Satu, kalimat “menempuh” pada arti tersebut merupakan kata kerja. Sehingga Ahlussunnah wal jamaa’ah merupakan tujuan dalam mengikuti sunnah rasul. Artinya bukanlah kemutlakan adanya orang-orang Ahlussunnah wal Jamaah saat ini, melainkan usaha agar setiap orang ataupun jama’ah dapat menjadi Ahlusunnah wal jama’ah, sehingga sifatnya adalah “usaha”. Semua persoalan khilafiyah dari berbagai kelompok ataupun paham adalah bagian menuju Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Maka dari arti tersebut Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah sebuah pengakuan. Tidak ada persoalan ibadah seperti “Qunut saat shalat subuh”, “Memakai tongkat saat khutbah Jumat”, menjadi indikator itu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun yang benar adalah “Bisa jadi” jemaah yang qunut shalat shalat subuh, memakai tongkat di mimbar Jumat ataupun sebaliknya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.
“Bisa jadi” itulah yang dapat disimpulkan dalam tata cara ibadah, karena yang menilai benar tidaknya tata cara ibadah seperti Rasulullah hanya Allah yang tahu. Ini dikarenakan nash-nash dalam Al Qur’an perlu ditafsirkan lewat hadis, sedangkan hadis juga dibahas dengan ijma’ ulama yang setiap para ulama dapat menggunakan ijtihannya masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat hadis tersebut. Maka kajian ushul fiqh yang dikedepankan dalam persoalan khilafiyah.
Dua, Kalimat yang ditempuh Rasulullah Salallhu Alaihi wassalam. Hal ini sebagaimana hadits riwayat Abu Daud. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah Saw : Orang yahudi dan Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan ummatku ada 73. Maka antara 73 golongan itu ada 1 yang masuk surga tanpa dihisab yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Penulis beranggapan tidak ada yang dapat memastikan dengan pengakuan kita akan masuk surga.
Begitu juga dengan pengakuan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah artinya kita juga memiliki pengakuan bahwa kita akan masuk surga. Hadits tersebut menyiratkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaa’ah memang bukanlah sebuah pengakukan sebagaimana dikuatkan Hadits Mutafaq Alaih “Segolongan ummatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka akan tetap pada kebenaran itu” HR Bukhari Muslim
Maka dalam surat hasil musyawarah warga Juli tidaklah dapat mengatakan secara mutlak bahwa Masjid At Taqwa Muhammadiyah bukanlah masjid Ahlussunnah wal Jama’ah. Malahan pembangunan masjid itu adalah usaha dalam menjadikan ummat Muslim sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, bukan dari pengakuan. Karena shalat berjama’ah di masjid merupakan keutamaan yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah Saw sebagaimana prinsip dalam usaha menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah.
Perpecahan dan pertumpahan darah
Kemudian hasil musyawarah itu juga menyebutkan “Apabila pihak panitia pembangunan masjid tetap melaksanakan pembangunannya maka dikuatirkan akan terjadi perpecahan dan pertumpahan darah di kalangan masyarakat terutama di Gampong Juli Keude Dua”. Kata perpecahan dan pertumpahan darah sangat tidak elok dilihat apalagi dialamatkan kepada masyarakat Aceh yang sangat menjunjung tinggi kedamaian.
Tidaklah mungkin masyarakat Aceh akan menumpahkan saudara sendiri, saudara sesama Muslim. Kata-kata tersebut hanyalah menyudutkan kita sebagai orang Aceh, sehingga kata-kata itulah yang sebenarnya menjadi pemicu masalah yang sangat terkesan dipaksakan. Percayalah penulis berani menjamin, masyarakat Aceh tidak akan bertumpah darah karena pembangunan masjid. Masjid ada di tiap orang Aceh, sehingga tidak perlu dengan alasan mengada-ada terjadi larangan pembangunan Masjid.
Syarat pembangunan masjid
Dalam proses pembangunan tersebut Masjid At Taqwa Muhammadiyah Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen telah mengumpulkan sebanyak 150 tanda tangan dengan KTP warga Juli Keude Dua dimana persyaratan hanyalah 60 orang warga gampong dan 90 orang Jamaah. Adapun persyaratan untuk membangun Masjid berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006,