Mohon tunggu...
Fiksiana Community
Fiksiana Community Mohon Tunggu... Administrasi - Komunitas pecinta fiksi untuk belajar fiksi bersama dengan riang gembira

Komunitas Fiksiana adalah penyelenggara event menulis fiksi online yang diposting di Kompasiana. Group kami: https://www.facebook.com/groups/Fiksiana.Community/ |Fan Page: https://www.facebook.com/FiksianaCommunity/ |Instagram: @fiksiana_community (https://www.instagram.com/fiksiana_community/) |Twitter FC @Fiksiana1 (https://twitter.com/Fiksiana1)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CerpenFC] Berkarat

11 Februari 2016   17:19 Diperbarui: 11 Februari 2016   17:31 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mati, kamu mati!” racaunya, sembari membacok-bacok boneka beruang berwarna pink milik mendiang Ana. “Ana… kau kejam, kau tega meninggalkanku, Ana… jahanam, perempuan sialan. Matilah kau, mati… mati…!!!”

Hancur sudah apa yang pernah tersimpan indah di relung jiwa, seperti boneka beruang hadiah cintanya pada Ana. Terburai tiada berbentuk lagi.

Triing…

Kegilaan Doni terhenti, mata kapak menyentuh sesuatu yang lain di dalam perut boneka yang hancur. Cincin berlian dalam balutan emas putih. Doni terperangah, bersimpuh di atas tanah. Perlahan meraih cincin berlian dua puluh lima karat itu. Ia mendesah lemah, mendekap cincin ke dada, bergulung hingga kening menyentuh permukaan tanah.

Lambat laun, isak tertahan menjadi tangis menggelegar. Pilu. Nama Ana selalu terucap dalam lengkingan sengau itu.

Tangis terhenti berganti tawa membuncah kesetanan.

“Ana… matilah kau Ana… hahaha…”

Hening lagi, tertunduk lagi. Sepasang mata sayu memandang berlian berkilau di sela jemari.

“Ya-ya-ya, aku harus menghidupkannya. Aku akan menghidupkanmu Ana. Aku akan menikahimu, persetan dengan si Nito. Lalu… lalu,” Doni terkulai lemah, membiarkan tubuhnya rebah di atas tanah, nanar memandangi langit tinggi. “Ki—kita, lari dari sini. Punya anak yang lucu-lucu… Ana.”

 

Sepasang mata tua belumlah buta, sangat jelas melihat luka di hati anak semata wayangnya yang berbaring di tanah itu. Lelehan air mata telah melembabkan kerah bajunya yang tinggi. Terkutuk kau Hary… kau telah membawa kehancuran untuk anak kita. Membusuklah kau di neraka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun