Mohon tunggu...
Fiqih Purnama
Fiqih Purnama Mohon Tunggu... PNS -

Penulis Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Larangan Pembangunan Masjid di Aceh

18 Juni 2016   13:03 Diperbarui: 18 Juni 2016   13:58 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEBERADAAN Masjid adalah tempat persatuan ummat Islam di Aceh,  hingga rumah ibadah yang satu ini sangat sakral dan menjadi darah daging orang Aceh untuk melindungi keutuhan masjid. Tak peduli laki-laki, perempuan, Lansia maupun anak-anak pasti siap bertumpah darah dalam melindungi sebuah Masjid. Terlebih masjid tersebut menjadi tempat ibadahnya Ulama besar. Masjid di Aceh menjadi pusat berkumpulnya warga gampong dalam peringatan acara-acara besar ummat Islam.

Agenda-agenda menyemarakkan masjid juga kerap dilakukan bagi masyarakat Aceh setiap saat. Masak-memasak bersama juga sering dilakukan di halaman masjid-masjid gampong. Maka tidak ada alasan penolakan bagi Ureung Aceh untuk terbangunnya sebuah masjid di gampong-gampong. Dukungan pembangunan pasti akan dilakukan secara maksimal dengan harapan syiar Islam aktif terwujud di gampong.

Namun, pelarangan pembangunan Masjid ternyata muncul di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen oleh Kementerian Agama Kemenag Kabupaten Bireuen dengan alasan penolakan warga Kecamatan Juli. Beberapa hari lalu saat akan dilakukannya peletakkan batu pertama warga yang mengaku dari Keude Dua Juli juga melakukan penolakan kagar acara peletakkan batu pertama tidak dilanjutkan Sumber : Media Online AJNN

Masjid Kelompok?

Adapun penolakan tersebut berdasar dari hasil Musyawarah Kecamatan Juli berupa isi surat yakni pertama karena pembangunan yang akan dilakukan di Gampong Juli Keude Dua Kemukiman Juli Utara Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen lantaran Masjid At Taqwa Muhammadiyah adalah masjid kelompok. Sehingga penulis berkesempulan sentimen pada Muhammadiyah menjadi alasan dalam pelarangan tersebut oleh sebagian kecil orang.

Adakah masjid kelompok? Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya disamping menyembah Allah Quran Surat AL Jinn : 18. Nah maka berdasar firman Allah tersebut tak pernah ada namanya Masjid Kelompok , Semua masjid adalah milik ummat Islam yang dibebaskan untuk beribadah di dalamnya. Begitu juga penjelasan pada Quran Surat Al a’RAF : 31: Hai Anak Adam pakailah pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid,”. Artinya kata “Anak Adam” ditujukan untuk seluruh ummat Muslim.

Sehingga kata “kelompok” merupakan kata yang hanya dapat ditujukan pada Persyarikatan Muhammadiyah dalam hal tersebut bukanlah Masjid Muhammadiyah. Menilik pada Masjid-Masjid Muhammadiyah secara nasional dimanapun masjid itu tidak pernah ada larangan bagi ummat Muslim yang ingin melaksanakan ibadah. Baik itu katanya dari Ahlussunnah Wal Jama’ah ataupun aliran Islam apapun itu, terbuka lebar untuk melaksanakan ibadah di Masjid Muhammadiyah. Tak terkecuali bagaimanapun tata cara ibadah yang banyak berbeda dalam hal khilafiyah.

Begitu juga Masjid yang akan dibangun ini merupakan milik ummat Muslim. Sangat terbuka lebar bagi siapapun muslim yang ingin beribadah, terlebih munculnya masjid juga untuk mendukung syiar Islam.  Malah penyebutan kata “kelompok” akan semakin menimbulkan efek yang semakin meluas. Karena masjid Muhammadiyah bukan hanya ada di satu kabupaten, tapi hampir ada di tiap kabupaten. Sangat berbahaya jika penyebutan kelompok tersebut dijadikan referensi bagi masyarakat yang memunculkan sinisme terhadap Masjid Muhammadiyah lainnya.

