Namun, striknina bekerja layaknya penghancur 'rem' ini, membuat otot kehilangan kendali atas proses relaksasi dan menjadi tegang terus-menerus. Sebuah ketegangan ekstrem mulai terjadi, memicu serangkaian kejang-kejang yang menyakitkan dan mengunci otot-otot dalam kondisi kaku yang tak tertahankan.
Jika seseorang terpapar striknina dalam jumlah tertentu, dampaknya dapat segera terlihat dengan tubuh yang mengalami kejang ekstrem. Tubuh terkunci dalam kontraksi kuat, menciptakan kekakuan yang menyerupai rigor mortis, yaitu kondisi kaku yang biasanya baru terjadi setelah kematian.Â
Dalam beberapa kasus parah, ketegangan ini bahkan dapat menyebabkan seseorang meninggal akibat gagal napas karena otot-otot pernapasan turut lumpuh akibat kontraksi yang tanpa henti.
Zat ini dapat mempercepat rigor mortis, kondisi yang biasanya berkembang beberapa jam setelah kematian. Striknina membuat tubuh mengalami kejang kuat yang berlanjut hingga kematian, menghabiskan ATP, sumber energi otot yang sangat dibutuhkan untuk relaksasi pascakematian. Ketika sumber energi ini habis, tubuh pun langsung memasuki kondisi kaku, seolah-olah mengabaikan urutan alami rigor mortis.
Striknina dulunya dipakai sebagai pestisida, terutama untuk mengendalikan populasi hama. Namun, saat ini penggunaannya telah dilarang di banyak negara mengingat bahayanya bagi manusia dan hewan lainnya.Â
Meski begitu, striknina masih menjadi fokus penting dalam dunia forensik, terutama dalam kasus-kasus keracunan akut. Sebagai racun yang mempercepat rigor mortis, zat ini masih menjadi bahan investigasi penting bagi ahli patologi dan forensik untuk menentukan waktu serta penyebab kematian secara lebih akurat.
Dalam lingkup medis maupun forensik, pemahaman tentang cara kerja striknina sangat penting, terutama karena kemampuannya untuk membuat otot menjadi tegang sampai energi habis.Â
Hal ini membuatnya unik dan mematikan; efek jangka panjangnya tidak hanya mempercepat kekakuan otot dalam kematian tetapi juga menghadirkan efek racun yang sangat berbahaya, bahkan di dunia di mana zat ini hanya tersisa sebagai bahan penelitian atau bukti forensik," ucap dokter Ahmad dengan rinci dan jelas.
"Cetak berkas uji forensiknya sekarang juga, Dok. Akan ada seseorang yang kita tangkap pagi ini," seru Arif sambil menutup saluran telepon.
Arif langsung menuju markas kepolisian untuk mengurus berkas penangkapan, ditemani dokter Ahmad dan staf kepolisian lainnya. Detektif Arif lalu bergegas menuju salah satu real estate milik sang konglomerat. Dokter Ahmad, sebagai ahli forensik, masih belum mengetahui siapa yang akan ditangkap oleh pihak kepolisian dan detektif Arif.
Dan ternyata, rumah yang Detektif Arif tuju adalah rumah anak pertama dari sang konglomerat yang bernama Damian Santoso. Flashback di awal penyelidikan, ternyata anak pertama sang konglomerat, yaitu Damian Santoso, merekayasa kematian ayahnya sedemikian rupa agar terlihat seperti serangan jantung, karena memang penyakit yang sedang diderita sang konglomerat adalah penyakit jantung.Â