Lama sekali kamu cuma bisa diam. Kedua alismu menyatu dengan cara yang berbeda. "Maksud kamu apa, Moy?"
Aku baru akan menjelaskan, tetapi semuanya buyar!
Sial! Ponsel kampret!
"Halo?" Siapa pun yang mendengar suaraku saat itu, pasti mengira aku baru saja menelan puluhan butir obat sakit kepala. Untungnya, kantor masih kosong. Semua orang belum kembali dari rehat makan siang. Namun, suara tawa di seberang malah membuatku ingin menenggelamkan ponselku dalam semangkok bubur basi.
"Tidurmu lucu, Moy."
Lalu, klik!
Bah! Telepon gila itu membuat kedua mataku terbuka sepenuhnya. Aku menyisir ruangan besar tempatku bekerja. Aku tidak menemukan kamu! Lalu, dari mana kamu tahu kalau aku tertidur?
Ponselku berbunyi lagi. Pesan singkat masuk. "Tunggu sebentar lagi, bakal ada yang nganterin sesuatu buat kamu, Moy."
Aku benci teka-teki. Dan, kamu tahu itu! Kuharap, saat aku menemukan kamu, adrenalinku hanya cukup untuk mengoceh, alih-alih menamparmu.
Pintu lift terbuka ketika aku ingin membanting ponselku. Tidak! Bukan kamu yang muncul. Itu Beni, kurir dari ruang resepsionis. Dan dia membawa bungkusan besar. Untukku, katanya, dari kamu.
Aku tidak percaya. Jadi, kugeletakkan saja bungkusan itu dan segera berlari ke lantai satu, berharap kamu masih ada di situ. Namun, seperti biasanya---uhm, yeah---mungkin aku hanya terlambat beberapa detik. Kalau saja aku langsung sadar soal telepon itu, mungkin sekarang aku sudah memenjarakan kamu ke dalam dekapanku.