Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Pasca Sarjana Studi Ekonomi Syariah di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Oniomania di Balik Fenomena Doom Spending

9 Oktober 2024   23:13 Diperbarui: 10 Oktober 2024   03:36 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Doom spending, fenomena ketika seseorang, terutama di tengah stres, memilih menghabiskan uang tanpa pikir panjang. Ya, seolah-olah, kita membeli lebih banyak barang bukan karena butuh, tapi karena takut dunia bakal runtuh besok. 

Takut kena PHK? Beli sneakers baru. Cemas harga-harga naik? Ya sudah, beli gadget mahal saja sekalian. Bukankah lebih baik terlihat kaya meskipun sebenarnya dompet menangis?

Jika Anda pikir doom spending ini hanya "sekali-sekali" alias "ah, belanja kecil kok," mari kita bongkar dari kacamata psikologi, siapa tahu Anda tersadar, sebelum nanti giliran Tuan Krab yang ketawa karena melihat saldo Anda menipis.

Dari sudut pandang psikologi, doom spending erat kaitannya dengan mekanisme coping. Di dunia yang serba tidak pasti, di mana berita buruk datang silih berganti, banyak orang merasa dunia semakin tak terkendali. 

Mereka melampiaskan kekhawatiran ini dengan belanja impulsif, seolah-olah berbelanja memberikan ilusi bahwa masih ada satu aspek kehidupan yang bisa dikendalikan oleh uang (walaupun sebenarnya itu ilusi semata).

"Belanja aja dulu, pusing belakangan" Mungkin itulah mantra doom spender. Fenomena ini semakin diperburuk oleh media sosial yang memamerkan gaya hidup konsumtif. 

Ketika kita melihat teman memamerkan barang-barang baru atau melihat artis/influencer hedon, terjadi efek FOMO (Fear of Missing Out) takut ketinggalan tren, akhirnya kita pun ikut menghamburkan uang.

Masalahnya, doom spending ini hanya memberikan kesenangan sementara. Seperti permen karet yang manis di awal, tapi pahit setelah lama dikunyah. Belanja memang membuat otak kita merilis dopamin, si hormon bahagia. 

Tetapi setelah barang sampai di rumah, kecemasan tetap kembali. Dan lebih buruk lagi, sekarang ada beban finansial baru yang menanti: tagihan kartu kredit atau dompet yang kian tipis.

Doom spending menciptakan siklus kecemasan baru. Belanja impulsif menenangkan kecemasan sesaat, tetapi setelahnya justru menambah stres karena masalah keuangan yang semakin pelik. Ini bukan solusi, melainkan pengalihan masalah. Kondisi ini dapat menyeret orang ke dalam lingkaran setan keuangan. 

Mungkin Anda merasa lebih baik setelah membeli sesuatu, tetapi ketika saldo tabungan semakin tipis, Anda justru dilanda kecemasan lebih besar dari sebelumnya.

Menurut para psikolog, doom spending seringkali terjadi pada mereka yang merasa kehilangan kontrol atas hidupnya. Dengan berbelanja, mereka mencoba "mengambil kembali" sedikit kendali itu. 

Tetapi dalam jangka panjang, perilaku ini justru memperburuk masalah baik secara psikologis maupun finansial.

Lebih lanjut, doom spending dapat dihubungkan dengan gangguan kecemasan, depresi, atau bahkan oniomania (belanja kompulsif). Mereka yang mengalami gangguan ini cenderung menjadikan belanja sebagai cara utama mengatasi stres emosional, bukan lagi sekadar hiburan.

Fenomena ini banyak ditemukan di kalangan anak muda. Mengutip dari Psychology Today, generasi milenial dan Gen Z lebih memilih menikmati hidup saat ini daripada memikirkan masa depan. 

Mereka cenderung menghabiskan uang untuk bersenang-senang daripada menabung. Belum lagi, dengan media sosial yang memajang kemewahan, tekanan untuk tampil sukses dan bahagia semakin kuat.

Ylva Baeckstrom, dosen keuangan di King's Business School, menyoroti bahwa anak-anak muda ini lebih rentan karena kurangnya literasi keuangan. Alih-alih merencanakan masa depan, mereka fokus pada kepuasan jangka pendek. Padahal, di tengah ketidakpastian ekonomi global, perilaku ini sangat berisiko.

Jika kita melihat dari kacamata Ekonomi Islam, perilaku doom spending tentu saja dianggap boros dan tidak bertanggung jawab. Dalam Islam, pengeluaran harus seimbang, terencana, dan menghindari israf (pemborosan). 

Prinsip zuhud (hidup sederhana) mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang hanya memuaskan hawa nafsu sesaat. 

Di sisi lain, ajaran qana'ah (rasa cukup) menyarankan agar kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki, bukan terus-menerus mencari kepuasan dari hal-hal materi.

Jika doom spender lebih mengedepankan kepuasan instan, maka ekonomi Islam mengajarkan pentingnya menahan diri dan fokus pada kesejahteraan jangka panjang. 

Mungkin inilah solusi yang dibutuhkan di tengah dunia yang semakin konsumtif: kesadaran bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang.

Jika doom spending terus menjadi solusi Anda menghadapi stres, mungkin saatnya berpikir ulang. Perilaku ini bisa merusak kondisi finansial dan mental dalam jangka panjang. 

Menemukan cara lain yang lebih sehat untuk mengatasi kecemasan, seperti berbicara dengan terapis, meditasi, atau bahkan hanya beristirahat sejenak, mungkin adalah langkah yang lebih bijak daripada sekadar berbelanja.

Dan ingat, seperti halnya permen karet yang manis di awal, doom spending akan meninggalkan rasa pahit jika dikunyah terlalu lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun