika nyaring berirama nikmat terdengar. Semakin nikmat dalam pembaringan. Hanyalah bayang terlihat pada sebuah jendela tertutup horden cerah. Musik yang dimainkan selalu berulang setiap hari dengan tiga irama berbeda. Namun, bosan tak pernah singgah bagi para pendengar. Bahkan semakin teduh bila malam semakin malam ditambah temaram sinar bulan.

Lantun harmonika yang seirama dengan alam gelap.  Hanya gelap yang membuat rumah itu tampak berpenghuni. Terang menyamarkan cahaya dan suaranya. Tak pernah ada yang tahu siapa disana dan bagaimana sosok penghuninya. Sebuah rumah berhalaman besar, terbuat dari kayu-kayu antik. Anjing hitam besar menjaga rumah tersebut, semakin tak ada orang yang berani mengunjungi.

Namun, aku tak bisa menahan keingintahuanku tentang musik harmonika yang tak pernah menimbulkan bosan meski terdengar tiap hari. Waktu terdengar musik harmonika itu sangatlah tentatif. Kadang tiap hari dalam seminggu, kadang seminggu sekali dan juga bisa sebulan tak terdengar sama sekali. Jika lama suara harmonika itu tak ada, aku merasakan kerinduan yang teramat. Ini yang pertama sejak dua bulan sudah terdengar.

***

Esok hari, aku sangat ingin memecahkan tentang suara harmonika itu. Kuberanikan diri masuk pada rumah yang kata orang-orang horor. Banyak  cerita mistik dari rumah itu. Wajar saja, sejak aku lahir, tak pernah ada orang-orang yang mengaku pemilik rumah tersebut. Horor si peniup harmonika pun menjadi biasa. Katanya, beberapa orang yang mencoba masuk telah mati karena amarah penghuni.

Namun, tak ada bukti kuat tentang cerita itu. Rumah seluas dan sebesar itu memang menyimpan banyak misteri. Senyap aku melangkah, tanpa terlihat anjing penjaga. Beruntung, anjing itu lagi tertidur. Memang anjing yang sangatlah besar dan menyeramkan. Bulu kudukku naik, semakin berjalan senyap semakin merinding ketika hampir masuk pada rumah itu. Kucoba masuk dari depan, rumah itu tak terkunci.

Tak ada tanda rumah itu berpenghuni, kutelusuri rumah hampa tanpa ada satupun perkakas. Benar-benar ini adalah rumah yang sangat besar. Hingga kumencoba masuk ke dalam kamar tempat bayangan peniup harmonika yang biasa kulihat. Nyatanya, satu kamar itu sangatlah berbeda dengan seisi rumah. Kamar itu identik dengan segala perlengkapan gadis. Mulai tempat tidur, meja hingga pakaian yang digantung di dinding-dinding.

Harmonika itu berada di atas meja. Kuambil, namun untuk apa harmonika tanpa berjumpa orang yang biasa memainkannya. Aku sendiri tidaklah mengerti akan musik. Sengaja, aku menyelinap sore hari, agar dapat bertemu si peniup harmonika. Sore sudah menjelang malam, ini adalah pertaruhan antara bisa berjumpa atau tidak dengan si peniup harmonika itu. Hingga malam tibapun tak ada tanda-tanda orang akan datang dari pagar depan.

Aku sendiri telah kesulitan untuk keluar dari rumah horor itu. Bagaimana tidak anjing besar itu sudah mengendus-ndus kesana kemari.  Seperti mencari sebuah jejak. Jangan-jangan jejakku yang sedang dicarinya. Tapi tiba-tiba keterkejutanku datang. Terdengar jejak langkah entah dari mana. Aku mendengarnya seperti di bawah lantai. Tak berapa sebagian kecil  lantai kayu itu bergoyang. Terbuka sebuah kayu segi empat menyerupai pintu di sudut kamar.

Muncul seorang gadis dengan rambut panjang hitam bergelombang. Matanya hitam kehijau-hijauan. Sebuah mata langka yang indah dan wajah putih. Dia seusiaku, terkejut dengan keberadaanku.

