Saya rasa, tidak seorang pun masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sosok Kartini. Sosok perempuan yang inspiratif dan menjadi bagian besar dalam sejarah emansipasi perempuan.
Bisa dibilang, lakon perempuan saat ini yang bebas dan lebih luwes adalah berkat Kartini.
Film "Kartini" yang rilis pada tahun 2017, menumbuhan kembali minat masyarakat Indonesia untuk mengenang dan berterima kasih pada Kartini. Pun dapat juga dalam rangka ingin mengetahui sosok Kartini lebih dalam lagi melalui tampilan visual modern.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini berhasil masuk ke dalam seleksi festival bergengsi se-Asia Tengah, yaitu "Eurasia International Film Festival 2017" dan menjadi faktor kesuksesan dalam produksi film (Asih, 2017)
Mengapa ada subbab "komodifikasi konten" dalam tulisan ini?
Inilah yang akan saya bahas kepadamu kali ini dan akan menjadi awal untuk sub berikutnyaÂ
Keberhasilan suatu film atau tingginya minat dalam menonton, terkadang tanpa kita sadari adalah hal yang diharapkan oleh setiap rumah produksi film atau si pemroduksi film tersebut.
Ya kali tidak ingin sukses, kan?
Namun demikian, apakah kamu juga mengetahui bahwa ada nilai yang ditukar dalam keberhasilan suatu film?
Jangankan sebelum film itu sukses. Semenjak dibuatnya film tersebut, pasti ada suatu nilai yang ditukar.
"Menukar" ini adalah kata lain dari "komodifikasi". Menurut Vincent Mosco (2009), Komodifikasi merupakan nilai guna yang ditukar untuk dijadikan komoditas.
Nilai guna tidak melulu mengulik tentang suatu manfaat dari suatu objek atau subjek tertentu, namun lebih ke 'apa yang bisa didapat dari objek dan subjek'.
Secara sederhana, apapun yang bisa dijadikan komoditas, itu adalah nilai guna.
Pada subbab ini, "konten" sendiri merupakan isi atau apa yang tersedia. Sehingga komodifikasi konten merupakan suatu hasil menukar nilai guna. menjadi nilai jual tertentu.
Kita kembali pada bahasan film "Kartini". Nilai guna yang ada dalam film adalah cerita Kartini.
Hampir seluruh orang tahu siapa itu Kartini dan cerita Kartini. Tak jarang pula, Kartini dijadikan role model wanita Indonesia. Ini tandanya, dalam kehidupan kita, Kartini merupakan sosok yang tak terlupakan, bahkan jadi ideal tertentu.
Di mana terjadinya nilai tukar?
Nilai tukar di sini secara jelas terjadi saat kita mau menonton film "Kartini". Kita tertatik pada cerita Kartini, kita mau menonton, dan kita dapat ceritanya kembali. Begitulah kira-kira jalannya proses komodifikasi konten yang dapat kita pahami secara sederhana.
Pada poin ini menjelaskan bahwa cerita Kartini adalah nilai guna bagi rata-rata orang, dan dari nilai guna ini film "Kartini" yang dibuat dan dikonsumsi oleh masyarakat merupakan wujud nilai tukar.Â
Nilai tukar juga semakin tinggi saat film ini mengalami kesuksesan.Â
Bila komodifikasi konten adalah menjadikan koten/cerita/pesan sebagai komoditas, maka pada komodifikasi jenis ini, audiens dijadikan sebagai suatu komoditas.
Pada proses ini, kita dengan mudah dapat memahami bahwa pasar atau sasaran audiens merupakan inti dari komodifikasi audiens.Â
Pada film "Kartini", masyarakat yang lebih terkoneksi pada film adalah potensi komoditas yang besar.
Perempuan lebih terkoneksi pada film ini karena di dalam film menceritakan sosok Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan.Â
Dengan kata lain, perempuan menjadi komoditas tertinggi pada film ini.
Melalui paparan sebelumnya, seharusnya Anda sudah tahu apa yang dijadikan komoditas pada komodifikasi jenis pekerja ini.
Ya! Komoditasnya adalah pekerja.
Saya akan mengambil salah satu pekerja yang sekaligus menjadi center dalam film ini, yaitu sosok pemeran utama wanita, Dian Sastro.
Ada alasan lain juga loh untuk dapat menonton film ini. Barangkali beberapa di antara kita ada yang mau menonton film "Kartini" oleh sebab filmnya dibintangi oleh Dian Sastro.
Dian Sastro cukup dikenal sebagai aktris multitalenta. Banyak pula yang gemar menanti aktris satu ini untuk tampil di perfilman. Bahkan melalui prestasi-prestasinya, Dian Sastro bisa juga kita sebut sebagai tokoh emansipasi wanita (Djendri, 2020)
Bila dari awal saja sudah memberi atensi pada pekerja untuk menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam film, maka dapat dengan jelas pula kita melihat, bahwa film "Kartini" mengkomodifikasi pekerja melalui seleksi para pemeran dalam film.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H