Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Pengemis Codet

29 Agustus 2016   23:19 Diperbarui: 30 Agustus 2016   07:48 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
REUTERS/Krishnendu Halder

LALU lalang kendaraan. Berisik klakson, keributan di tengah terik sinar yang memantulkan silaunya di toko-toko kaca. Toko kaca satu memajang buku, ada juga memajang pakaian dan ada juga memajang kue tart dan lainnya.

Lantunan musik skeptis pengamen berpindah-pindah. jalanan diisi para penunggu angkutan. Inang-inang hilir mudik dengan tas tikar daun bambu. Semua berkeringat, memang gerah kurasa hari itu. Hingga beberapa cici menggunakan payung menutupi sengat sinar matahari. 

Seperti ada yang kukenal, namun kuragu. Benarkah ini dia. Putih kepalanya plontos licin, duduk di bawah lampu merah dengan mangkuk hijau. Kaki kanannya tak terlihat. Ia kurus tertunduk, tangan kanannya menutupi wajah dari sinaran matahari.

Semakin ku dekat, ternyata memang ia kukenal."Geraldi?".

Dia menoleh setelahku menyapa dari samping. "Weldi?" sapanya balik. 

"Nasib bagaimana yang kau lalui Ger, hingga menjadi serendah ini?" tanyaku.

"Yah inilah aku. Dunia rendah ini yang akan menyelamatkan hidupku, kuharap kau tidak membesarkan pertemuan kita ini dengan teman-teman lainnya," harap dia padaku.

"Delapan bulan lalu, aku masih merasa rendah dihadapanmu Ger," kutanyai ia lagi menghapus rasa penasaranku.

"Weldi, drajatmu selalu lebih tinggi dariku sejak kita SMA," jawab Gerald.

"Maksudmu," 

Dia tersenyum. "Tunggulah sesaat. Kau akan tahu yang sebenarnya," katanya. 

Aku ke pinggiran jalan, menunggu Geraldi yang meminta belas kasihan orang. Lalu kisar 10 menit, Geraldi mengesot ke pinggiran jalan dan menyuruhku mengikutinya hingga sampailah pada sebuah rumah toko masuk dari sebuah komplek.

Terkejutnya aku. Kaki kanan yang tadinya tak terlihat kini dibukanya dan muncul. Ia pun berdiri dan menatapku.

"Bagaimana kau bisa tanda denganku?" tanya Geraldi sembari membuka topeng kepala botaknya. Nyatanya ia tak botak. Dia masih tampak seperti yang dulu.

"Aku melihat codetmu," sembari aku menunjuk di sebelah kanan kening Geral.

"Ah iya, codetku ini yang kita dapatkan bersama-sama waktu tawuran sama anak SMA lain ya. Hahahha, aku lupa," Geraldi mengenang saat kami tawuran dulu sambil memakai kemejanya.

Pengemis tadi berubah menjadi Geraldi yang kukenal keren dan modis. Tak hanya itu, malah ia mengajakku berjalan dan ternyata ke arah mobil mewahnya.

"Masuk Wel," ajaknya.

"Kalaupun teman-teman mendengar cerita tentangku darimu, mereka tak mungkin percaya Wel," katanya sambil mengendarai mobil.

"Aku bukanlah tipe teman seperti itu Ger. Namun aku heran, apa yang sebenarnya kau lakukan dengan pekerjaan serendah itu,"tanyaku.

"Hahhh, bicara rendah. Habis kuliah kau pengangguran kan. Tidak ada uang. Lebih bagus begini, aku bisa kaya dengan cara mudah," katanya.

Kemudian dia melanjutkan bicara dengan memamerkan kekayaannya tentang tiga mobilnya, rumahnya dan pacar-pacarnya.

"Kalau aku dari pada meminta, lebih baik aku hidup sengsara," ku berucap hingga kami berhenti di suatu tempat. Sebuah rumah, Geraldi mempersilahkanku masuk. Tanpa cerita dia menantangku untuk bermain playstation. Seperti hobi kami dulu.

Tak terasa sore pun datang di rumah itu , ternyata sudah kulihat banyak pengemis berdatangan. Ada yang benaran cacat dan ada yang pura-pura cacat. Geraldi menerima semua pemberian mereka yang didominasi recehan. Aku dipaksanya untuk membantu menghitung. 

Belasan menit kemudian kami selesai menghitung, Geraldi mentotal uang tersebut mencapai Rp53.567.000,- 

"Inilah hasil perhari Wel," seakan ia memberi jawaban padaku yang telah menelan ludah melihat uang sebegitu banyak.

"Aku menggaji para pengemis itu tiap bulan dan membayar para jongos yang kusiapkan untuk memantau para pengemis di lapangan," terangnya.

"Pendapatanku sangat jauh lebih tinggi dibanding untuk membayar gaji mereka," jelas Geraldi.

Aku tertegun, bagiku permainan ini sangat tidak masuk di akal. Menjadikan orang serendah-rendahnya untuk meraup keuntungan yang besar.

"Ya hanya saja hari ini, karena codetku yang masih kau tanda, kutawarkan kau untuk bergabung. Kau kan pengangguran Wel," rayu Geraldi padaku yang membuatku naik pitam.

"Codetmu itu, kau fikir aku mau dengan kerja seperti itu," 

"Ayolah Wel, kita bisa membuatmu untuk tak dikenali dan meraih puluhan juta tiap hari. Kapan lagi bisa kaya. Aku saja ke lapangan hanya sekali seminggu Wel, apalah yang kau fikirkan lagi," Geraldi seperti setan yang menggoda imanku dengan jaminan harta.

 

Sei Rampah, 29 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun