Gadis itu mengangguk, "Pernakah kamu jatuh cinta?"
Aku menatap mata itu tajam, sebuah pertanyaan yang klise namun layak untuk dijawab olehku, "Pernah. Kepada seorang gadis, memangnya kenapa?"
gadis itu terlihat seperti berpikir, "Jadi kamu percaya bahwa cinta kepada seseorang itu ada?" topiknya semakin menjauh, dari pembahasan filosofis menjadi suatu bahasan yang hanya dapat dijawab melalui hati.
"Jika memang mencintai seorang gadis itu merupakan bentuk kepercayaan yang riil. Aku akui hal itu."
Gadis itu tersenyum, "Aku selalu tahu kamu masih mempunyai hati. Dari setiap kata yang kamu lontarkan, tidak ada satu kata pun yang aku mengerti. Yang aku tahu pasti, bahwa kamu masih punya hati dan kamu gunakan hati itu untuk mencintai seseorang yang pernah ada. Tatapan itu, kamu pernah hancur karena percaya. Percaya kepada orang-orang yang begitu kamu kasihi, jauh lebih banyak daripada dirimu sendiri. Kamu pernah percaya bahwa kebahagiaan orang lain akan membantu menarik senyum di bibir itu. Matamu itu, kamu pasti selalu menangis tiap malam di kasurmu. Tak ada orang yang melihat, dan kamu selalu menutupi hal itu dengan sempurna. Kamu lahir untuk percaya. Kamu bukanlah pemeran utama, kamu selalu menyingkir untuk tak terlihat. Kamu masuk ke dalam abu-abu yang menutupi dirimu, kamu percaya akan seseorang di lain waktu akan membantu abu-abu itu menjadi putih. Kamu itu sudah benar-benar terlahir untuk percaya, dan aku percaya bahwa kepercayaanmu itu akan mengembalikan rasa dan asa hidupmu nanti. Ini sudah mau 30 menit, kelas akan masuk sebentar lagi."
Kulihat jam ditanganku, menunjukan 30 menit sudah berlalu.
"Narista, kapan kamu akan mampir lagi?"
Gadis itu tersenyum, "30 menit di setiap harimu, aku pasti akan kembali."
Bayangan itu menghilang, meninggalkan Aku seorang diri diantara hiruk pikuk kelas tak beraturan ini. Aku pernah percaya, bahwa Narista diciptakan untuk menemani hidupku. 6 tahun lamanya Aku bersama Dia, berbagi tawa dan tangis, suka dan duka, atau berbagi rasa yang sama. Namun, Tuhan lebih membutuhkan Dia di surga sana, Aku hanya bisa merelakan kepergian Dia.
1800 detik di setiap harinya, membayangkan sesosok gadis itu selalu berdiri tepat dibelakangku, menggunakan jepit rambut merah muda dan senyum diwajahnya. Gadis itu selalu siap untuk mendengarkan pemikiran gilaku, atau mungkin menyemangatiku yang sudah tidak percaya akan indahnya dunia ini. Bayangan gadis itu disetiap detiknya mampu menghipnotis pemikiranku. Narista mampu membawaku ke alam yang berbeda, jauh dari dunia fana menuju dunia fantasi yang mendobrak setiap teori atau akal manusia itu sendiri.
1 detik, 2 detik, 3 detik, 1799 detik, atau 1800 detik. Semua detik itu Aku maksimalkan hanya untuk berbagi cerita dengan dirinya yang sudah tiada. Kadang kenyataan ini terlalu menyakitkan, Aku harus berusaha percaya bahwa Narista sudah tiada. Namun, Aku juga senang untuk bercerita dengannya melalui dunia imajinasi dimana Surga dan Bumi dipersatukan. Dia kadang bercerita kepadaku mengenai betapa indahnya Surga, Aku juga kadang menceritakan berbagai pengalamanku di bumi.