Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rigor Mortis

8 November 2024   23:18 Diperbarui: 9 November 2024   03:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di malam yang gelap dan dingin, seorang detektif bernama Arif duduk di ruang kecil kantornya, menatap selembar foto yang tampak biasa bagi kebanyakan orang. Namun, bagi Arif, foto ini adalah bagian dari sebuah teka-teki yang membingungkan. 

Pada foto itu, seorang pria terlihat tergeletak di kamar tidurnya, tubuhnya kaku dengan lengan yang tergantung di pinggir tempat tidurnya . Wajahnya tampak tenang, seolah tertidur, tetapi tubuhnya dalam kondisi yang tidak biasa. Itulah tanda-tanda rigor mortis, proses yang membuat tubuh manusia mengeras setelah kematian.

Arif sudah berulang kali melihat rigor mortis selama bertahun-tahun di dunia forensik, tetapi kasus ini berbeda. Pria dalam foto itu meninggal pada waktu yang tidak jelas, dan rigor mortis yang biasanya menjadi petunjuk kuat waktu kematian, kini malah membuatnya bingung.

Arif menelusuri kembali rincian kasus itu. Menurut dokter forensik, rigor mortis telah mulai berkembang dalam waktu sekitar 2-6 jam setelah kematian. Pada kasus normal, ini bisa dijadikan acuan untuk memperkirakan kapan seseorang meninggal. 

Tubuh akan mencapai kekakuan penuh setelah sekitar 12 jam, dan rigor mortis akan menghilang setelah 24 hingga 48 jam, seiring dengan dimulainya dekomposisi. Namun, kasus ini mengisyaratkan sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan baku tersebut.

Arif mengingat penjelasan dokter: "Rigor mortis tidak selalu sederhana. Ada faktor-faktor seperti suhu dan kelembaban yang dapat mempercepat atau memperlambat prosesnya. Tubuh yang ditempatkan dalam suhu rendah, misalnya, dapat memperlambat rigor mortis, sementara suhu panas dapat mempercepatnya."

Ruang tempat pria itu ditemukan agak dingin, dengan suhu ruangan yang diperkirakan lebih rendah dari biasanya. Namun, ada satu anomali: tubuhnya telah mencapai tahap akhir rigor mortis, meskipun waktu kematiannya seharusnya baru beberapa jam yang lalu. 

Arif merasakan ada yang tidak biasa. Proses rigor mortis seharusnya berkembang secara bertahap, dan pria ini seolah mengalami rigor mortis yang "dipaksakan" dalam waktu yang lebih singkat dari biasanya.

Ia teringat bagaimana rigor mortis bisa dipengaruhi oleh kondisi fisik korban. Pria itu bertubuh besar dan memiliki massa otot yang cukup banyak, yang biasanya mempercepat proses rigor mortis karena otot yang lebih besar membutuhkan lebih banyak energi untuk tetap berelaksasi. Namun, apakah itu cukup untuk membuat rigor mortis muncul secepat ini?

Semakin Arif memikirkan, semakin ia menyadari bahwa rigor mortis bukan sekadar petunjuk waktu kematian, melainkan juga saksi bisu dari apa yang terjadi di menit-menit terakhir hidup seseorang. 

Mungkinkah ada keterlibatan pihak ketiga? Seseorang yang mungkin sengaja mempercepat kematian pria ini dengan cara yang belum pernah ia temukan sebelumnya? Atau, mungkinkah korban berada di bawah kondisi tertentu yang menyebabkan tubuhnya mencapai rigor mortis lebih cepat?

Dengan penasaran yang membara, Arif kembali ke laboratorium forensik untuk berbicara dengan dokter yang menangani pemeriksaan korban.

"Rigor mortis seharusnya tidak muncul secepat itu, terutama di ruangan dengan suhu rendah. Apa kau menemukan sesuatu yang lain?" tanya Arif, berharap ada titik terang dalam kasus yang penuh teka-teki ini.

Dokter forensik itu mengangguk dan memberikan secarik catatan. "Kami menemukan jejak adrenalin yang sangat tinggi dalam tubuhnya, yang cukup luar biasa bahkan untuk kasus kematian mendadak. Adrenalin yang tinggi bisa mempercepat kontraksi otot, dan dalam kondisi tertentu, mungkin bisa mempercepat onset rigor mortis."

Arif menatap catatan itu, mencoba merangkai sebuah cerita. Mungkinkah pria ini mengalami sesuatu yang sangat mengejutkan atau menakutkan sebelum ia meninggal? Sesuatu yang cukup untuk memicu lonjakan adrenalin dan mempercepat kekakuan tubuhnya? Arif tahu, adrenalin adalah reaksi tubuh terhadap situasi ekstrem. 

Tubuh mengeras dalam rigor mortis sebagai akibat dari hilangnya ATP, bahan kimia yang membantu otot tetap berelaksasi, tetapi lonjakan adrenalin dapat menyebabkan otot terkunci dalam kontraksi yang tak berujung.

Dalam perjalanan pulang, Arif memikirkan kemungkinan tersebut. Mungkin pria ini berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya ketakutan hingga ke tulang, sesuatu yang meninggalkan bekas yang sangat nyata, bahkan setelah kematian. 

Rigor mortis bukan hanya tanda waktu kematian; ia adalah gambaran tak terlihat dari apa yang terjadi di detik-detik terakhir seseorang. Meskipun ilmiah dan dapat dijelaskan, rigor mortis tetap memiliki misteri yang tak terungkap, seperti sebuah kisah yang tersimpan dalam setiap sel tubuh manusia.

Malam itu, Arif merasa dirinya lebih dekat pada solusi, tetapi jauh dari akhir. Rigor mortis, yang terlihat seperti fenomena alamiah biasa, ternyata menyimpan banyak cerita dan misteri yang menunggu untuk ditemukan.

Pria yang sedang Arif selidiki kematiannya adalah seorang konglomerat dengan kekayaan 200 triliun, pemilik perusahaan-perusahaan besar. Jadi, kasus ini sangatlah penting baginya karena banyak mata tertuju pada kematian sang konglomerat ini. 

Beberapa media menyimpulkan sendiri bahwa kematian sang konglomerat disebabkan serangan jantung, dan hal ini cukup mengganggu pikiran Arif yang sedang menyelidikinya.

Jam menunjukkan pukul 02:00 pagi, dan tepat saat itu juga telepon Arif berbunyi, "kring...kring...kring..." Suara telepon itu terdengar nyaring dari sudut meja kerja Arif.

"Detektif Arif, di sini," kata Arif sambil menempelkan gagang telepon ke telinganya.

"Ini dokter Ahmad, Detektif Arif," terdengar suara dokter Ahmad, kepala forensik yang menangani kasus ini, dari seberang telepon.

"Ada perkembangan, Dokter?" saut Arif.

"Benar, Detektif. Kami menemukan zat striknina dalam tubuh korban," ucap dokter Ahmad.

"Jelaskan, Dok!" pinta Arif sambil tangannya mencari secarik kertas dan bolpoin untuk mencatat.

"Tubuh korban, setelah uji laboratorium, mengandung striknina. Striknina merupakan racun yang dapat meningkatkan kontraksi otot secara drastis. Striknina menghambat reseptor glisin di sistem saraf pusat, menyebabkan otot-otot tegang dan kaku. Penggunaan racun ini dapat memicu kematian dalam kondisi kekakuan dan mempercepat rigor mortis setelah kematian," ucap dokter Ahmad.

"Ok, lanjutkan, Dok!" perintah Arif.

"Striknina, zat yang berasal dari biji pohon Strychnos nux-vomica, umumnya ditemukan di Asia Tenggara dan India. Zat ini memiliki efek toxic yang luar biasa kuat dan dikenal luas sebagai racun saraf. Saat zat ini masuk ke dalam tubuh, ia segera menunjukkan sifatnya yang kejam dengan mengganggu sistem saraf pusat secara langsung.

 Proses yang dilaluinya amat spesifik; striknina dengan cepat menghambat reseptor glisin di otak dan sumsum tulang belakang, merusak salah satu sistem pengatur paling penting dalam tubuh, kemungkinan Adrenalin yang tinggi disebabkan oleh zat ini jg Detektif Arif.

Dalam keadaan normal, glisin memainkan peran penting dengan meredam aktivitas neuron yang berlebihan. Reseptor glisin ini bertindak semacam 'rem' bagi sistem saraf, mengontrol agar aktivitas saraf tidak berlebihan sehingga kontraksi otot tetap seimbang dan sesuai kebutuhan. 

Namun, striknina bekerja layaknya penghancur 'rem' ini, membuat otot kehilangan kendali atas proses relaksasi dan menjadi tegang terus-menerus. Sebuah ketegangan ekstrem mulai terjadi, memicu serangkaian kejang-kejang yang menyakitkan dan mengunci otot-otot dalam kondisi kaku yang tak tertahankan.

Jika seseorang terpapar striknina dalam jumlah tertentu, dampaknya dapat segera terlihat dengan tubuh yang mengalami kejang ekstrem. Tubuh terkunci dalam kontraksi kuat, menciptakan kekakuan yang menyerupai rigor mortis, yaitu kondisi kaku yang biasanya baru terjadi setelah kematian. 

Dalam beberapa kasus parah, ketegangan ini bahkan dapat menyebabkan seseorang meninggal akibat gagal napas karena otot-otot pernapasan turut lumpuh akibat kontraksi yang tanpa henti.

Zat ini dapat mempercepat rigor mortis, kondisi yang biasanya berkembang beberapa jam setelah kematian. Striknina membuat tubuh mengalami kejang kuat yang berlanjut hingga kematian, menghabiskan ATP, sumber energi otot yang sangat dibutuhkan untuk relaksasi pascakematian. Ketika sumber energi ini habis, tubuh pun langsung memasuki kondisi kaku, seolah-olah mengabaikan urutan alami rigor mortis.

Striknina dulunya dipakai sebagai pestisida, terutama untuk mengendalikan populasi hama. Namun, saat ini penggunaannya telah dilarang di banyak negara mengingat bahayanya bagi manusia dan hewan lainnya. 

Meski begitu, striknina masih menjadi fokus penting dalam dunia forensik, terutama dalam kasus-kasus keracunan akut. Sebagai racun yang mempercepat rigor mortis, zat ini masih menjadi bahan investigasi penting bagi ahli patologi dan forensik untuk menentukan waktu serta penyebab kematian secara lebih akurat.

Dalam lingkup medis maupun forensik, pemahaman tentang cara kerja striknina sangat penting, terutama karena kemampuannya untuk membuat otot menjadi tegang sampai energi habis. 

Hal ini membuatnya unik dan mematikan; efek jangka panjangnya tidak hanya mempercepat kekakuan otot dalam kematian tetapi juga menghadirkan efek racun yang sangat berbahaya, bahkan di dunia di mana zat ini hanya tersisa sebagai bahan penelitian atau bukti forensik," ucap dokter Ahmad dengan rinci dan jelas.

"Cetak berkas uji forensiknya sekarang juga, Dok. Akan ada seseorang yang kita tangkap pagi ini," seru Arif sambil menutup saluran telepon.

Arif langsung menuju markas kepolisian untuk mengurus berkas penangkapan, ditemani dokter Ahmad dan staf kepolisian lainnya. Detektif Arif lalu bergegas menuju salah satu real estate milik sang konglomerat. Dokter Ahmad, sebagai ahli forensik, masih belum mengetahui siapa yang akan ditangkap oleh pihak kepolisian dan detektif Arif.

Dan ternyata, rumah yang Detektif Arif tuju adalah rumah anak pertama dari sang konglomerat yang bernama Damian Santoso. Flashback di awal penyelidikan, ternyata anak pertama sang konglomerat, yaitu Damian Santoso, merekayasa kematian ayahnya sedemikian rupa agar terlihat seperti serangan jantung, karena memang penyakit yang sedang diderita sang konglomerat adalah penyakit jantung. 

Saat kematian ayahnya, Damian sedang berada di Singapura. Keberadaannya di Singapura memang bagian dari rencana agar kematian ayahnya terlihat natural tanpa ada campur tangan dirinya.

Dan ternyata, dua hari sebelum kematian ayahnya, Damian menyuruh asisten rumah tangga yang ada di rumah sang konglomerat untuk memberikan obat yang ternyata itu adalah striknina, racun yang sangat mematikan. 

Sang pembantu tidak menaruh curiga karena memang Damian biasa membawakan obat untuk ayahnya. Arif merangkai semua alur kasus ini dengan bagian mulai dari saksi dan bukti, sehingga Arif yakin hanya ada satu orang yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kematian sang konglomerat, yaitu anak pertama yang bernama Damian.

Sesampainya Detektif Arif di rumah Damian, pihak kepolisian langsung menggeledah seisi rumah dan tidak berhasil menemukan Damian. Pihak kepolisian menanyakan kepada bagian keamanan tentang aktivitas Damian beberapa jam belakangan. Benar saja, Damian sudah menuju ke bandara untuk melarikan diri. Pihak keamanan real estate memberitahu bahwa Damian berangkat satu jam yang lalu.

Arif langsung menghubungi kepolisian bandara untuk menggagalkan keberangkatan Damian. Detektif Arif dan pihak kepolisian langsung menuju ke bandara, sedangkan Dokter Ahmad membantu mencari barang bukti lain yang mungkin saja tertinggal di kediaman Damian.

Tepat pukul 05:00, Damian tertangkap di bandara dengan tujuan Panama. Niatnya melarikan diri ke Panama karena memang ada aset yang ia miliki di Panama dan untuk menghindari jeratan hukum. 

Damian mengakui semua perbuatannya kepada pihak kepolisian dengan dalih masalah pembagian harta kekayaan. Ternyata, sang konglomerat kaya ini berencana menyumbangkan 90% harta kekayaannya ke sebuah badan amal. Damian, sang anak, merasa tidak dihargai karena ia dan adik-adiknya hanya diwarisi 10% harta kekayaan ayahnya.

Ia juga sudah memalsukan surat ahli waris lewat notaris kepercayaannya. Kasus ini selesai dengan vonis penjara seumur hidup kepada Damian karena merencanakan pembunuhan. Arif, sang detektif, juga mendapatkan apresiasi karena sudah bersusah payah memecahkan kasus ini dengan cepat dan tepat. Andai saja terlambat sedikit saja, Damian sudah berada di Panama dan proses penangkapannya akan semakin rumit serta memakan banyak waktu yang panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun