Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebungkus Lupis untuk Robi

13 Agustus 2016   13:45 Diperbarui: 13 Agustus 2016   14:29 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TAK terelakkan, sebuah cubitan membekas memar di paha Mira. Air mata dengan aungan tangisan pun terdengar di sebuah gubuk kecil. Gang yang begitu padat dengan himpitan rumah semakin membuat tangisan jelas terdengar. Robi terjatuh dihadapan Mira karena naik di atas batasan teras rumahnya. Tapi, Mira pun tak menyangka, cubitan sebagai hukuman untuknya yang tak terlibat atas jatuhnya Robi.

Robi yang sebelumnya menangis, kini tinggal isakan menarik-narik ingus yang meleleh dari hidungnya. Sesekali diusapnya dan tangisan Mira menggantikan tangisan Robi, maka sudah memakan waktu hingga 15 menit gubuk itu memperdengar suara tangisan anak kecil.

“Kenapa Mira yang kau cubit,” tanya si ibu pada ayah. Pria kurus itu pun hanya berlalu menggendong Robi tanpa menjawab pertanyaan si ibu.

Ibu memeluk Mira dan dan berusaha membujuk untuk tak lagi bersedih. “Sudah nak jangan nangis lagi, ayo kita ke warung,” ibu membujuk Mira membeli jajanan di warung sebelah rumah. Tangisan Mira sudah berhenti dan melihat-lihat jajanan. Pilihannya jatuh pada makanan kerupuk kemasan, dinikmatinya sembari jalan pulang ke gubuknya. Robi duduk di beca ayahnya yang terparkir di teras sempit, hingga posisi beca terpaksa di serongkan dari pintu masuk teras gubuk itu.

Lebih Enam tahun mereka hidup berumah tangga. Dua anak lahir hasil hubungan tersebut, namun ekonomi tak meningkat. Untuk masuk ke taman kanak-kanak saja Mira tak terkecukup, padahal usianya 5 tahun kini. Si ayah pun kini tak lagi laris dengan beca dayungnya, lantaran sepeda motor yang menjamur dengan sistem kredit yang mampu dijangkau banyak orang kelas bawah. Ibu Mira hanya bisa membantu dengan mencuci pakaian di rumah-rumah.

Jajanan Mira dibaginya pada Robi. Mereka dengan senyum khas anak-anak menikmati krupuk. Seperti tak lagi mengingat kalau mereka baru menangis. Ibu masuk ke rumah, ada cangkir di meja dekat pintu langsung dilemparkannya pada si ayah.
 “Jangan kau siksa anakku ya,” dengan emosi lalu pergi ke kamarnya. Cekcok digubuk itu sudahlah kejadian sehari-hari yang tak terelakkan.

Dua kakak beradik tadi yang duduk di depan hanya diam mendengarkan pertengkaran yang sudah biasa itu. Tentang ayah yang sudah menjatuhkan talak pada ibu sudah banyak yang tahu. Dua pasangan itupun telah bertemu Bapak Kepala Lorong, kalau mereka sudah mencapai talak ketiga. Dalam waktu 14 hari sebagaimana disampaikan Kepala Lorong salah satu dari mereka harus minggat dari gubuk itu.

Tak lama, Kepala Lorong -Keplor- ke rumah Mira dan bertemu ayahnya. “Assalamualaikum Pak Warno,” ucapan salam Pak Keplor pada Ayah Mira yang yang tengah duduk di lantai sambil merokok. “Iya pak, Masuk,” balas Warno.

“Gimana Pak Warno, ini sudah 14 hari. Takut warga bertindak sendiri. Secara agama kalian kan sudah tak lagi suami istri,” Pak Keplor menagih janji untuk mereka minggat.

“Ya pak kami belum putuskan siapa yang mingggat, aku atau dia –Istri- yang keluar dari rumah ini,”

“Kaulah yang keluar. Masa kau biarkan aku yang keluar, laki-laki apalah kau ini,” pertengkaran kembali terjadi, Ibu Mira menyahut percakapan Warno dan Pak Keplor. “Sudahlah jangan lagi kalian bertengkar. Kasihan anak-anak. Pun kalian terlalu gegebah untuk putuskan pisah,” kata Pak Keplor menasehati.

Tak lama, Bang Arqam tetangga sebelah Warno datang menghampiri Keplor di rumah Warno. Begitu juga dengan beberapa tetangga lainnya ikut nimbrung. Warno pun sudah ketakutan diamuk masa. “Kasihlah waktu seminggu lagi pak,” pinta Warno.

“Seminggu apa lagi, aku udah gak betah lihat wajah kau, biar aku sama Mira disini,” kata Ibu Mira. Mira dan Robi sudah bermain sendiri-sendiri di teras. Mira dengan bonekanya, Robi dengan mobil-mobilan. Percakapan ayah, ibu, Keplor dan warga hanyalah angin lalu bagi mereka yang tampak tak mengerti.

“Bukan kami mengusir,” Bang Arqam menyambung percakapan.

“Tapi memanglah tak elok bang. Tahunya abang depan gang kita ini pondok pesantren. Ketimbang para santri yang turun, mendinglah kita yang sudah kenal lama saling mengingatkan,” kata Bang Arqam.

“Ini bang ada sedikit uang dari kami kumpul-kumpul buat abang. Biar bisa cari rumah lain. Trus ini ada titipan dari Kyai Gusman buat Kak Nur –Mantan istri Warno-,” Bang Arqam menyerahkan pada Warno dan Ibu Mira –Kak Nur-.

“Makasih banyak, kalau gitu besok saya minggat, saya kembali ke kampung saja. Makasih banyak buat semuanya,” ucap Warno. Sontak Kak Nur pun tak mampu menahan tangisannya karena perpisahan itu.

“Malam ini Buk Nur nginap di rumah Buk Fatma dulu ya,” seru Keplor. “Iya pak,”. Memang bagi warga di gang itu sudah tak lazim Warno dan Nur masih tinggal serumah. Maka secepatnya Nur diasingkan.

Malam datang, Kak Nur dan Mira sudah di rumah Buk Fatma tidur di ruang tamu dengan tilam seadanya.

“Bu, kok kita nggak tidur dirumah,” tanya Mira.

“Yah, malam ini mau hujan, atap rumah bocor. Nanti kita kehujanan,” Kak Nur beralasan pada Mira.

“Oh ya, tadi Pak Keplor ngasih Mira duit. ini duitnya,” Mira sembari memberi duitnya pada Kak Nur.

“Pegang aja ya nak, besok belikkan Robi apa yang disukanya,” seru Kak Nur.

Matahari telah tergelincir, di rumah Mira tampak sudah ramai para lelaki paruh bayah, seperti ingin melepas kepergian Warno. Karena selama ini Warno cukup aktif dalam tiap pengajian-pengajian di kampung itu, sehingga banyak yang akrab dengannya. Mira dan Robi duduk di beca.

“Obi mau apa. Kakak ada duit ni,” tanya Mira pada Robi.

“hah?” Robi menanya kembali. “Robi sukaknya makanan apa?” tanya Mira perlahan.

“Upis,” kata Robi ke Mira.

Mira pun mengerti, tentang Lupis yang merupakan makanan kesukaan Robi. Warung Lontong Desi menjadi tujuan Mira untuk beli lupis yang ada di depan gang. Seperti biasa, warung lontong Desi ramai pembeli. Apalagi hanya anak kecil seperti Mira. Pesanan lupisnya pasti lama. “Beli apa Mira,” kata Desi. “Lupis buk,” kata Mira langsung juga memberi uang pada Desi.

“Mana ibu?” tanya Desi. “Di rumah buk,” kata Mira.

“Ayah sama Robi jadi berangkat?” tanya Desi. Pertanyaan Desi yang terakhir membuat Mira bingung dan hanya menjawab “gak tahu,”.

Mira kembali ke rumah dan menenteng sebungkus lupis untuk Robi. “Obi ini lupisnya, yok makan,” teriak Mira. Hanya didapatinya ibunya yang sedang menangis di kasur. “Ibu napa?” tanya Mira. Kak Nur pun langsung memeluk Mira. “Obi mana bu?” tanya Mira penasaran membuat Kak Nur semakin merintih. “Ayah mana bu?” tanya Mira lagi.

“Kita dah pisah sama ayah sama Obi nak, kita gak tinggal sama lagi. Mira sama ibu, Robi sama ayah. Mira yang sabar ya nak,” ungkap Kak Nur. “Jadi gak bisa jumpa lagi bu,”.

“Jauh, kita sulit jumpa Robi lagi,” kata Kak Nur yang membuat Mira menangis dan mengempaskan lupis yang semula untuk Robi.  Kini lupis untuk Robi berserakkan dilantai disertai tangisan ibu dan anak.

 

Cerita Fiktif

 

Penulis. PNS Kejaksaan RI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun