Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwasannya konflik etnis antara Hutu dan Tutsi berawal kekerasan yang tidak kelihatan (tidak langsung) yaitu kekerasan struktural berupa perubahan-perubahan sistem atau kebijakan yang dapat mendiskriminasi salah satu etnis tersebut, kemudian berlanjut pada kekerasan kultural berupa terjadinya budaya diskriminasi etnis terhadap Hutu akibat ideologi rasis yang ada dan pada akhirnya terjadilah kekerasan yang terlihat atau langsung dengan adanya pelaku, kegiatan serta sasaran atau target yang dapat terlihat secara nyata berupa penindasan, pembunuhan massal, pemerkosaan dan hal-hal buruk lainnya akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi.
Dari pohon konflik serta analisa yang diatas, bisa disimpulkan bahwasannya level dari analyses toolnya adalah "hardening" dan "action not words", yang mana resolusi dari konflik yang terjadi di Rwanda bisa diselesaikan dengan forum-forum diskusi dan juga aksi dilapangan sebagai bukti dan bukan hanya kata-kata. Maka peran PBB dalam penangan kasus ini ada dua upaya penanganan, yaitu :
Upaya peace keeping:
Setelah tiga tahun konflik antara pemerintah Rwanda dengan kelompok RPF berjalan, akhirnya pada bulan  agustus  1993  konflik tersebut  diselesaikan dengan  penandatanganan Arusha Accord. Arusha Accord adalah sebuah kesepakatan  yang ditanda-tangani di Tanzania dibawah tekanan pihak internasional yang bertujuan  untuk membentuk perdamaian dari situasi  krisis  serta  perang saudara yang terjadi di Rwanda, yang diikuti oleh hampir seluruh pihak yang terlibat. Salah satu dari bagian kesepakatan tersebut adalah pembentukan pasukan perdamaian oleh United Nations (UN) yang lebih dikenal dengan sebutan United Nation Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang bertugas untuk membantu implementasi dari kesepakatan tersebut. Intervensi PBB di Rwanda tidak berlangsung efektif akibat adanya sejumlah faktor kelemahan. Dengan dibekali mandate yang lemah dan kurangnya persenjataan perlengkapan serta dukungan logistic, UNAMIR bukan hanya gagal menjamin proses perdamaian dan implementasi Arusha Accord, tetapi juga gagal mencegah dan menghentikan terjadinya genosida. Sumber utama kegagalan PBB dalam mengatasi bencana kemanusiaan di Rwanda lebih disebabkan oleh faktor politis; negara--negara besar dan anggota Dewan Keamanan PBB kurang memiliki political will dalam mengupayakan penyelesaian konflik Rwanda secara sungguh-sungguh.Â
Upaya peace building:
Intervensi PBB ini bertujuan untuk membantu pemerintah Rwanda untuk menyelesaikan konflik di Rwanda yang sudah berakar sejak sebelum Rwanda merdeka. Intervensi PBB juga terus dilanjutkan, dimana pasca terjadinya konflik, akan terdapat kerugian serta masalah-masalah di semua aspek harus segera diatasi. PBB tidak hanya fokus pada penyelesaian konflik, tetapi juga focus terhadap pemulihan di berbagai aspek pasca genosida. Pada saat awal berakhirnya konflik, PBB fokus kepada proses resolusi konflik serta rekonsiliasi. Usaha PBB tersebut adalah dengan membentuk sebuah pengadilan khusus untuk membantu menyelesaikan kasus hukum para pelaku kejahatan. Dalam memberikan bantuan kepada Rwanda pasca konflik, PBB terus melakukan pengawasan terhadap implementasi bantuan. PBB juga menjadi sarana kerjasama antara Rwanda dan pihak lainnya dalam hal pemberian bantuan pasca genosida.Â
Dewan Keamanan PBB memerintahkan pelaksanaan investigasi dari tindak kekerasan menurut hukum humaniter internasional yang terjadi di Rwanda. Pada 8 Juni 1994, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 925 disertai dengan laporan sekretaris jenderal mengenai situasi di Rwanda pada 31 Mei 1994 yang menyimpulkan bahwa pembunuhan yang terjadi  di  Rwanda merupakan  tindak genosida, Dewan Keamanan PBB menekankan bahwa tindakan genosida telah terjadi di Rwanda dan genosida  merupakan tindakan kriminal  yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. Atas dasar hal tersebut, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 935 dan membentuk komisi untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan-kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang yang terjadi dalam peristiwa di Rwanda.
Berikut intervensi PBB di Rwanda pasca terjadinya genosida, yaitu sebagai berikut :Â
United Nations Human Rights Field Operation in Rwanda (UNHRFOR) Â
United Nations Human Rights Field Operation in Rwanda (UNHRFOR) adalah salah satu proyek bantuan PBB di Rwanda yang bekerja untuk melakukan pemantauan terhadap hak asasi manusia. Diluncurkan pada tahun 1994, UNHRFOR juga mengawasi dan membuat laporan reguler terhadap situasi hak asasi manusia di Rwanda. Peran dari UNHRFOR dianggap sebagai bantuan PBB yang sangat signifikan pasca genosida dalam melakukan rehabilitasi sistem keadilan di Rwanda. Selain melakukan pengawasan, UNHRFOR juga mengumpulkan informasi dan bukti-bukti terkait genosida.
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)Â