“Siapa kau?”

“...mmm, akku orang seberang rumah ini,”

“Bagaimana kau bisa masuk?” tanyanya.

“Aku menyelinap, berusaha tak terdengar,”

“Apa tujuanmu,”

“Mencari orang yang meniup harmonika, apakah itu kau?”

Dia diam saja tak menjawab. Dia ketakutan, aku juga takut dengan cerita horor. Gadis ini nyata ataukah hanya jadi-jadian. “....eehhhh benarkah cerita orang-orang tentang beberapa orang dibunuh oleh penghuni rumah ini ketika coba masuk,” tanyaku.

Semakin lama dia semakin ramah. “Ah itu hanya cerita yang dibuat  oleh ayahku. Mungkin kau mengenal ayahku, tapi tak pernah mengenalku,” jawabnya.

‘”Siapa ayahmu?”

“Nanti saja kuberitahu,”

“Oh ya namaku Scheleton,”

“Nama yang lucu, hehh. Aku Diandra,” jawabnya. Aku terus bertanya-tanya melepas rasa penasaran tentang cerita-cerita horor rumah itu.

“Chel,tahukah kau rumah ini begitu luas dengan halamannya. Kau pasti tak mengetahui tanah yang besar disini menyimpan dua rumah didalamnya,” cerita dia padaku.

“Ayo ikut aku,” Diandra mengajakku pada sebuah lantai rahasia tempat kemunculannya tadi.

Kami berjalan dalam gelap, dengan lampu kecil di tangan Diandra, hingga menaiki tangga. Sampailah kami pada sebuah kamar yang mirip dengan kamar sebelumnya, namun kamar yang satu ini terbuat dari dinding batu. Aku terheran, nyatanya rumah ini saling terhubung.

“Yah begini kondisi sebenarnya. Ayahku adalah Wiliam,”

Aku terkejut, Wiliam adalah salah satu pengusaha yang berada di tempatku berada. Diandra menjelaskan kamar dimana kami berada adalah rumah Wiliam, sedangkan rumah kayu itu adalah rumah pengasingan buat Diandra.

“Setiap nenek sihir itu datang aku harus ke rumah belakang lewat jalur bawah tanah tadi. Aku tak bisa menampakkan diri pada siapapun,” jelasnya.

“Maksudmu?”

“Sejak kepergian ibuku, ayahku kembali menikah dengan perempuan lain. Aku disekap tak bisa kemana-mana. Dia sangat menuruti istri barunya itu. Aku menyebutnya nenek sihir,”

“Menurut nenek sihir itu aku biang penyakit. Maka, setiap ia akan datang ke rumah ini, aku harus segera pergi ke rumah belakang,”

“Mereka sering tidak di rumah, kadang juga mereka sering di rumah. Maka,  suara harmonika itu kadang ada kadang ttak ada,” jelas Diandra.

Kami banyak bercerita tentang kehidupan Diandra. Menurutnya, jika hanya ayahnya saja yang di rumah itu, dia dapat bersama-sama dengan ayahnya. Tapi tidak, jika ada “nenek shir”. Nenek sihir itu sama sekali tidak ingin melihat Diandra.  Ternyata juga yang menghembuskan isu tentang horornya rumah belakang adalah Wiliam sendiri. Itu dilakukan agar tak ada warga yang mengusik kediamannya di wilayah belakang itu.

Sedangkan lantunan suara harmonika yang dimainkannya adalah musik yang diajarkan mendiang ibunya. Hanya ada tiga lagu yang bisa ia mainkan. Menurutnya, ketika ia memainkan lagu itu dengan harmonika, ibunya berada di dekatnya menemaninya dalam kesendirian. Semakin ia bercerita, semakin terpancar pesonanya.

Gadis peniup harmonika itu memang sangat mempesonaku. Aku semakin sering menyelinap ke rumah horor itu. Tetap kujaga rahasia horor itu, agar Diandra hanya bisa dekat denganku yang semakin menyukainya.

Sei Rampah 12/9/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun