Mohon tunggu...
Fingga Martin
Fingga Martin Mohon Tunggu... Penulis - Penyair Jalan

CP: fingga.martin86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku Bingung

18 Juni 2019   05:29 Diperbarui: 19 Juni 2019   01:39 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepagi ini,

aku merebah di atas bangsal hitam.

Tanpa persegi yang mengkotak-kotakan imajinasi.

Lalu terikat ingatan yang merajam,

Pada setiap sistem tak terstruktur,

membentur,

berhambur,

terkubur.

Pagi ini sekilat petir memotret estafet perjuangan dalam diam.

Tanpa bahasa kasih belantara asmara yang hanya mampu membisu.

Setiap sore yang dikungkung cinderamata,

Sebagai kado yang dituju untuk sebatang lisong om Rendra.

Selain kopi dan senja,

Selain hujan bulan Juni,

Selain hijrah menuju kiblat liberal,

Bukan dari kisah ayat-ayat cinta.

Dua tiga kalinya menghisap,

Tanpa harus menengok dari atas pembangunan,

yang kian hari semakin sumpek,

Setiap cukong lebih menikmati boker di atas mulut tak berdosa.

Sedang kelelawar masih mencari makan di pojokan warung tempat ia singgah,

Harga masyarakat yang tak setara dengan buai saku celana.

Ketika lantang bersajak ditukas kriminal,

Apa aku mesti mengemis untuk sekadar pulang menuju rumah yang entah?

Kemudian memboyong uang receh untuk berbenah.

Ketika jemariku berhenti mengikis surat untuk yang dituju,

lalu ke mana harus kuterbangkan puisi itu?

Sementara rumah pun aku tak tahu.

Kendati banyak jalan yang mesti kutapaki, 

Namun aku tak pernah lolos.

Ataukah mimpiku terlalu kecil bagi Tuhan yang kuanggap romantis?

Sedang ambisi senantiasa kukemas rapi di antara cinta dalam kubus.

Sebelum lampion-lampion itu redup membakar gardu pertokoan,

Dan si jago merah membara di sekeliling etalase mata pencaharian,

Apa lagi yang mesti kupertaruhkan dalam pencarian?

Tuhan?

Nabi?

Rasul?

Kitab?

Atau mungkin seorang Rahib yang menipu,

sebagai pelampiasan gejolak nafsu yang sukar diredam.

Namun aku sedang bicara pada isi batok kepala yang mulai bingung mencari sesuatu yang tak semestinya dicari.

bimbang yang tak seperlunya digelisahkan.

Atau bingung itu hendak kalah sendirinya,

Bersama kebenaran yang tak pernah dianggap benar.

Juga dari setiap sabda Zarathustra yang dianulir Kalam pinggiran,

Muncul dari tenggorokan orang sinting di tengah kerumunan.

Sedang kini arwah Khalil Gibran,

Menyergapku di antara siasat malam.

Berjanji mengabadikan cinta tanpa rumah.

Di kesunyian pagi,

Di keheningan mentari,

Aku bingung cara berlari,

Aku bingung cara berhenti.

***

Pondok Gede, 17 Juni 2019. 21:46

(Aku Bingung)

Fingga Almatin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun