Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelombang Badai Kehidupan I (Kilas Balik Cerita Hidup Mbak Bi & Didi)

6 Januari 2016   14:50 Diperbarui: 6 Januari 2016   15:22 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelombang badai silih berganti dengan keteduhan yang nyaman. Pelayaran abadi kehidupan pun terus berlanjut, sementara sedih dan senang silih datang bergantian menerpa jiwa dan tubuh yang belum dalam kondisi “sehat secara utuh”.

Orang tua tetap menjadi nahkoda penakluk segala perubahan cuaca, yang semakin tangguh berkelit melintas badai, maupun tabah untuk tetap tersenyum menghadapi keteduhan yang mengandung bibit topan. Tapi itu dulu, dan kini ?

Masih tepat seperti biasanya,  lagi-lagi ia datang tepat pada waktunya, pukul 2 siang hari. Padahal hari ini hujan turun amat lebat. Rupanya itu tak menggangu prinsip hidupnya untuk bisa menjadi orang yang selalu datang tepat waktu sebagaimana janji yang telah terlontar dari mulut busuknya. Maaf berbicara seperti ini, sebab aku tak tahan kalau mengingat sikap buruknya terhadap keluargaku. Tapi  aku jujur mengakui, ini salah satu kelebihan diantara berjuta kekurangan yang ada pada sosok pria yang memiliki tubuh gagah nan kekar.

Aku hidup dengan Emak yang berumur kurang lebih 50 tahun dan satu kakak perempuan yang telah berumur 17 tahun. Aku sendiri baru berumur 15 tahun. Aku dan kakak berhenti sekolah karena tak memiliki biaya. Jangankan untuk biaya sekolah, dapat makan satu kali sehari saja sudah beruntung.

Kami hidup sebatang kara setelah Bapak pergi untuk selama-lamanya. Melihat kenyataan itu, Emak kini dilanda sakit. Tak tahu apa jenis penyakitnya. Sebab, semua dokter bingung dengan penyakit yang didera Emak. Katanya:“Penyakit Emak, tak ada dalam dunia kedokteran”.

Aku jadi heran oleh penjelasan Dokter. Memang tidak ada yang aneh dalam fisiknya. Semua terlihat normal. Tapi kalau sudah menjelang malam, rasa sakit itu tiba-tiba datang menghampiri. Biasanya Emak akan mengerang keras menahan sakit yang berpusat di kepala, kadang juga di perut.

Sehari-hari aku dan kakak bekerja di jalan raya menjual Koran. Terkadang kalau Koran sudah terjual habis kakak menyelingi dengan bekerja sebagai pengamen bersama dua kawannya. Kakak memang bercita-cita banget ingin menjadi penyanyi. Ia ingin seperti Siti Nurhaliza, artis Malaysia yang memiliki suara merdu. Setiap hari kakak selalu bersenandung mengasah suaranya. Berharap vokalnya kian merdu dan enak untuk didengar.

##

Ia berdiri di depanku, dan langsung meminum habis air teh yang kusediakan. Aku jadi dibuat terperanjat oleh sikapnya. Bayangkan, air teh yang kusediakan adalah air yang baru saja kuseduh. Aku jadi tak habis pikir olehnya. Kekaguman ku kepadanya karena telah mempertahankan prinsip untuk menjadi orang tepat waktu, bertambah setelah melihat kesaktiannya meminum air yang baru saja dimasak. Subhanallah.

Ia lalu memanggil dan mempertanyakan kemana kakakku yang bernama Biyanca  berada. Setahunya, sudah dua bulan ini ia tak melihat paras ayu nan elok milik wanita-wanita melayu yang ada pada kakak. Aku diam ditanya hal itu. Ia tak tahu sebenarnya kakak sudah pergi  lama meninggalkan rumah untuk menghindari lelaki hidung belang yang ada di depan mataku ini.

Berdalih keluarga kami tak mampu membayar utang, ia meminta tebusan dengan tubuh dan jiwa kakakku. Sungguh lelaki tak tahu malu. Asal tahu saja, di rumahnya yang mirip istana presiden di Bogor itu sudah tertampung 3 orang istri berparas ayu nan seksi. Belum lagi, keberadaan wanita-wanita di sampingnya yang tak memiliki status jelas dengannya. Sungguh memalukan lelaki seperti ini.  Semoga Tuhan cepat membuka pintu hatinya.

Ia kembali bertanya kemana Biyanca? Aku menjawab dengan penawaran mengajak Tuan Sugeng untuk makan mie. Ia tertawa mendengar tawaranku.

“Kau pikir aku ini orang miskin yang tak bisa makan sepertimu. Enak saja. Jangan coba mengalihkan pembicaraan.” Begitu tuturnya.

Aku tentu saja kaget dan takut mendengar gertakannya.

 “Di mana Biyanca? Kasih tahu aku ! jika tidak, kau dan Emakmu yang penyakitan itu harus segera pergi dari rumah ini”

Aku diam saja.

“Hai … kau tuli ya?”  Ia menghampiriku.

“Saya tidak tahu Tuan, kakak Cuma bilang mau cari uang untuk bayar utang pada Tuan”

“Jangan coba-coba kau bohongi aku”

“Sumpah Tuan.” Ucapku memelas

“Aku tak percaya, cepat kau beritahu aku atau kuhajar kau sekarang juga !” Ia menarik kerah baju kumalku.

Aku lantas menangis. Kencang. Melebihi volume suara hujan yang mulai mereda.

“Hai diam.. ! Malah menangis, kau pikir aku kasihan melihatmu menangis.”

Aku tetap menangis kencang. Terdengar samar batuk Emak, juga rintihannya. Aku jadi berhenti menangis.

“Tuan beri kami kesempatan satu bulan lagi untuk melunasi hutang yang ada, saya janji bulan depan akan melunasinya.” Pintaku padanya sambil berlutut

“Bulan depan, bulan depan. Kau terus membohongiku.”

“Sumpah Tuan, bulan depan. Sekarang kami tak punya apa-apa. Kami tak tahu harus membayar dengan apa?”

Hujan mereda. Batuk Emak semakin menjadi. Aku tak berani meninggalkan Tuan Sugeng untuk menghampiri emak. Tuan Sugeng berdiri dan mencengkramku kembali.

“Baik, kau kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Bulan depan kau harus lunasi semua hutang. Kalau memang tidak mampu, bilang sama kakakmu untuk bersedia menjadi istriku. Ku jamin hutang keluargamu lunas semua. Bahkan, Ibumu yang sedang sekarat itu, akan aku rawat sampai sembuh. Dan kalau kakakmu tidak mau, segera bulan depan kau dan Emakmu angkat kaki dari rumah ini. Camkan itu !” Ia melepaskan cengkramannya dan berlalu begitu saja dari hadapanku.

Tapi tiba-tiba ia menoleh setelah melewati pintu rumah dan berkata: “Aku akan datang tanggal 13 bulan depan jam dua sore seperti ini. Jangan lupa panggil Biyanca.” Ia lantas tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.

Aku segera beranjak dan menghampiri Emak yang sedang merintih menahan sakit.

 

Bersambung…….

(Nantikan kelanjutan kisahnya…)

Cerpen sebelumnya:

http://fiksiana.kompasiana.com/fiksi.kompasiana.com/mengejar-mbak-bi-ke-ujung-hongkong_5684ab47f77a61d9047675bf

dan

http://fiksiana.kompasiana.com/biyanca/di-ini-semua-salah-jokowi_568a1dab25b0bde0056ce077

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun