"Mbaaak.. Tunggu aku, plissssss... jangan pergi !" Ia menoleh memberikan senyum terindahnya sejenak, lalu melangkah membawa koper besarnya.
"Mbaaak.... Pliiisssss..... jangan pergiiii !" Didi menangis sesugukan. Ia cuek dan semakin menjauh.
"Mbaaaaaak Biiiiiiii...... !" Teriak Didi kencang
#
Pagi tiba. Suara alam membangunkan Didi dari mimpi indahnya tadi malam. Kumandang azan subuh, kukuruyuk ayam jantan, juga suara meong dari atap rumah yang sepertinya habis digunakan untuk "pertarungan".
"Entar ga usah jajan, nih Emak bekelin nasi ama lauk tempe, jengkol plus sambel terasi." Kata Emak pada Didi yang habis mandi lalu asyik menyisir rambut.
"Jangan malu- malu nanya kalau di sana keder, tar nyasar ga bisa balik loe !" Pesan Emak lagi.
"Iya Emakku sayang, Didi bakalan banyak nanya ama orang biar nemuin mbak Bi di sana, yang penting Emak jangan lupa doain Didi biar selamat." Ucap Didi sebelum mencium telapak tangan dan kening Emak.
"Didi berangkat ya Mak, assalamu'alaikum..."
"Iyaa, ati-ati loe yaa.. wa'alaikum salam..." jawab Emak sambil menyeka air mata.
"Bismillahirrohmaanirrohiim...." Doa Didi jelang keluar rumah.
#
Didi tak habis-habisnya mengagumi keindahan bandara Hongkong International. Mulutnya terus berdecak takjub. Seujug-ujug ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di luar negeri. Selama ini Didi cuma senang bermain di sawah, empang, atau di kebon belimbing yang penuh dengan bunyi suara hewan. Sekarang, yang di dengarnya bunyi kendaraan datang, celoteh orang-orang yang ia ga faham, juga teriakan para pedagang menjajakan dagangan. Didi sungguh terkesima.
Kurang lebih 5 jam perjalanan dari Jakarta ke bandara Hongkong International. Celingak celinguk Didi mendapati kemegahan Bandara yang konon telah memenangkan penghargaan sebagai bandara terbaik menurut beberapa survey.
Ingat akan pesan Emaknya, segera ia menuju petugas bandara menanyakan arah menuju Victory Park. Beruntung sang petugas bisa bahasa melayu, meski harus meraba-raba penjelasannya, akhirnya Didi putuskan naik taksi saja biar mudah. Kalau sudah ketemu mbak Bi, baru ia minta diajak jalan-jalan naik transportasi yang ada di Hongkong, naik kereta api, bus, fery atau tram. Semoga
Udara pagi menjelang siang di Hongkong, sungguh menyejukkan. Didi tiba di Victory Park jam sebelas. Suasananya nyaman. Tampak orang berlalu lalang, bahkan ada yang sambil menawarkan dagangan. Berbekal artikel yang dibaca Didi milik mbak Bi ia menyelusuri Victory Park, berharap dapat menemukan sosok yang seminggu ini telah meninggalkannya.
30 menit sudah ia menjelajahi Victory Park, sampai akhirnya Didi melihat sosok wanita yang di kenalnya sedang bercengkrama di sebuah kedai bakso bersama rekan-rekannya. Segera Didi mendekati tuk memastikan.
"Mbak Biiii... Assalamu'alaikum... !" Ucap Didi dengan mata terharu.
Wanita berjilbab yang hampir saja melahap baksonya, kaget mendapati panggilan dari seorang anak imoet yang memakai baju batik kumal.
"Didiiiii....??!!"" Ucapnya lirih.
"Mbak Biiiiiiiiiii.......!" Teriak Didi dengan mengucurkan air mata.
Semua orang di sekitar kedai bakso terhenti sejenak mendengar suara cempreng di siang hari. Terlihat wajah mbak Bi menunduk, lantas ia keluar dan menarik Didi menjauh dari kedai bakso menuju taman pepohonan berbukit yang sangat luas.
"Kamu sama siapa kemari?"
"Ngapain kamu di mari?"
Didi masih menangis di tengah pertanyaan mbak Didi. Air matanya deras membasahi wajahnya. Antara bahagia dan takut setelah ketemu mbak Bi. Bahagia karena akhirnya mampu menemukan mbak Bi, takut karena melihat ekspresi mbak Bi yang kecewa karena shock habis dapat durian runtuh yang busuk.
"Oke Didi, sudah nangisnya. Cerita sama mbak sama siapa kamu ke sini?"
Didi tetap menangis.
"Jawab Didi, jangan nangis gitu dong !" Kepala Didi semakin menunduk . Melihat itu, mbak Bi lantas memeluk Didi. Hangat yang dirasa. Nyaman terasa. Didi pun ikut memeluk.
"Mbak Bi jangan marah..." Ucap Didi dalam pelukan.
"Iya mbak Bi ngga marah. Sekarang ceritain sama siapa kamu ke sini dan mau ngapain?" Mbak Bi melepaskan pelukan dan mengajak Didi duduk di taman.
"Aku sendiri mbak ke sini. Baru aja nyampe, dan langsung ke daerah sini nyari mbak."
"Whaaaaat?? Sendiri?? Benar kamu Di ??"
"Iya mbak, aku sendiri. Tadinya mau ngajak Emak, tapi Emak ga mau naik pesawat, takut mabok. Takut juga jatuh katanya."
"Yaa Allah yaa Rabbii.. Ngapain kamu ke sini sendiri?" Mbak Bi geleng-geleng sambil meremas-remas kepalanya.
"Ini mbak, semenjak mbak pergi seminggu lalu, semuanya berubah di rumah. Ngga ada yang nemenin aku belajar, ngga ada yang dongengin aku sebelum tidur, ngga ada yang bikinin cap cay jengkol, semuanya berubah..!" Tetes air mata kembali keluar. Mbak Bi pun kembali memeluk Didi.
"Bahkan yang paling parah mbak, burungku si 'Imprit' dia tak lagi mau bersuara. Ngga ada lagi kicaunya bangunin aku untuk nimba sumur pagi- pagi. Ngga ada lagi nyanyi riangnya seperti dulu waktu ada mbak Bi. Bahkan tadi pagi sebelum aku berangkat, 'Imprit' cuma bisa bengong dan mulai ogah-ogahan makan. Kasihan 'Imprit' mbak.. hiks hiks hiks" tetes air mata semakin deras. Mbak Bi semakin hangat memeluk.
"Yaudah sekarang kita ke apartemen aja dulu. Kamu capek kan belum istirahat? Nanti kita lanjutin lagi ceritanya."
"Iyaaa mbak.."
Sambil bergandengan tangan, mereka pun meninggalkan Victory Park menuju tempat peristirahatan. Sambil melangkah, Didi pun memandang indahnya langit siang di negeri Hongkong, tak lama muncul wajah Emak di langit sambil senyum merekah memperlihatkan giginya yang mulai hilang lalu mengacungkan jempol.
Didi pun tersenyum dan mengangguk
Â
#Salam hormat dan ta'dzim wat mas Sarwo atas segala ide, tantangan juga bimbingannya..
#Tuk mbak Biyanca di ujung sana, makasih untuk inspirasinya.. hehehehehhhhhe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H