Mohon tunggu...
Filivi Delareo Wanwol
Filivi Delareo Wanwol Mohon Tunggu... -

Stock Observer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | 1.800 Detik

26 September 2017   13:46 Diperbarui: 26 September 2017   16:33 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (@kulturtava)

"Pernahkah terbayang bahwa apapun yang dilihat manusia di dunia ini hanya bentuk dari imajinasi yang diolah secara sistematis dan terstruktur, namun tidak meninggalkan kreativitas dalam penggambarannya? Atau pernahkah terbayang bahwa cinta itu hanya bentuk emosi yang tak terlihat, sebagai kontrol perasaan atas segala macam emosi yang terbentuk dari alam bawah sadar manusia? Bagaimana semua cara berpikir dan rasa ini terbentuk? Apakah kita perlu percaya akan suatu karakter yang tidak pernah hadir di dunia namun Dia yang mengatur segalanya? " Ucapku. Semua anak dikelas hanya menatapku bisu, sesekali mereka menggaruk-garuk kepala dan menguap.

"Apakah ini sudah waktunya untuk istirahat?" Tanya seseorang dari arah belakang. Guru yang mendengarkan ocehanku mengangguk tanda bahwa jam istirahat telah tiba. Seluruh siswa di kelasku keluar dan melupakan segala macam asumsi dan fakta yang Aku pertanyakan.

"Mereka terlalu bodoh untuk memahami pemikiran semacam itu," ketusku dalam hati, "Lihat saja tingkah laku mereka, seperti anak TK yang baru saja melewati masa orientasi. Tidak ada satupun dari mereka yang paham dan menaruh sebuah keinginan untuk memahami perkataan yang aku lafalkan."

Terjebak di sekolah ini merupakan satu dari antara ribuan penyesalan dalam hidupku. Ya, inilah diriku, seorang remaja berumur 17 tahun yang mengemban pendidikan di salah satu sekolah swasta di daerah Jakarta Selatan. Kecintaanku akan dunia filsafat sampai seni dalam berpikir merubah sudut pandangku mengenai lingkungan yang Aku hadapi serta kepercayaan akan suatu eksistensi yang tidak pernah nampak namun dipercayai ada.

Segala jenis macam perkataan yang kudengar dari orang yang lebih tua, kadang membuatku muak karena tidak satupun dari mereka yang lebih pintar daripada Aku. Sehingga Aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu membaca buku dibanding bertegur sapa dengan teman sejawat. Berbagai macam buku sudah Aku baca, bahkan buku yang terlalu berat untuk remaja seusiaku saja habis kubabat. Tapi tak tahu mengapa, lambat laun Aku lebih senang menyendiri dibanding bersosialiasi, mungkin atas dasar Aku tak suka bersosialisasi, atau mungkin juga karena mereka terlalu bodoh jika ingin berbicara dengan diriku.

"Tadi merupakan perkataan yang sungguh menakjubkan." Aku menengok kebelakang, melihat seorang gadis dengan jepitan rambut merah muda menghiasi rambutnya yang dikuncir kuda, bola mata hitam, alis mata yang tidak terlalu tebal, serta bibir yang tipis, sedang berbicara kepada diriku.

"Apa maksudmu?" tanyaku, "Perkataanmu, aku sangat suka perkataanmu barusan. Kamu menjelaskan sesuatu hal yang diluar dugaan anak-anak seusiamu. Aku suka mendengarnya." Ucap gadis itu.

Aku terperangah, belum pernah kudapati seorang manusia yang menghargai apa yang Aku bicarakan. Kutatap dia perlahan, Aku yakin dia sangat cerdas karena dia paham dan tertarik dengan celotehanku. "Jika memang engkau menyukainya, jelaskan makna perkataanku."

Gadis itu tidak menjawab, dia hanya tertawa lebar dan menggaruk-garuk kepalanya, "Aku tidak paham sedikitpun. Aku hanya suka melihat seseorang berbicara dengan bahasa redaksi sepertimu." Gadis itu sekali lagi tertawa, nampak dua lesung pipi yang tertempel di wajahnya. Aku kehilangan semangat, Aku memutuskan untuk tidak berbicara dengan dirinya sebab Aku tahu pasti, dia bodoh.

"Narista." Gadis itu menyebutkan kata yang benar-benar asing bagiku, "Narista? Aku tak pernah mendengar kata itu dalam kamus manapun." Aku tidak terlalu mempedulikan omongannya, Aku hanya menjawab sesuai apa yang ingin Aku katakan. "Narista itu namaku, bukan sebuah kata yang merepresentasikan sebuah makna. Itu hanya nama, kedua orang tuaku yang buat." Dia menjawab.

Narista? Nama yang aneh untuk seorang gadis yang hidup menetap di Jakarta. Tidak adakah nama lain yang lebih bermakna? Di era yang sudah maju seperti ini, kopi saja bahkan mempunyai filosofi yang lebih dalam dibanding patung atau gambaran pada masa kerajaan dulu. Bahkan senja, hujan, dan daun memiliki makna dan filosofi yang terlalu rumit. Tapi mengapa masih ada anak yang diberi nama tanpa makna seperti ini?

"Nama yang aneh." Ketusku, "Itu pemberian kedua orangtuaku. Mereka mengatakan bahwa nama itu gabungan dari nama mereka berdua." Jelasnya, "Oh. Aku juga tidak terlalu peduli denganmu." Sekali lagi Aku menjawab dengan ketus.

Aku menatap wajahnya, mulai memindai perlahan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak terlihat suatu kecacatan fisik. Kembali Aku memindai lebih dalam, mulai dari cara bicara, menatap, memainkan kaki, tersenyum, garis kasar ditangannya, atau bahkan kedipan matanya. Dia terlihat bersahabat, kepalan tangan yang dia tunjukan menyerupai diriku, dia seperti copycat, setiap pergerakanku dia ikuti.

"Mengapa engkau mengikuti setiap gerakanku, walaupun itu sekecil mengenggam tangan?" tanyaku.

"Memang kenapa?" dia kembali bertanya padaku.

"Sikap copycat. Sikap itu hanya ditunjukan pada seseorang yang menarik perhatian lawan jenisnya. Copycatsendiri bertujuan untuk mengikuti segala jenis pergerakan lawan bicara, dengan maksud untuk memberikan kenyamanan pada lawan bicara karena merasa memiliki kesamaan gerakan. Secara realita itu hal yang cukup aneh, namun secara psikis seseorang, hal itu sangat membantu mendekatkan lawan bicara dengan orang yang melakukan copycat."

Gadis itu bertepuk tangan, "SERATUS!! Aku memang ingin berkenalan denganmu, namun kamu nampak dingin. Aku sampai bin.." belum sempat habis bicara, Aku sudah memotong.

"Kamu sampai bingung membawa topik seperti apa kan? Hal yang cukup lumrah, gerakan kakimu tidak menentu seperti itu, matamu tetap melihatku tapi ada kehilangan fokus setiap aku menjawab pertanyaanmu, itu merupakan indikasi bahwa dirimu memikirkan pertanyaan baru yang ingin kamu tanyakan padaku setelah aku menjawab, kamu tidak terlalu fokus dengan apa yang dilontarkan bibir ini, namun kamu hanya terfokus pada jalannya pembicaraan agar tidak terputus. Sudahlah, jangan ganggu aku." Aku menjawab dengan intonasi yang cukup tinggi.

"Kamu percaya akan sesuatu yang tak terlihat?" gadis itu kembali membuka topik.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Apakah kamu percaya sesuatu yang tak kasat mata? Atau lebih jelasnya lagi, apakah kamu percaya akan Tuhan?"

Aku menarik napas panjang, menatap matanya sesekali dan berkata, " untuk apa aku mencapai tahap itu? Mempercayai suatu entitas tak terlihat sama saja seperti bertaruh bahwa naga berkepala merah pernah berkunjung ke rumahku.  Tuhan sendiri juga bagian dari transendensi, cara berpikir mengenai Tuhan saja melampaui batas pemikiran dan indera kita yang merasakan. Aku terlahir sebagai anak yang beragama, namun Aku lebih memilih untuk hidup sebagai Agnostik yang memaknai kehidupan melalui caraku sendiri." Tegasku,

"Tidak bermaknakah Tuhan?" tanyanya,

"Bermaknakah dia bagiku?" kutanya balik,

dia hanya tersenyum dan tertawa. "Semua orang pasti akan mati, bukankah kau ingin masuk surga?" gadis itu melemparkan pertanyaan yang tidak ingin aku jawab. Aku hanya terfokus pada buku yang sedari tadi aku baca, lalu dia kembali melontarkan itu, "Kamu mau masuk surga?"

Aku mulai menutup bukuku, berbalik dan mengarahkan kursiku menghadapnya. "Kamu mau tau apa tentang diriku? Aku akan menjawab, tapi janji setelah aku memberitahu semua itu, kamu jangan sedikitpun mengangguku."