Bahkan penyebutan tersebut seolah-olah tidak mengerti apa arti masjid dan tujuan masjid. Kalaulah hanya untuk kelompok, Pimpinan Daerah Muhammadiyah setempat lebih memilih membuat kantor ketimbang merancang sebuah masjid. Namun lantaran memikirkan syiar Islam yang lebih besar lagi, maka masjidlah menjadi pilihan, karena Muhammadiyah tahu masjid adalah suatu hal yang sakral bagi masyarakat Aceh terlebih letak pembangunan Masjid di Juli berada di posisi yang strategis.  

Bukan Masjid Ahlussunnah wal Jamaah

Kemudian Yang Kedua larangan hasil musyawarah warga Kecamatan Juli karena dianggap bukanlah masjid Ahlussunnah wal Jamaah. Sebelumnya mari kita mengupas arti Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yakni Mereka yang “menempuh” apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Salallahu alaihi wassalam. Sehingga mari kita tafsirkan arti tersebut secara bahasa.

Satu, kalimat “menempuh” pada arti tersebut merupakan kata kerja. Sehingga Ahlussunnah wal jamaa’ah merupakan tujuan dalam mengikuti sunnah rasul. Artinya bukanlah kemutlakan adanya orang-orang Ahlussunnah wal Jamaah saat ini, melainkan usaha agar setiap orang ataupun jama’ah dapat menjadi Ahlusunnah wal jama’ah, sehingga sifatnya adalah “usaha”. Semua persoalan khilafiyah dari berbagai kelompok ataupun paham adalah bagian menuju Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Maka dari arti tersebut Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah sebuah pengakuan. Tidak ada persoalan ibadah seperti “Qunut saat shalat subuh”, “Memakai tongkat saat khutbah Jumat”,  menjadi indikator itu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun yang benar adalah “Bisa jadi” jemaah yang qunut shalat shalat subuh, memakai tongkat di mimbar Jumat ataupun sebaliknya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.

“Bisa jadi” itulah yang dapat disimpulkan dalam tata cara ibadah, karena yang menilai benar tidaknya tata cara ibadah seperti Rasulullah hanya Allah yang tahu. Ini dikarenakan nash-nash dalam Al Qur’an perlu ditafsirkan lewat hadis, sedangkan hadis juga dibahas dengan ijma’ ulama yang setiap para ulama dapat menggunakan ijtihannya masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat hadis tersebut. Maka kajian ushul fiqh yang dikedepankan dalam persoalan khilafiyah.

Dua, Kalimat yang ditempuh Rasulullah Salallhu Alaihi wassalam. Hal ini sebagaimana hadits riwayat Abu Daud. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah Saw : Orang yahudi dan Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan ummatku ada 73. Maka antara 73 golongan itu ada 1 yang masuk surga tanpa dihisab yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Penulis beranggapan tidak ada yang dapat memastikan dengan pengakuan kita akan masuk surga.

Begitu juga dengan pengakuan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah artinya kita juga memiliki pengakuan bahwa kita akan masuk surga. Hadits tersebut menyiratkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaa’ah memang bukanlah sebuah pengakukan sebagaimana dikuatkan Hadits Mutafaq Alaih “Segolongan ummatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka akan tetap pada kebenaran itu” HR Bukhari Muslim

Maka dalam surat hasil musyawarah warga Juli tidaklah dapat mengatakan secara mutlak bahwa Masjid At Taqwa Muhammadiyah bukanlah masjid Ahlussunnah wal Jama’ah. Malahan pembangunan masjid itu adalah usaha dalam menjadikan ummat Muslim sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, bukan dari pengakuan. Karena shalat berjama’ah di masjid merupakan keutamaan yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah Saw sebagaimana prinsip dalam usaha menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah.

Perpecahan dan pertumpahan darah

Kemudian hasil musyawarah itu juga menyebutkan “Apabila pihak panitia pembangunan masjid tetap melaksanakan pembangunannya maka dikuatirkan akan terjadi perpecahan dan pertumpahan darah di kalangan masyarakat terutama di Gampong Juli Keude Dua”. Kata perpecahan dan pertumpahan darah sangat tidak elok dilihat apalagi dialamatkan kepada masyarakat Aceh yang sangat menjunjung tinggi kedamaian.

Tidaklah mungkin masyarakat Aceh akan menumpahkan saudara sendiri, saudara sesama Muslim. Kata-kata tersebut hanyalah menyudutkan kita sebagai orang Aceh, sehingga kata-kata itulah yang sebenarnya menjadi pemicu masalah yang sangat terkesan dipaksakan. Percayalah penulis berani menjamin, masyarakat Aceh tidak akan bertumpah darah karena pembangunan masjid. Masjid ada di tiap orang Aceh, sehingga tidak perlu dengan alasan mengada-ada terjadi larangan pembangunan Masjid.

Syarat pembangunan masjid

Dalam proses pembangunan tersebut Masjid At Taqwa Muhammadiyah Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen telah mengumpulkan sebanyak 150 tanda tangan dengan KTP warga Juli Keude Dua dimana persyaratan hanyalah 60 orang warga gampong dan 90 orang Jamaah. Adapun persyaratan untuk membangun Masjid berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri  Nomor 9 Tahun 2006,

Pasal 14 ayat 2 yaitu daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3),  dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa,  rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Kendala hanya pada Rekomendasi Kepala Kementerian Agama setempat. Dalam hal kebijakan publik sebagai lembaga negara kewajiban dari kementerian yang utama adalah mewujudkan aspirasi masyarakat. 150 orang dukungan KTP yang dilampirkan sebagai syarat pembangunan Masjid oleh pihak panitia merupakan aspirasi yang harusnya dijalankan. Maka tidak ada alasan Kementerian Agama setempat menahan rekomendasi tersebut.

Pihak Kementerian Agama atau Departemen Agama seharusnya dapat melakukan pendekatan persuasif   bagi segelintir orang yang menolak pembangunan Masjid. Berikan kesadaran bahwa masjid itu merupakan masjid bersama ummat Islam, bukan masjid kelompok. Berikan penjelasan persoalan khilafiyah bukanlah menjadi perbedaan bagi sesama Islam. Begitu juga dengan pihak Kecamatan Juli dan para alim ulama serta tokoh masyarakat disana.

Kita mempunyai landasan hukum, kita memiliki aturan yang berlaku. Jangan manjakan segelintir orang yang tidak sepakat untuk mengacuhkan hukum kita yang berlaku, terlebih Departemen Agama adalaah instansi vertikal yang harusnya dapat memegang dan menjaga aturan-aturan yang berlaku. Karena rekomendasi telah dapat dikeluarkan jika syarat dukungan masyarakat tersebut sudah terlengkapi.

Kesimpulan

Hingga kita dapat meyakini, pembangunan masjid adalah untuk kemaslahatan ummat. Larangan pembangunan masjid harus digugat, karena tidak sesuai dengan kehidupan Islami masyarakat Aceh yang sangat mendambakan sebuah masjid. Masjid kelompok, Bukan Ahlussunnah bukanlanh menjadi alasan dalam melarang pendirian sebuah masjid, karena syiar Islam yang utama ada di Masjid.Upaya dalam pembangunan masjid adalah prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan “Fastabiqul Khairat” , hal itu merupakan carmin dari ummat Islam berusaha menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenar-benarnya, bukan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berasal dari pengakuan semata.  Sebagaimana firman Allah Swt Qs. Ali Imran: 104, Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Sebagaimana bantahan penulis tentang anggapan Masjid Kelompok, Bukan Masjid Ahlussunnah wal Jamaah, dan tentang Perpecahan dan Pertumpahan darah semoga menjadi masukan bagi pihak yang melarang pembangunan masjid tersebut. Karena masjid At Taqwa yang akan dibangun di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tersebut adalah masjid milik masyarakat Muslim sedunia serta instrumen dalam peningkatan kualitas Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah. Billahi fii Sabililhaq Fastabiqul KhairatWassalam

 

Penulis merupakan Aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh dan alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun