Demokrasi liberal di Indonesia : Kebebasan bagi "Minoritas"
Demokrasi yang berkontradiksi dengan liberalisme, pada prakteknya dapat dilihat di Indonesia. Indonesia yang menganut sistem demokrasi liberal memperlihatkan ketimpangan sosial politik dalam masyarakatnya. Hak-hak kepemilikan individu yang sangat ditekankan dalam liberalisme sangat terlihat di Indonesia terutama dalam bidang ekonomi yang pada akhirnya berdampak pada bidang lainnya, termasuk politik. Kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik dengan nyata dan jelas dapat kita lihat terjadi di Indonesia. Hanya segelintir "minoritas" lah memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa hanya "minoritas" lah yang dapat menikmati kebebasan di Indonesia. "Minoritas", mereka yang miliki modal, mereka yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Ketimpangan sosial atau disparitas yang tinggi dalam bidang ekonomi dan politik dapat menunjukkan hal tersebut. Kemiskinan yang terjadi pada "mayoritas" masyarakat Indonesia didukung (baca : diperparah) pula dengan masih berlakunya demokrasi prosedural di Indonesia.
Politik yang dikuasai "minoritas" tersebutlah yang dikuatkan oleh demokrasi prosedural yang sangat liberalistik di Indonesia. Kita dapat melihat bahwa partisipasi rakyat, dalam politik sebagai bagian penting dalam demokrasi, hanya terjadi secara periodik di Indonesia, hanya dalam pemilihan umum, yang (bahkan) secara prosedural pun masih belum dikatakan baik. Partisipasi politik yang aktif pun pada akhirnya (lagi-lagi) hanya dapat dijalankan secara "daily" oleh yang "minoritas" tadi. Hal tersebut dapat kita lihat pada partai-partai politik yang ada di Indonesia. Dimana keberadaan dan daya tahan partai-partai tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan dan daya tahan modal (dalam artian ekonomi) yang tentunya hanya dimiliki "minoritas" tersebut sehingga partai-partai politik yang ada saat ini pun dapat dilihat hanya mengadepankan kepentingan segelintir "minoritas" yang berkepentingan dalam partai dan mengabaikan "mayoritas" (kecuali menjelang pemilu karena bagaimanapun "mayoritas" lah lumbung suara mereka).
Epilog
Praktek-praktek demokrasi liberal yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan sebuah potret yang jelas mengenai konflik atau pertentangan yang terjadi dalam demokrasi dan liberalisme. Dimana terjadi ketimpangan yang jelas bahwa kepemilikan individu terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik lah yang menentukan demokrasi di Indonesia. Segelintir "minoritas", mereka yang miliki modal, yang memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik-lah yang dapat menikmati kebebasan. Termasuk kebebasan untuk dapat menjalankan demokrasi. Hal tersebut tentu "memaksa" kita sebagai akademisi untuk mencari solusi atau alternatif lain atas permasalahan tersebut. Berbagai ilmuwan dan akademisi pun telah melakukannya dan dalam hal ini, penulis sepakat dengan pernyataan Marx bahwa demokrasi yang sesungguhnya adalah masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri.
[1] David Held. "Democracy, the Nation-State, and the Global System" dalam David Held (ed.). Political Theory Today (Cambridge : Polity Press, 1991), hlm. 198.
[2] Ross Harrison. Democracy (New York : Routledge, 1993), hlm. 128.
[3] Isaiah Berlin. "Two Concepts of Liberty" dalam Robert E. Goodin dan Philip Pettit (eds.). Contemporary Political Philosophy : An Anthology (Oxford : Blackwell Publishers, Ltd, 1997), hlm. 389-397.
[4] Dikutip dari tulisan Steven Lukes yang berjudul "Equality and Liberty : Must They Conflict?". Tulisan didapat dari Reading Kit Pemikiran Politik Kontemporer 2002/2003 Program Sarjana Reguler Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
[5] Ibid.
[6] David Held. "Democracy, the Nation-State, and the Global System" dalam David Held (ed.). Political Theory Today (Cambridge : Polity Press, 1991), hlm. 197-201.