Dia tak berkata, tapi menutupi wajah dengan tangannya dan meratap.
*
Ku ingat kembali kejadian beberapa hari lalu, saat melintas di jalan raya Margonda Depok. Saat itu suasana ramai. Suara knalpot mobil meraung-raung tiada henti, teriakan para calo mencoba mengambil hati calon penumpang, klakson bersahut-sahutan seolah ingin menjadi sang raja yang diberikan kebebasan untuk kelebaran jalan, pengamen yang sedang menunjukkan kebolehannya dalam bermusik, pedagang yang berlomba menjajakan dagangan, para pengemis yang merintih berharap pemberian, semua menjadi satu dalam kebisingan. Riuh tak jelas. Membuat pusing kepala.
Aku berada di deretan bangku nomor dua paling depan dekat jendela di sebuah bus antar kota. Aku sengaja memilih duduk di bangku ini agar memperoleh ketenangan dari hilir mudiknya orang-orang. Di sampingku belum ada penumpang. Tapi di belakang, tampak sudah banyak orang. Mungkin hanya tinggal 5-6 orang penumpang lagi, baru kemudian bus bisa berangkat.
Maklum, sudah menjadi hukum alam kalau bis belum penuh maka jangan harap segera berangkat. Banyak orang menggerutu akan hal ini, karena sudah hampir 20 menit bis asyik menunggu penumpang yang belum jelas kedatangannya. Padahal kalau mau, ia pasti mendapatkan penumpang di perjalanan yang akan dilalui. Yakin deh itu.
“Permisi Mas” tegur seorang wanita yang lantas duduk di sebelahku.
“Oh ya… sorry” aku memberinya keluasan setelah tadi sebagian tempat duduk kukuasai dengan enak. Ku curi pandang untuk melihat wajahnya sejenak. “Lumayan juga” pikirku.
Wajahnya agak hitam tapi bersih dan manis. Sepertinya tak ada polesan bedak dari merk apapun yang ada di televisi. Hidungnya sedikit agak mancung. Ada tahi lalat kecil di atasnya. Kedua matanya, uh… aku tak bisa mengungkapkan. Apalagi kalau di tambah dengan kedua alisnya yang hampir menyambung menjadi satu ikatan lurus. Sangat indah.
Mendadak ia menoleh dan tersenyum. Mukaku memerah. Maklum aku sedang asyik menikmati keindahan karya Tuhan tanpa sepengetahuannya. Aku pun jadi ikutan tersenyum.
Bis perlahan mulai berjalan. Sang kondektur tetap berteriak lantang berharap masih ada sisa penumpang yang naik. Para penjaja dagangan dan pengamen mulai turun. 4-5 orang sudah ada yang berdiri gelantungan tak dapat tempat duduk. Aku berfikir, beruntung aku dapat tempat duduk plus di sebelahku ada pemandangan cantik.
Sulit kubayangkan kalau aku tadi tak buru-buru berangkat, aku pasti akan terkena hukum siapa yang terlambat ia tak dapat tempat. “Uhh….” Aku akan berdiri berdempetan dengan para penumpang lain. Padahal rute perjalananku jauh. Dari awal sampai penghabisan terminal.