"Kenapa kita nggak pernah bertemu?"
"Memangnya kamu pikir kita lagi ngapain sekarang?"
Aku menggeleng. "Kamu tahu maksudku, Ru. Jangan mengelak. Jawab saja."
Kamu, mengambil selembar tisu lagi. Kamu melumat tisu itu sampai tak berbentuk. Aku tahu, kamu membantai tisu tak berdosa itu hanya karena bingung harus berbuat apa. Papaya float-mu sudah tak bersisa, dan kamu tetap tidak berani menyentuh roti bawang---masih utuh dan sudah dingin!
Aku menunggu, tapi kamu belum bicara apa-apa.
Ah, inginnya aku memusnahkan saja semua orang---dan juga benda-benda!---di ruangan ini. Atau mungkin, aku dan kamu bisa berteleportasi ke pantai, supaya kamu bisa bicara tanpa ragu. Bukankah kita masih berada di alam serbabisa? Penasaran, bagian otak sebelah mana yang bertugas mengatur adegan-adegan dalam mimpi? Aku ingin sekali memanipulasinya!
"Aku rasa," kamu mulai bicara, "kamu seharusnya berhenti menunggu."
Ya, ampun, Ru! Tahu apa kamu soal menunggu? Kamu tidak pernah menunggu, karena kamu tidak pernah mengharapkan kehadiranku. Kamu tidak perlu menunggu, karena kamu punya semua yang kamu butuhkan. Kamu tidak suka menunggu, karena kamu tahu, dan kamu sadar, aku tidak pernah nyata untuk kamu.
"Maafin aku, Moy. Ini semua salah."
Aku mendapati pandanganku penuh dengan warna cokelat muda. Tangan-tanganku nyaris membeku, menggenggam gelas berisi frappe yang dingin. Lalu, ekor mataku menangkap gerakan piring berisi roti bawang menjauh..., mendekat ke arahmu. Dalam beberapa menit saja, delapan potong roti bawang itu lenyap.
"Kamu tahu, Ru? Seharusnya mereka nggak menyebutnya bintang jatuh." Kamu berhenti mengoyak-oyak lembar tisu terakhir. Kamu mulai mendengarkanku. "Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat. Bintang nggak pernah punya luka gores. Bintang cuma ingin tempat baru untuk... hidup lebih lama lagi. Meskipun dengan bergerak, bintang-bintang itu harus kehilangan sebagian tubuhnya."