Dia tersenyum dan bertepuk tangan, "Apakah kamu mau masuk surga?" dia mengulangi pertanyaan itu,

"Mengapa seorang Agnostik sepertiku percaya akan kehidupan fana di kosmos yang berbeda kelak? Bahkan dunia ini saja bisa disebut sebagai neraka, atau juga dunia ini bisa disebut sebagai surga. Lantas argumen dan asumsi manakah yang benar? Kita pasti akan mati, entah itu besok, kelak, atau hari ini. Jika hasil akhir dari hidup sendiri adalah kematian, maka secara tidak langsung makna kehidupan ialah menghidupkan kehidupan itu sendiri. Hari ini aku berumur 17, tak terasa nanti aku berumur 22. Sekarang ditanggal 29, 24 jam setelah ini aku akan terbangun di tanggal 30. Lantas apa yang bisa aku pastikan dalam hidup selain kematian itu sendiri?"

Kembali Aku terdiam, menelan ludah dan melanjutkan pembicaraan, "Apakah kematian ini akan tersangkut dengan agama? Jika memang begitu, bukankah aku memaknai agama sebagai simbolisme magis, karena alasan inilah konflik besar pandangan-pandangan yang murni dogmatik di agama rasionalistik masih bisa lebih mudah ditoleransi ketimbang inovasi-inovasi di dalam simbolisme yang mengancam kemanjuran tindakan. Dan yang menarik, di titik inilah muncul konsep baru yang sama sekali tak terduga dari simbolisme. Memahami fakta ini, apakah masih perlu aku menaruh harapan dan asa yang begitu besar pada sesuatu yang tidak menentu?"

Gadis itu mendengarkan omonganku baik-baik, "Tapi kan, agama itu benar-benar menjadi hal yang memberikan kebaikan dalam hidup kita, jik.."

Tak sempat dia menyelesaikan kata, Aku kembali memotong pembicaraannya, "Agama itu candu, Karl Marx mengatakan hal itu dan dipercaya oleh banyak orang."

Lantas dia berkata, "Kamu melihat dari Karl Marx, bagaimana dengan Pascal?" Aku terperanjat,

"Aku tahu bahwa Pascal mengatakan bahwa kepercayaan dipahami melalui hati, bukan melalui alasan. Tapi tetap saja, manusia kala ini jatuh pada sikap ekstrimis karena cara pandang social proofmengambil kendali yang sangat besar dalam hidup mereka."

Gadis ini benar-benar menaruh perhatian besar disetiap kata yang Aku sampaikan. Aku menuliskan sesuatu di kertas putih yang kosong, menunjukan pada dirinya, dan bertanya,

"Apa yang kamu lihat?"

Gadis itu menjawab, " Aku hanya melihat angka yang ditambah. Satu ditambah satu sama dengan tiga."

Aku tersenyum, "Apakah itu benar?"

lalu dia menggeleng,

"Bagaimana jika semua orang di dunia percaya bahwa satu ditambah satu sama dengan tiga?"

gadis itu terdiam, Aku melanjutkan, "Maka setiap orang akan percaya bahwa satu ditambah satu sama dengan 3. Agama juga seperti itu, kita mempercayai bahwa agama merupakan kontrol sosial yang ampuh, sehingga kita lupa bahwa Agama itu sendiri diciptakan melalui tangan-tangan manusia yang secara implisit mendapatkan mukjizat dari entitas tak terlihat di atas sana. Itulah yang disebut dengan social proof,jika 50 juta orang mengakui A ialah A, maka terjadilah."

"Bagaimana dengan cinta?" gadis itu mengganti topik,

"Cinta? Aku percaya akan hal itu. Otak manusia diprogram untuk memberikan suatu bentuk atau pola pada hal yang abstrak, semua itupun terjawab pada Clustering Illusion." Ucapku.

Gadis itu kembali menggaruk-garuk kepalanya yang terlihat tidak gatal, "Itu apa? Aku tak paham." Aku melihat jam tangan, 15 menit lagi kelas akan masuk. Namun pertanyaan gadis ini perlu 1 hari untuk menjelaskannya.

"Clustering Illusionitu merupakan cara pikir dimana kita naik 1 tingkat dari ketidaktahuan akan abstraksi, menjadi imajinasi lintas batas. Ketika kita melihat awan diatas sana, tidak ada maknanya sama sekali. Namun otak ini telah diproyeksi untuk naik 1 tingkat dari suatu hal yang abstrak, menjadi bermakna. Sehingga banyak sekali gambaran yang dapat kita lihat dari awan yang tak ada arti. Cinta juga seperti itu, emosi bernama cinta ini merupakan sebuah simbol abstrak yang didasari atas perasaan-perasaan indah lainnya. Tapi yang perlu diketahui, cinta itu juga hasil dari proyeksi otak manusia dan sesekali bisa hilang dari dalam pikiran. Itu sebabnya ada orang yang mudah jatuh cinta, lalu mudah melupakan cinta itu sendiri. Aku mempercayai cinta sebagai emosi yang dapat membantuku untuk berpikir. Karena aku cinta akan buku dan pemikiran manusia, aku lebih mudah menyampaikan dan berbagai akan hal yang rumit itu."

Gadis itu mengangguk, "Pernakah kamu jatuh cinta?"

Aku menatap mata itu tajam, sebuah pertanyaan yang klise namun layak untuk dijawab olehku, "Pernah. Kepada seorang gadis, memangnya kenapa?"

gadis itu terlihat seperti berpikir, "Jadi kamu percaya bahwa cinta kepada seseorang itu ada?" topiknya semakin menjauh, dari pembahasan filosofis menjadi suatu bahasan yang hanya dapat dijawab melalui hati.

"Jika memang mencintai seorang gadis itu merupakan bentuk kepercayaan yang riil. Aku akui hal itu."

Gadis itu tersenyum, "Aku selalu tahu kamu masih mempunyai hati. Dari setiap kata yang kamu lontarkan, tidak ada satu kata pun yang aku mengerti. Yang aku tahu pasti, bahwa kamu masih punya hati dan kamu gunakan hati itu untuk mencintai seseorang yang pernah ada. Tatapan itu, kamu pernah hancur karena percaya. Percaya kepada orang-orang yang begitu kamu kasihi, jauh lebih banyak daripada dirimu sendiri. Kamu pernah percaya bahwa kebahagiaan orang lain akan membantu menarik senyum di bibir itu. Matamu itu, kamu pasti selalu menangis tiap malam di kasurmu. Tak ada orang yang melihat, dan kamu selalu menutupi hal itu dengan sempurna. Kamu lahir untuk percaya. Kamu bukanlah pemeran utama, kamu selalu menyingkir untuk tak terlihat. Kamu masuk ke dalam abu-abu yang menutupi dirimu, kamu percaya akan seseorang di lain waktu akan membantu abu-abu itu menjadi putih. Kamu itu sudah benar-benar terlahir untuk percaya, dan aku percaya bahwa kepercayaanmu itu akan mengembalikan rasa dan asa hidupmu nanti. Ini sudah mau 30 menit, kelas akan masuk sebentar lagi."

Kulihat jam ditanganku, menunjukan 30 menit sudah berlalu.

"Narista, kapan kamu akan mampir lagi?"

Gadis itu tersenyum, "30 menit di setiap harimu, aku pasti akan kembali."

Bayangan itu menghilang, meninggalkan Aku seorang diri diantara hiruk pikuk kelas tak beraturan ini. Aku pernah percaya, bahwa Narista diciptakan untuk menemani hidupku. 6 tahun lamanya Aku bersama Dia, berbagi tawa dan tangis, suka dan duka, atau berbagi rasa yang sama. Namun, Tuhan lebih membutuhkan Dia di surga sana, Aku hanya bisa merelakan kepergian Dia.

1800 detik di setiap harinya, membayangkan sesosok gadis itu selalu berdiri tepat dibelakangku, menggunakan jepit rambut merah muda dan senyum diwajahnya. Gadis itu selalu siap untuk mendengarkan pemikiran gilaku, atau mungkin menyemangatiku yang sudah tidak percaya akan indahnya dunia ini. Bayangan gadis itu disetiap detiknya mampu menghipnotis pemikiranku. Narista mampu membawaku ke alam yang berbeda, jauh dari dunia fana menuju dunia fantasi yang mendobrak setiap teori atau akal manusia itu sendiri.

1 detik, 2 detik, 3 detik, 1799 detik, atau 1800 detik. Semua detik itu Aku maksimalkan hanya untuk berbagi cerita dengan dirinya yang sudah tiada. Kadang kenyataan ini terlalu menyakitkan, Aku harus berusaha percaya bahwa Narista sudah tiada. Namun, Aku juga senang untuk bercerita dengannya melalui dunia imajinasi dimana Surga dan Bumi dipersatukan. Dia kadang bercerita kepadaku mengenai betapa indahnya Surga, Aku juga kadang menceritakan berbagai pengalamanku di bumi.

Kadang Tuhan jahat, memisahkan diriku dengan seseorang yang membuat putih dari keabu-abuan yang Aku miliki. Kadang Tuhan baik, menunjukan realitas yang menyakitkan kepada diriku yang acuh tak acuh ini. Kadang Tuhan jahat dan baik di waktu yang sama, Dia memberikan Aku sebuah harapan bernama Narista, lalu mengambilnya. Atau mungkin Aku saja yang terlalu idealis? Ah sudahlah.

Narista, sampai jumpa besok.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun