Mohon tunggu...
Fildzah Izzati
Fildzah Izzati Mohon Tunggu... -

Red rebel my soul

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Liberal di Indonesia: Kebebasan Bagi “Minoritas”

8 Oktober 2010   21:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:36 2240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh : Fildzah Izzati

(Ilmu Politik FISIP UI/ 2007)

Prolog

Liberalisme dan demokrasi, adalah dua hal yang sering disandingkan. Persandingan antara liberalisme dan demokrasi tersebut kemudian lebih dikenal dengan istilah demokrasi liberal. Demokrasi liberal tersebut kemudian disebutkan oleh Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal "the End of History" sebagai akhir dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Kemudian, dalam tulisannya yang berjudul "Democracy, the Nation-State, and the Global System", David Held menyebutkan bahwa demokrasi liberal memsusatkan perhatian pada "kesimetrisan" dan "ke-kongruen-an" hubungan antara pengambil keputusan politik dan penerima keputusan politik. Pada abad 20, teori demokrasi telah berfokus pada konteks organisasi dan budaya dari prosedur demokrasi serta dampak dari konteks tersebut pada operasi dari "aturan mayoritas" atau "majority rule".[1]

Namun, tak dapat dihindari bahwa terdapat pertentangan mendasar dalam demokrasi liberal itu sendiri. Dalam hal ini, pertentangan antara prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi dan liberalisme sebagai dua hal yang menjadi dasar dari demokrasi liberal. Konflik antara liberalisme dan demokrasi yang terjadi kemudian menimbulkan banyak kritik dari berbagai pemikir dan akademisi. Liberalisme mempunyai mimpi bahwa kesejahteraan manusia dapat diraih dengan kebebasan individu-individu untuk hidup termasuk kebebasan dalam berusaha. Liberalisme yang sangat menekankan dan mengedepankan kepemilikan individu tersebut pada akhirnya mengabaikan nilai atau prinsip demokrasi yang menekankan equality atau kesetaraan. Prinsip mayoritas yang juga dianut dalam demokrasi pada akhirnya juga terabaikan ketika ekonomi dan politik hanya dikuasai oleh sekelompok minoritas yang memiliki akses terhadap kepemilikan individu. Penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri.[2]

Demokrasi Liberal : Sebuah Tinjauan Kritis

Liberalisme menekankan kebebasan. Kebebasan yang dicari manusia sendiri berbeda-beda dan tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka. Namun, kaum minoritas yang memiliki hal (kebebasan) tersebut telah mendapatkannya dengan mengeksploitasi sebagian besar yang tidak mendapatkan hal tersebut. Mereka percaya bahwa kebebasan individu adalah sebuah tujuan akhir bagi manusia dan tidak ada yang seharusnya dapat dikurangi dari hal tersebut oleh yang lainnya; paling tidak bahwa beberapa harus menikmatinya dengan biaya orang lain. Para filsuf seperti Locke, Adam Smith, dan dalam beberapa hal, Mill, dengan optimis melihat asal-usul manusia dan memiliki sebuah kepercayaan mengenai kemungkinan dalam mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan manusia. Dalam hal ini misalnya mempercayai bahwa keharmonisan sosial dan kemajuan dapat disesuaikan dengan pesan yang luas bagi kehidupan privat melebihi negara ataupun otoritas lainnya.[3]

Dalam hal ini, filsuf seperti Mill sangat mementingkan perlindungan bagi kebebasan individual. Dalam essay-nya yang terkenal, Mill menyatakan bahwa kecuali orang yang tersisa untuk hidup seperti yang mereka inginkan "di jalan mereka sendiri", peradaban tidak bisa maju; kebenaran tidak akan, bagi kurangnya sebuah pasar bebas dalam ide-ide; tidak akan ada lagi ruang untuk spontanitas, orijinalitas, kejeniusan, untuk keberanian moral. Masyarakat akan ditabrak oleh sebuah "kolektif biasa" yang berat. Namun, hubungan antara demokrasi dan kebebasan individu adalah sebuah perjanjian baik yang lebih lemah daripada yang sepertinya terlihat. Kebebasan dapat mengorbankan kesetaraan. Hal ini adalah sebuah hal yang biasa dalam histiografi Marxis untuk menekankan cara dalam praktek-praktek dari kebebasan borjuis dan sudut pandang formal dari hak yang melindungi mereka baik yang menghasilkan maupun yang menyembunyikan ketimpangan Kelas. Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menyatakan bahwa "Dengan kebebasan itu berarti, di bawah keadaan-keadaan yang ditampilkan borjuis dari produksi, perdagangan bebas, penjualan dan pembelian secara bebas." Analisis Tocqueville mengenai ancaman kesetaraan dalam kebebasan, adalah bahwa kita harus juga "berjuang untuk mengurangi dampak-dampak yang merugikan dalam demokrasi dan kesetaraan politik yang dihasilkan ketika kebebasan ekonomi memproduksi ketimpangan yang besar dalam pendistribusian sumber daya dan kemudian, secara langsung maupun tidak langsung, kekuasaan."[4]

Selain itu, dalam sudut pandang Marxisme, merujuk pada pernyataan Leszek Kolakowski, "adalah sebuah mimpi menawarkan prospek sebuah masyarakat dengan persatuan yang utuh, dimana aspirasi dari semua manusia akan dipenuhi, dan dan semua nilai didamaikan; tapi konflik-konflik yang pasti timbul diantara kebebasan dan kesetaraan, dan beberapa konflik dapat "diatasi hanya dengan kompromi-kompromi dan solusi-solusi parsial."[5] Kritik yang paling sering diutarakan bagi demokrasi liberal memang berasal dari perspektif pemikiran politik "Kiri" yang berfokus pada penciptaan kesesuaian yang lebih besar antara representasi politik dan warga negara asli; dalam kasus ini, melalui penambahan mekanisme akuntabilitas demokrasi.[6] Marx melihat keretakan antara publik dan privat, warga negara dan borjuis, negara dan civil society sebagai dasar-dasar yang krusial bagi filosofi liberal. Dalam essay-nya, On The Jewish Question, Marx menyebutkan bahwa negara-negara liberal maju "menghapuskan" perbedaan berdasarkan pada kelahiran, pendidikan, pekerjaan, tapi hanya dalam rangka bahwa hal tersebut dideklarasikan oleh mereka sebagai sebuah hal yang tidak relevan secara politik. Hal tersebut mengubah politik kepada pelayanan yang egois dan hanya peduli pada materi.[7]

Kritik lain terhadap demokrasi liberal diungkapkan oleh para feminis, salah satunya oleh Anne Philips. Dalam bukunya, Engendering Democracy, Phillips mengungkapkan bahwa sebagaimana kritik lainnnya, demokrasi liberal mencerminkan sebuah jenis ketakutan politik. Dimulai dengan antisipasi kecemasan dari apa yang mungkin dilakukan pemerintah, dan yang kemudian menyusul sebagai perpanjangan hak-hak demokrasi dan hak pilih, yang mengakhiri ketakutan masyarakat itu sendiri. Demokrasi liberal dirancang pada wilayah di luar kontrol pemerintahan dan terkadang secara formal dengan mendirikan hak-hak individu dan kebebasan dalam sebuah konstitusi yang tertulis tapi lebih umum melalui pergeseran konvensi sejarah menjadi lebih dari apa yang dapat dianggap sebagai sebuah perhatian publik. Dimana prosedur mengoperasikan negara akan dibatasi dan manjauh dari domain publik. Demokrasi liberal membuat pemisahan antara ruang publik dan privat, atau pemisahan antara sosial dan politik.[8]

Batasan dari liberal yang diletakkan pada pemerintahan tidak hanya dioperasikan untuk melindungi kebebasan-kebebasan individual. Mereka juga mempertahankan ketidakadilan yang dapat membuat olok-olok bagi demokrasi itu sendiri. Hak yang sama untuk memilih misalnya, tidak menjamin sebuah persamaan yang dipengaruhi keputusan politik. Para feminis pun menawarkan hubungan yang erat antara teori feminis dan demokrasi.[9] Para pemikir dan akademisi lainnya pun mencoba mencarikan solusi atas problema konflik antara liberalisme dan demokrasi tersebut. Hal - hal yang hanya bersifat prosedural dalam demokrasi liberal kemudian harus diisi dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Maka kemudian, akademisi seperti Mouffe pun menawarkan apa yang disebut sebagai demokrsi deliberatif[10] dengan penekanannya terhadap imparsialitas dan konsensus nasional.

Demokrasi liberal di Indonesia : Kebebasan bagi "Minoritas"

Demokrasi yang berkontradiksi dengan liberalisme, pada prakteknya dapat dilihat di Indonesia. Indonesia yang menganut sistem demokrasi liberal memperlihatkan ketimpangan sosial politik dalam masyarakatnya. Hak-hak kepemilikan individu yang sangat ditekankan dalam liberalisme sangat terlihat di Indonesia terutama dalam bidang ekonomi yang pada akhirnya berdampak pada bidang lainnya, termasuk politik. Kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik dengan nyata dan jelas dapat kita lihat terjadi di Indonesia. Hanya segelintir "minoritas" lah memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa hanya "minoritas" lah yang dapat menikmati kebebasan di Indonesia. "Minoritas", mereka yang miliki modal, mereka yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Ketimpangan sosial atau disparitas yang tinggi dalam bidang ekonomi dan politik dapat menunjukkan hal tersebut. Kemiskinan yang terjadi pada "mayoritas" masyarakat Indonesia didukung (baca : diperparah) pula dengan  masih berlakunya demokrasi prosedural di Indonesia.

Politik yang dikuasai "minoritas" tersebutlah yang dikuatkan oleh demokrasi prosedural yang sangat liberalistik di Indonesia. Kita dapat melihat bahwa partisipasi rakyat, dalam politik sebagai bagian penting dalam demokrasi, hanya terjadi secara periodik di Indonesia, hanya dalam pemilihan umum, yang (bahkan) secara prosedural pun masih belum dikatakan baik. Partisipasi politik yang aktif pun pada akhirnya (lagi-lagi) hanya dapat dijalankan secara "daily" oleh yang "minoritas" tadi. Hal tersebut dapat kita lihat pada partai-partai politik yang ada di Indonesia. Dimana keberadaan dan daya tahan partai-partai tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan dan daya tahan modal (dalam artian ekonomi) yang tentunya hanya dimiliki "minoritas" tersebut sehingga partai-partai politik yang ada saat ini pun dapat dilihat hanya mengadepankan kepentingan segelintir "minoritas" yang berkepentingan dalam partai dan mengabaikan "mayoritas" (kecuali menjelang pemilu karena bagaimanapun "mayoritas" lah lumbung suara mereka).

Epilog

Praktek-praktek demokrasi liberal yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan sebuah potret yang jelas mengenai konflik atau pertentangan yang terjadi dalam demokrasi dan liberalisme. Dimana terjadi ketimpangan yang jelas bahwa kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik lah yang menentukan demokrasi di Indonesia. Segelintir "minoritas", mereka yang miliki modal, yang memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik-lah yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Hal tersebut tentu "memaksa" kita sebagai akademisi untuk mencari solusi atau alternatif lain atas permasalahan tersebut. Berbagai ilmuwan dan akademisi pun telah melakukannya dan dalam hal ini, penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri.

[1] David Held. "Democracy, the Nation-State, and the Global System" dalam David Held (ed.). Political Theory Today (Cambridge : Polity Press, 1991), hlm. 198.

[2] Ross Harrison. Democracy (New York : Routledge, 1993), hlm. 128.

[3] Isaiah Berlin. "Two Concepts of Liberty" dalam Robert E. Goodin dan Philip Pettit (eds.). Contemporary Political Philosophy : An Anthology (Oxford : Blackwell Publishers, Ltd, 1997), hlm. 389-397.

[4] Dikutip dari tulisan Steven Lukes yang berjudul "Equality and Liberty : Must They Conflict?". Tulisan didapat dari Reading Kit Pemikiran Politik Kontemporer 2002/2003 Program Sarjana Reguler Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

[5] Ibid.

[6] David Held. "Democracy, the Nation-State, and the Global System" dalam David Held (ed.). Political Theory Today (Cambridge : Polity Press, 1991), hlm. 197-201.

[7] Anne Philips. Engendering Democracy (Cambridge : Polity Press, 1991), hlm. 15-16.

[8] Ibid., hlm. 13-16.

[9] Ibid., hlm. 13-16.

[10] Chantal Mouffe. The Democratic Paradox (London, New York : Verso, 2000), hlm. 104.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun