“Hai diam.. ! Malah menangis, kau pikir aku kasihan melihatmu menangis.”
Aku tetap menangis kencang. Terdengar samar batuk Emak, juga rintihannya. Aku jadi berhenti menangis.
“Tuan beri kami kesempatan satu bulan lagi untuk melunasi hutang yang ada, saya janji bulan depan akan melunasinya.” Pintaku padanya sambil berlutut
“Bulan depan, bulan depan. Kau terus membohongiku.”
“Sumpah Tuan, bulan depan. Sekarang kami tak punya apa-apa. Kami tak tahu harus membayar dengan apa?”
Hujan mereda. Batuk Emak semakin menjadi. Aku tak berani meninggalkan Tuan Sugeng untuk menghampiri emak. Tuan Sugeng berdiri dan mencengkramku kembali.
“Baik, kau kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Bulan depan kau harus lunasi semua hutang. Kalau memang tidak mampu, bilang sama kakakmu untuk bersedia menjadi istriku. Ku jamin hutang keluargamu lunas semua. Bahkan, Ibumu yang sedang sekarat itu, akan aku rawat sampai sembuh. Dan kalau kakakmu tidak mau, segera bulan depan kau dan Emakmu angkat kaki dari rumah ini. Camkan itu !” Ia melepaskan cengkramannya dan berlalu begitu saja dari hadapanku.
Tapi tiba-tiba ia menoleh setelah melewati pintu rumah dan berkata: “Aku akan datang tanggal 13 bulan depan jam dua sore seperti ini. Jangan lupa panggil Biyanca.” Ia lantas tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.
Aku segera beranjak dan menghampiri Emak yang sedang merintih menahan sakit.
Bersambung…….